Nasib Malang Sang Gadis

"Yaudah deh. Tapi nanti anterin aku kesini lagi ya om." Ujar perempuan yang masih muda itu dengan senyuman polosnya. Benik air mata menganak tipis di sudut matanya.

"Oke."

Bayangan akan mendapatkan uang yang besar terbersit indah dalam angan-angannya. Uang yang pastinya akan ia berikan kepada ibunya yang juga merintis hidup di jalanan. Bedanya, sang ibu tidak mengamen sepertinya namun berjualan koran di lampu merah. Semua itu semata-mata hanya untuk menghidupi dirinya dan ketiga saudaranya yang juga belum menemukan keberuntungan dalam hidup di dunia. Terbayang senyum indah ibunya saat ia memberi uang sebanyak ini membuat semangat bocah perempuan itu semakin bergelora.

"Hoaaammmmm..." Dengan mata yang sangat berat, pak Dito pun menyetir dengan rasa kantuk yang mendera. Matanya masih terus berusaha terjaga di tengah pagi yang masih buta ini.

"Rumah om dimana emangnya?" Tanya bocah kecil berpakaian lusuh itu sekedar untuk berbasa-basi.

"Nanti kamu juga lihat sendiri dek." Jawab pak Dito agak malas menanggapi.

"Terus, apa om di rumah, tinggal sendirian?" Tanya bocah polos itu lagi.

"Di rumah ada istriku." Jawab pak Dito singkat.

"Emmm... om udah punya anak?" Kembali anak kecil itu bertanya dengan segala keinginan tahuannya.

"Hmmm... Jika kamu di posisi menjadi anakku, apa kamu akan bahagia jika mempunyai seorang ayah seperti aku?" Ucap pak Dito.

"Tentu saja. Aku percaya jika om itu orangnya baik hati." Jawab gadis polos itu.

"Hmmm.... Begitu ya..."

Mendengar kata anak yang baru saja terlontar dari mulut gadis itu, sontak wajah pak Dito berubah seketika. Wajahnya kian terlihat kuyu. Matanya berubah memerah seakan tengah menahan pilu. Helaan nafas panjangnya seakan mengisyaratkan sesuatu. Bocah itu pun kali ini hanya terdiam karena tak bisa membaca situasi lagi. Rasa gusar kali ini benar-benar menguasainya. Apakah tadi ucapannya ada yang salah? Pikirannya menerka-nerka dalam kabut ambigu. Bukan lagi bayangan uang yang banyak dalam benaknya. Di detik ini, Ia hanya ingin segera pulang dan secepatnya berkumpul bersama ibu dan adik-adiknya. Gadis itu benar-benar merasa ketakutan dengan perubahan ekspresi yang drastis dari pria dewasa di hadapannya.

"Kita sudah sampai." Ucap pak Dito dengan wajah datar.

"Ma-mana om.. rumahnya om? Ini kan cuma kebun tebu?" Ujar bocah itu merasa aneh. Instingnya sudah mengatakan dia sedang ada dalam bahaya.

"Rumah om di tengah kebun sana. Di villa itu. Kita parkir disini saja soalnya saya mau pergi lagi sehabis ini. Kamu disana nanti sama istri saya ya." Balas pak Dito dingin.

Pak Dito pun segera turun dan berjalan menyusuri jalanan di antara belantara tebu-tebu yang sudah menjulang tinggi. Bocah itu pun dengan ragu mengikuti langkah dari pak Dito sembari terus menjaga jarak. Tangan mungil itu mengenggam erat ujung kaos lecek yang ia kenakan. Kakinya gemetaran saking takut dan cemasnya.

"Om." Panggil bocah itu.

"Hmmmm..." Jawab pak Dito seraya menghentikan langkah kakinya.

Bugghhhhh!!!!

Tiba-tiba tubuh mungil itu tersungkur. Cairan merah pekat mengalir membasahi tanah kering di kebun tebu. Sebuah hantaman telak dari sebuah pipa besi mengayun cepat. Detik demi detik terasa lambat. Matanya mulai berkunang-kunang dan tubuhnya seakan mati rasa. Ingin rasanya ia berteriak namun mustahil, suara tercekat hanya sampai di tenggorokan saja.

Detik demi detik terasa lambat. Netranya belum lah terpejam sempurna. Namun, samar-samar terlintas tak jelas, siluet bayangan kabur dari beberapa orang dewasa yang menggendong tubuhnya. Ia masih bisa merasai segalanya. Tatkala kakinya di ikat dengan erat. Tubuhnya di tarik hingga dirinya tergantung terbalik di sebuah pancang. Hingga akhirnya saat kesadarannya mulai pulih, tatkala sebuah kilatan benda panjang membias terkena sinar matahari yang menembus paksa dari celah ruangan yang tak rapat.

Detik demi detik terasa lambat. Tak ada lagi suara atau kegaduhan yang bisa ia lakukan lagi. Semua terlambat seperti keputusan yang ia lakukan. Benda panjang itu dengan mudah menyayat kulitnya. Kembali menyemburkan cairan merah kental berbau amis tersebut. Tubuhnya mengejang seiring dar*h yang terus mengocor deras. Kepalanya berputar tanpa henti. Sekilas terlihat cahaya putih menyilaukan matanya. Cahaya yang perlahan memunculkan wajah lembut seorang pria yang tak asing baginya.

Detik demi detik terasa lambat. Wajah lembut pria itu menggapai wajah yang sudah memerah itu. Wajah yang tak lagi asing baginya. Wajah yang sudah tidak ia lihat selama dua tahun ini. Wajah mendiang ayahnya yang sudah tiada yang kini tengah mengelus lembut pucuk pipinya. Kedua mata kecil itu kembali berbicara. Waktu yang bergejolak perlahan berhenti. Detik 'pun perlahan mulai pudar meninggalkan sang waktu. Abadi sendiri.

...****************...

"Itu yang terakhir." Ucap pak Dito sembari terduduk lemas di pojok ruangan.

Terlihat di hadapannya sebuah tubuh yang sudah terbalik sedang meneteskan setetes demi setetes, darah segar yang terus mengalir tanpa henti. Bau amis luar biasa menyeruak berputar-putar di dalam ruangan sempit di tengah kebun itu.

"Tak ku sangka. Sepertinya aku memang harus berterimakasih padamu dito. Hahahaha. Tenang, kita tinggal menunggu 3 bulan lagi dan semuanya akan kembali seperti semula. Itu artinya, masih ada satu nyawa lagi yang harus kau habisi! Kuharap kau tidak melupakannya!" Tegas mbah Minah.

"Oh iya.. ingat! Aku ini yang sudah membantumu menyingkirkan pesaing-pesaing bisnismu. Lalu apa salahnya jika aku meminta sedikit bantuan kecil darimu? Bahkan, hanya aku juga yang bersedia menerima permintaan konyol itu. Permintaan yang seakan melawan takdir! Apa kau lupa dito?." Ujar bi minah dengan wajah santai.

"Cuihh!!!"

"Aku sudah lelah bi. Aku merasa sungguh berdosa! Aaargggghhhh!!!!" Erang pak Dito. Kondisinya akhir-akhir ini memang bisa di katakan kurang stabil.

"Bukannya, kamu selalu memberi ganti rugi pada keluarganya? Jika kamu merasa bersalah, tinggal tambahin saja uang atau materi yang kamu kirim pada keluarganya. Gampang kan?" Ucap bi Minah seraya mengganti ember yang sudah penuh dengan darah dengan ember kosong yang lain lagi.

"Hmmmmm... Kata-kata itu tidak bisa menyelesaikan masalahku bi. Apa benar yang kita lakukan ini bisa memenuhi tujuanku? Atau jangan-jangan aku hanya mengejar sebuah ambisi kosong?! Katakan bi! Katakan!" Umpat pak Dito sembari pergi meninggalkan wanita sepuh itu sendirian.

"Apa benar jika apa yang aku lakukan ini bisa menebus semua kesalahanku dulu... Hufffffttt.."

"Maafkan papahmu yang kejam ini nak. Hiksss... hiksss... hikss.. maafkan papah..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!