Senja telah menganak tipis di ufuk barat. Perlahan satu demi satu tamu mulai meninggalkan pesta kecil ulang tahun Nindya. Beragam kado beraneka bentuk pun sudah memenuhi ruang tamu yang terlihat meriah dengan hiasan balon dan pita yang tergantung bermacam-macam warna. Sebuah kue besar di tengah ruangan menambah ramai suasana perayaan.
Sebuah senyum tercetak jelas di antara sudut bibir mungil itu. Senyum merekah yang ikut memudar seiring tenggelamnya sang surya. Hingga perlahan akhirnya kemeriahan pesta hanya menyisakan ia dan kedua asisten rumah tangga yang selalu setia menemani hari-harinya. Semua telah usai seiring waktu yang terus berlalu.
"Non, biar mbok Yem bantu beresin kue ulang tahun nya ya?" Ujar mbok Yem menyadarkan bocah perempuan yang bergaun merah itu dari lamunannya.
"Jangan dulu mbok. Nindya lagi nunggu papah sama mamah. Mereka kan sudah janji mau menemani Nindya. Siapa tau mereka lagi kena macet. 'kan mbok?" Ucap Nindya dengan nanar. Air mata tipis terlihat di garis matanya yang mulai memerah.
"Iya non." Jawab mbok Yem sembari menatap kasihan bocah kecil itu.
"Buk. Kenapa ibu nggak jujur aja sama nona. Ibu tinggal bilang aja kan kalau bapaknya belum pulang karena masih menghadiri pesta di teman bisnisnya. Sedangkan ibunya masih asik dugem sama teman-temannya kan? Dasar orang kaya egois! emang nggak kasihan apa sama anaknya sendiri." Bisik Rida. Menantu dari mbok Yem.
"Ssstttt... Simbok nggak tega kalau bilang terus terang sama anak itu. Kasihan. Kalau kamu tega, ya sana kamu bilang sendiri." Ucap mbok Yem segera berlalu membawa beberapa masakan yang masih tersisa untuk disimpan di kulkas.
"Iya sih mbok. Aku juga nggak tega." Ucap Rida sembari mengekor di belakang mbok Yem.
"Lha iyo, makanya diem saja. Kita disini cuma karyawan. Nggak lebih." Tukas mbok Yem yang diikuti anggukan dari Rida.
Senja kini kian beranjak menjadi gelap. Suara bising klakson dan knalpot semakin jarang terdengar. Jam pun sudah menunjukkan hampir tengah malam. Namun bocah perempuan itu masih setia berada di dalam ruang tamu. Masih duduk dalam posisinya sembari matanya terpejam lelap. Dengkuran halus terdengar samar menggema. Bocah kecil itu benar-benar menanti sesuatu yang semu.
Tak berapa lama, terdengar suara mobil yang baru saja masuk ke dalam garasi. Kini jam sudah menunjukkan dini hari. Benar saja, tuan dan nyonya pemilik rumah baru saja pulang dari urusan mereka masing-masing. Bau alkohol cukup menyengat dari mulut keduanya. Mata mereka saling bertemu ke arah meja ruang tamu yang sudah bersih dan hanya meninggalkan kue besar yang terlihat masih utuh berada di tempatnya semula. Tentu dengan Nindya yang masih tidur dalam posisi duduk dengan tangannya di jadikan sebagai bantal. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Nindya sontak terbangun dari tidurnya.
"Pah, mah... Hoaaammmmm...." Ucap Nindya dengan suara parau khas orang yang baru saja bangun tidur.
"Kenapa kamu tidur disini? Sana masuk ke kamar kamu. Besok kan kamu sekolah." Tegur Dito yang berjalan setengah sempoyongan.
"Nindya nungguin papah sama mamah... Papah nggak lupa kan sama janji papah? " Jawab bocah kecil berkucir kuda itu.
"Papah nggak lupa kan?" Jelas Nindya lagi.
"Kamu ngomong apaan sih nin?! Papah capek, pusing. Papah mau tidur dulu. Besok kita bahas lagi." Ujar Dito sedikit membentak. Sontak Nindya langsung terdiam tak berani menatap wajah papahnya.
"Kamu itu sudah besar Nindya. Jangan banyak rewel. Papah sama mamah itu rela kerja mati-matian cuma demi kamu. Sana masuk ke kamar kamu!" Sambung bu Sandra ikut-ikutan memarahi Nindya.
"Hiksss... Hiksss.. hiksss.. " tiba-tiba tangis Nindya pecah seketika.
Brakkk!!!!!
"Papah bilang diam Nindya!! Papah pusing!! Jangan tambah bikin papah pusing ya kamu!!" Bentak Dito yang malah menggebrak meja dengan keras.
"Mbok Yem! Ini tolong urus Nindya." Teriak Dito segera berlalu pergi ke kamarnya.
"Kue ini kalau nggak di makan mending di buang saja nin. Mamah juga nggak suka kue kaya gini. Lihatnya saja mamah udah eneg. Hoekkk..." Ucap bu Sandra segera berjalan menyusul suaminya.
...****************...
Kembali ke masa sekarang
Pagi ini seperti biasa. Kegiatan sehari-hari yang selalu rutin aku lakukan. Aku mulai terbiasa dengan kegiatan aneh disini. Mulai dari menyirami tanaman, membantu mbok Yem membuat sarapan, hingga menyiapkan sesajen. Ya, sesajen! Semenjak kejadian kemarin, mereka bertiga terpaksa menjelaskan semua padaku.
Hari ini hari kamis. Dan kebetulan nanti malam bertepatan dengan malam jumat. Segelas kopi pahit serta beberapa bunga dan tak lupa dupa yang di tata sedemikian rupa sudah di letakkan di atas nampan anyaman bambu. Entah kenapa mereka selalu menyajikan hal-hal berbau mistik seperti ini. Dan bodohnya aku yang terpaksa melakukannya demi pundi-pundi rupiah yang bersifat tak abadi.
Senampan sesajen sudah ku letakkan di bawah pohon beringin. Sementara sesajen yang minggu lalu, aku bawa kembali lagi ke dalam dapur. Mirip apa yang di lakukan pak Hadi kemarin lusa. Seperti itulah rutinitasku jika hari kamis sudah tiba.
"Nduk. Sini dulu.. " panggil mbok Yem terlihat melambaikan tangannya padaku.
"Iya mbok. Ada apa lagi?" Tanyaku.
"Kamu sudah ganti itu?" Tanya mbok Yem ramah seperti biasa.
"Sudah mbok. Ini lagi mau bantu pak Totok buat nyuci mobilnya pak Dito. Disuruh sama pak Hadi." Ucapku yang tadi memang berniat mengambil ember, lap dan sikat di gudang belakang.
"Lho kok totok sama kamu yang nyuci? Emang si Hadi kemana?" Tanya mbok Yem menelisik.
"Pergi tadi sama bu Sandra. Tapi anehnya mereka kenapa perginya malah pakai taksi ya? Padahal kan mobil di rumah ini pada nganggur semua. Aku juga nggak tau sih mbok, mereka berdua mau kemana." Jawabku jujur.
"Ashhh.. nyuci mobilnya nanti saja. Itu kamu di panggil sama pak Dito di lantai dua.
"Emang ada apa ya mbok?" Ujarku penasaran.
"Ya, mana simbok tau. Sudah sana. Jangan sampai pak Dito marah. Bisa kena omelan simbok nanti." Tukas mbok Yem.
Dengan cepat aku segera mencuci tangan dan segera menuju lantai dua rumah utama. Ada apa lagi ini ya? Batinku. Perlahan satu persatu anak tangga menuju lantai dua sudah terlewati. Bau harum semerbak wangi parfum sangat menyeruak. Suara guyuran air terdengar samar-samar terdengar dari dalam kamar yang terlihat mewah itu.
Tokk... Tokk... Tok..
"Pak, pak Dito tadi manggil saya?" Ucapku agak sedikit mengeraskan suara.
"Oh iya.. sebentar ya Gita." Ucap pak Dito dari dalam kamar. Seperti memang benar ia sedang mandi.
Suara guyuran air semakin jelas terdengar gemericik dari dalam kamar pribadi majikan. Pasti dia sedang mandi, wah bisa lama ini. gumamku.
Sembari menunggu, aku iseng-iseng untuk melihat-lihat lantai dua di rumah ini. Entah karena penasaran atau memang bagaimana. Maklum saja, lantai ini memang seakan tidak boleh di sentuh apabila bukan sang empunya rumah yang menyuruh langsung.
Terlihat deretan ukiran kayu menghiasi pegangan tangga. Ukiran yang terlihat sangat rapi dan halus. Mirip dengan ukiran yang tersemat di setiap pintu di rumah ini. Namun aneh, kenapa ada pintu seperti ini disini. Pintu dengan warna merah cerah berdiri tepat di pojok lorong sebelum balkon. Warna merah cerah yang sungguh kontras dengan warna sekelilingnya yang dominan coklat susu. Aku pun mencoba mendekatinya dengan hati-hati. Aneh, bau disini kenapa tercium agak busuk, seperti.... seperti...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments