Godaan Fatamorgana

Suara guyuran air terdengar gemericik dari dalam kamar pribadi pak Dito. Pasti dia sedang mandi, gumamku. Sembari menunggu, aku iseng-iseng untuk melihat-lihat lantai dua di rumah ini. Entah karena penasaran atau memang bagaimana. Maklum saja, lantai ini memang seakan tidak boleh di sentuh apabila bukan sang empunya rumah yang menyuruh langsung.

Terlihat deretan ukiran kayu menghiasi pegangan tangga. Ukiran yang terlihat sangat rapi dan halus. Mirip dengan ukiran yang tersemat di setiap pintu di rumah ini. Namun aneh, kenapa ada pintu seperti ini disini. Pintu dengan warna merah cerah berdiri tepat di pojok lorong sebelum balkon. Warna merah cerah yang sungguh kontras dengan warna sekelilingnya yang dominan coklat susu. Aku pun mencoba mendekatinya dengan hati-hati. Aneh, bau disini kenapa tercium agak busuk, seperti....

Ckllkkkkk...

(Suara knop pintu berputar pelan)

"Sebaiknya jangan ceroboh!" Suara gertakan tiba-tiba muncul di belakangku. Tanpa terasa tangan kurusku sudah di cengkram dengan cukup kuat dari belakang.

"Mbok Yem." Ujarku lirih setengah masih terkejut.

"Apa yang sudah saya bilang semalam? Lakukan saja perintah nyonya dan tuan besar, jangan membantah, dan jangan lakukan hal ceroboh apapun di rumah ini! Kurasa itu sudah cukup jelas bukan?! Kau tidak tuli kan?!" Geram mbok Yem semakin menguatkan cengkeramannya. Matanya melotot seakan ingin menerkamku hidup-hidup. Aku hanya bisa menahan tangis dan sakit secara bersamaan. Wajah itu sungguh terlihat buas!

"Mbok.. sakit.. hiksss.." pekikku yang mulai merasakan perih di pergelangan tangan kiriku.

"Ehemm.. Gita.. silahkan masuk.." tiba-tiba suara pak Dito mulai terdengar dari balik pintu kamarnya. Memecah sejenak kegaduhan antara aku dan mbok Yem.

Seketika itu pula mbok Yem langsung melepaskan cengkeramannya dan melengos pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Aku pun sampai tak menyangka jika orang yang paling ramah disini pun bisa se mengerikan itu. Dalam hati aku hanya bisa meratapi nasibku sendiri. Aku sudah tidak betah disini. Aku kini sudah tak peduli lagi dengan uang. Yang kuinginkan hanya pulang! Sudah itu saja. Huhuhu...

"Gita? Silahkan masuk." Suara pak Dito kembali terdengar lebih keras. Membuyarkan sekilas lamunanku tentang menyeramkannya mbok Yem beberapa saat yang lalu.

"I-iya pak Dito." Segera aku menjawab panggilan itu. Saat yang bersamaan aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Suaraku terdengar seperti bergetar. Eemmmh... apa mungkin sekalian saja, bukankah ini waktu yang tepat untukku mengundurkan diri dari pekerjaan gila ini, pikirku.

"Aku harus segera keluar dari sini! Mereka semua sudah nggak waras." Gumamku dalam hati.

Tokk.. tokkk.. tokkk.... Cklekkk...

"Maaf pak Dito." Ucapku.

Aku sendiri agak terkejut dengan sosok pak Dito yang terlihat tiduran di kasur dan dengan hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya tanpa memakai atasan sama sekali. Wajahnya yang tampan baru saja terguyur air nampak mempesona. Membuatku jadi salah tingkah karena merasa tidak enak dibuatnya. Apalagi perut sixpacknya itu. Wah sungguh beruntung sekali bu Sandra. Aku hanya bisa menunduk sungkan karena terkesan tidak sopan terhadap majikan sendiri. Sementara itu terdengar samar sedikit tawa kecil renyah yang keluar dari mulut pak Dito.

"Gita. Mau nggak kamu bantuin saya?" Ucap pak Dito sembari masih terlihat acuh bermain dengan ponselnya.

"Ba-bantuin apa ya pak?" Tanyaku yang sudah deg-degan. Apalagi baru kali ini aku melihat pak Dito sedekat ini dengan diriku.

"Apalagi ini ya Tuhan." Gumamku dalam hati.

Tiba-tiba saja pak Dito turun dari tempat tidurnya dan mulai berjalan menghampiriku. Matanya mulai terlihat genit memandangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kakinya yang kekar mulai menapak selangkah demi selangkah mendekatiku. Degup jantungku rasanya sekarang berdetak dua kali lebih kencang. Tiba-tiba saja dengkulku lemas tak karuan. Wangi sabun yang masih melekat di tubuh putih itu semakin masuk ke dalam pikiranku.

Tangan lembutnya mulai memegangi pundakku dengan gemulai. Sapuan tangannya membelai lembut rambut panjangku. membuatku merinding disko di buatnya. Sekarang ini aku benar-benar sudah lemas pasrah. Seumur hidupku, tak pernah aku sedekat atau bisa di bilang senekat ini dengan seorang pria. Tuhan.. harus bagaimana aku? Apa aku teriak saja ya?

"Kamu kenapa Gita? Kenapa wajahmu terlihat memerah?" Ucap pak Dito lembut sembari tetap bermain-main dengan ujung rambutku. Pelan-pelan ia memilinnya lembut dengan kedua jari tangannya.

"Anu.. pak.. eh.."

"Sssttttt..."

...****************...

"Sialan! Bisa-bisanya aku kalah lelang sama si cecunguk kampung itu!" Ucap seorang pria gemuk dengan baju yang terlihat ketat.

"Sabar bos. Tanpa bos nyuruh, aku sudah kirimkan mainan kecil untuknya! Aku kirimin santet saja itu si begundal Dito! Biar tau rasa dia. Anak baru tapi tingkahnya udah belagu banget. Bos tenang saja. Pasukan gaibku pasti sekarang ini sedang ngacak-ngacak begundal itu. Hahaha." Seru seorang laki-laki yang memakai pakaian serba ungu di lengkapi blankon dengan warna senada itu. Terkesan cukup nyeleneh untuk seorang dukun.

"Ide bagus. Akan ku bayar kau nanti mbah! hahahaha! Aku ingin segera melihat dia mampus! Hahahaha." Balas sang bos besar dengan mulut yang menganga tertawa lebar.

"Permisi pak." Seorang wanita muda terlihat menyodorkan dua gelas air putih ke hadapan dua laki-laki yang sedang duduk di ruang tamu itu.

"silahkan, emmm.. Kamu pasti karyawan baru itu ya? Hmmm.. cantik juga." Ucap sang bos besar sembari menyentuh bagian sensitif dari sang wanita. Wanita itupun tak memberi respon penolakan. Membuat kedua laki-laki itu tertawa kegirangan.

"Jangan disini pak. Malu." Ujar sang wanita yang memakai pakaian serba kurang bahan tersebut.

"Sudah diam saja. Lagian istriku juga nggak mungkin ada di kantor bukan?? Santai saja. Nanti aku kasih tambahan gaji buat kamu. Hahahha." Ucap bos besar itu sembari menarik wanita itu untuk duduk di sebelahnya.

"Hahahaha... grrrkk.. Aaaargrgggggghhh.. huekkk!!!" Tiba-tiba mulut yang sesaat lalu tertawa lepas itu tersedak dengan keras.

"Kenapa bos?!" Seru lelaki yang memakai blangkon nyentrik berwarna ungu itu terlihat panik.

"Huueekkk!!! Huekkkk!!!" Terlihat darah segar mengalir dari mulut itu tanpa henti. Sekilas terlihat gumpalan rambut keluar perlahan dari mulut itu.

"Hihihihihi.."

Sontak kedua pasang mata mendelik. Dua pasang mata itu melirik ke arah sumber suara. Terlihat jelas di depan mata mereka wanita cantik yang baru saja mereka goda kini telah berubah drastis. Wajahnya kini menyeringai lebar. Tak berapa lama, iya terus memutar-mutar kepalanya dengan cepat. Hingga akhirnya, leher itu tiba-tiba saja terantuk ke balakang dan...

Klekkk!!!!!

Leher jenjang putih itu tiba-tiba patah hanya menyisakan sedikit kulit yang menggantung tipis. Darah segar muncrat membanjiri seluruh ruang tamu di kantor pribadi sang bos besar. Mata keduanya terbelalak tak mampu lagi berkata-kata tatkala wanita itu terbang melayang dengan kepala yang sudah putus.

Tiba-tiba saja ruangan menjadi penuh sesak meski sudah berAC. Seakan-akan tak ada lagi udara di ruangan itu. Membuat keduanya terbatuk-batuk mencoba mencari udara agar masuk ke paru-paru mereka. Sang dukun tak kehabisan akal. Di tengah serangan tak terduga itu, ia mencoba merapal mantra-mantra yang sudah khatam ia kuasai hasil berguru pada simbahnya dulu.

"Aaaarggggg..."

Pyarrr!!!!

Namun, nampaknya kekuatan hitam itu terlalu kuat untuk ia hadapi. Tubuhnya tiba-tiba terpental menghantam meja kaca yang membuat tubuhnya harus tertancap pecahan-pecahan kaca yang mencuat. Memang tak lantas membuatnya mati seketika. Ia hanya pura-pura pingsan karena saking takutnya. Serangan yang cepat dan cukup untuk menghentikan perlawanannya. Meninggalkan sang bos besar dengan mulut yang masih berlumuran darah sendirian.

"Ampun!! Ampuni aku!!" Terlihat suara itu bergetar. Tubuhnya ambruk bersimpuh memohon ampunan. Namun kepalanya justru malah mendongak ke atas oleh kekuatan yang tak ketara. Seakan-akan tak bisa untuk menunduk seperti keinginannya. Sementara itu, di hadapannya sudah berdiri terbang, wanita dengan gaun putih yang dihiasi cipratan darah segar, membuatnya terlihat seperti baru saja mandi darah. Kini ia sedang memegang serpihan kaca yang cukup besar. Dan..

Sssrrrtttt.. cssss..

"Aaaargrgggggghhh!"

"aaaarrrgggghhhhhh!!"

"Hihihihihi"

Sembari tertawa riang. Wanita bergaun merah itu menggores leher bos besar itu dengan kaca dengan berulang-ulang kali. Darah sudah menggenang begitu banyaknya di ruangan pribadi itu. Luapan rintihan teriakan kematian semakin menggema tatkala kaca itu menggesek-gesek kulit leher yang sudah terbuka hingga semakin terbuka. Sebuah raungan mengerikan di dalam ruangan mengerikan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!