"Kamu kenapa Gita? Kenapa wajahmu memerah?" Ucap pak Dito lembut sembari tetap bermain-main dengan ujung rambutku.
"Anu.. pak.. eh.."
"Sssstttt.."
"Jangan pak. Jangaaan..." Ucapku sudah tak mampu lagi berbuat apapun. Tangan itu terus memegang lembut kedua pipiku yang sudah banjir air mata. Pak Dito terus saja menciumi rambutku dengan tangannya. Bayangan akan hal buruk terus bergentayangan dalam anganku. Aku takut..
"Apa tidak pernah ada yang memperlakukanmu seperti ini." Tanya pak Dito lirih. Aku hanya menggelengkan kepalaku saja. Mulutku sudah tak mampu lagi menjawab. Hanya tangis saja yang keluar dari kedua bibirku. Ia mengambil paksa tangan kananku. Ia terlihat memandangi jari-jariku dengan seksama.
"Ini.. ini cincinmu??" Tanya pak Dito.
"I-i-iya." Jawabku sembari menunduk.
Tiba-tiba saja pak Dito menjauh dariku. Ia berbalik badan dan memunggungiku. Dia berdiri diam cukup lama. Ehh.. Apa ini sudah berakhir kah? Syukurlah jika aku bisa segera lari dari sini. Tuhan tolong bantu aku.. hiks.. hiksss...
"Kamu boleh keluar sekarang gita." Ucap pak Dito tiba-tiba. Ucapan yang membuatku lega bagaikan terlepas dari ikatan yang sudah lama membelenggu erat leherku.
"Tunggu apa lagi?" Tiba-tiba pak Dito menghampiriku lagi dan...
"Apa perlu aku..." Ujar pak Dito berbisik lirih di telingaku. Hembusan nafas dinginnya sungguh membuatku tak berdaya. Seringainya sungguh tampan tapi juga sangat mematikan!
Setelah bergegas keluar dari ruangan secepat mungkin, aku segera berlari menuju kamarku. Disana aku menangis sejadi-jadinya. Tak perduli jika memang ada yang mendengar. Masa bodoh! Baru saja aku bekerja dua Minggu. tapi, Aku tadi hampir di mangsa oleh majikanku sendiri. Aku yakin hal itu pasti mungkin bisa terjadi lagi dan lagi. Dan bisa jadi lebih buruk. Tidak ada yang peduli tentang itu. Semua orang seperti tak punya akal sehat disini.
Tokk.. tokk.. tokk..
"Ini mbok yem nduk. Tolong bukain."
"Ng-nggak di kunci mbok!" Jawabku setengah berteriak.
Cklekkk... Krriiiet..
"Simbok dengar, dari dapur ada suara tangisan. Tak pikir apa. Ternyata kamu to nduk. Ada apa nduk cah ayu? Kenapa menangis seperti ini?" Tanya mbok Yem berubah menjadi kalem. Namun aku masih merasa ketakutan akibat perlakuannya beberapa saat yang lalu. Rasa perih cengkraman kuku-kukunya masih terasa membekas. Aku hanya menatapnya kuyu.
"lho.. sim-simbok mau kemana?" Tanyaku yang melihat simbok begitu rapi dengan kemeja dan rok. Tidak seperti biasanya.
"Lho.. kan simbok baru saja dari pasar. Tadi pas nyuruh kamu ke lantai atas, simbok habis itu langsung berangkat ke pasar buat belanja di anter sama si Hadi. Ini simbok baru aja pulang." Jawab mbok Yem sembari mengipasi wajahnya dengan sobekan kardus yang ia bawa.
"Lhoo.. tapi aku tadi lihat simbok kok disini." sahutku.
"Hush.. ngawur! Mana mungkin simbok disini. Terus kalo simbok disini, yang bawa belanjaan di pasar siapa? Hantu??" Tegas mbok Yem seraya tertawa kecil.
"Lhoo.. terus tadi yang disini itu..."
"lha lho lha lho terus.. Emang ada apa sih nduk? Simbok kok jadi bingung sendiri." Sahut mbok Yem menggaruk-garuk kepalanya yang tak terasa gatal.
"Udah nggak usah di pikirin. Kamu kalau kangen rumah, besok ijin aja sama pak dito nduk. Siapa tau, kamu boleh pulang kampung. Udah cup.. cup.. Jangan nangis lagi.." Ujar mbok Yem mengelus rambutku penuh kasih. sungguh mirip simbokku sendiri.
Mendengar kata Dito sontak ingatanku kembali berputar lagi ke belakang. Air mata yang sudah sedikit mengering, kembali tumpah ruah sebanyak-banyaknya. Aku kembali menangis sejadi jadinya lagi sembari memeluk mbok Yem. Antara sedih, cemas bercampur takut bergantian mengisi pikiranku. Mungkin kali ini aku beruntung tapi siapa tau besok-besok. huhuhuhu..
"Eh bocah gemblung.. tadi udah diem sekarang malah tambah kenceng nangisnya." Celetuk mbok Yem. Celetukan yang sedikit menghibur peliknya lika-liku kejadian yang kualami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments