NovelToon NovelToon

Sesat : Teror!

Prolog

Sreeenggg... sreengggg... sreeenggg....

"Hmmmm baunyaa harum... Masak apa simbokku sayang? Keliatannya enak nih.." Seruku seraya mendekati wanita berdaster yang masih memakai celemek lusuh di pinggangnya.

"Oalah gita gita.. kamu itu ngagetin simbok aja. cewek kok jam segini baru bangun! Pantes sampai sekarang masih jadi pengganguran. Udah kalah sama yang lain." Gerutu simbokku seperti biasa.

"Hehehehe nanti aku cari kerja lagi mbok. Maklum lagi belum ada panggilan. Nah.. kalau sekarang ini perut mau minta di isi dulu nih mbok. Hehehe.." Celetukku.

"Heleh kamu ini nduk. Kalo di suruh cari kerja, ada aja alasannya." Balas simbok sembari meniup api kayu bakar yang hampir padam di dalam tungku tanah liat. Asap hitam mengepul tinggi memenuhi dapur sederhana kami yang hanya berdinding anyaman bambu.

"Gita, ini tempenya yang sudah matang bawa kesana, ke meja makan. Simbok disana juga sudah buatin sambal kesukaanmu. Sama sekalian panggil juga itu adik-adikmu." Titah simbok. Wajahnya terlihat amat kuyu di pagi yang cerah ini.

"Emmm.. Hari ini cuma goreng tempe ini aja mbok?" Ucapku melirik wajan yang masih bertengger di atas wajan.

"Masih mending nduk, cah ayu, kita bisa makan ini. Kamu harus banyak belajar bersyukur. Daripada kemarin kita cuma bisa makan sama sambel saja. Ini Alhamdulillah kita bisa makan sama tempe goreng." Lirih simbok.

"Iya mbok. Alhamdulillah. Maafin gita ya mbok." Balasku tersenyum. Entah mengapa tak tega rasanya jika melihat wajah satu-satunya orang tuaku itu bersedih.

"Nggak apa-apa nduk. Sana panggil dulu adik-adikmu biar kita bisa makan sama-sama. Biar simbok beresin ini dulu." Ucap simbokku kembali.

"Siap mbok! Hehehe"

Kemudian aku segera beranjak pergi dengan membawa sepiring tempe goreng ala simbok. Aku berjalan menuju meja kayu lawas yang di atasnya sudah tersaji sebakul nasi yang masih mengepul asapnya. Setelah membantu menyiapkan segala sesuatunya aku segera memanggil kedua adik-adikku untuk sarapan bersama. Mereka terlihat tengah bermain dengan mainan mereka masing-masing.

"Dewi, intan, ayo makan dulu. Nanti lagi mainannya." Panggilku. Mereka pun sepertinya juga sudah menanti saat-saat sarapan seperti ini. Terbukti hanya sekali panggil mereka langsung bergegas cepat untuk bangkit dari keasyikan mereka.

Kali ini kami berempat sudah duduk di meja makan sederhana ini bersama. Terlihat adik-adikku begitu lahap menyantap hidangan sederhana ini. Hanya dengan tempe goreng dan sambal terasi mereka dengan penuh syukur melahap sesuap demi sesuap. Selesai makan iya mereka lanjut lagi dengan mainannya.

"Kalian berdua mulai sekarang harus hati-hati ya kalau mau main diluar rumah. Bahaya." Tegur simbok agak berteriak pada kedua adikku.

"Emang kenapa mbok? Ada badut jahat ya?" Tanya intan dengan polosnya.

"Iya! Pokoknya kalian harus hati-hati sama orang yang nggak kenal! Jangan sembarang mau di ajak pergi-pergi. Terutama kamu dewi!" Ujar simbok kembali menasehati.

"Emang ada sih mbok? Tumben simbok bilang gitu." Tanyaku keheranan.

"Itu lho nduk. Di kampung sebelah tadi simbok dengar-dengar ada m*yat anak kecil tanpa identitas di ketemuin di kebun kopi. Katanya sih korban penculikan." Bisik simbok lirih.

"Oh.. gitu to mbok.." ujarku seraya manggut-manggut meski tak terlalu paham juga.

"Lho simbok kok nggak makan pake tempenya? kok cuma makan sama nasi tok?" Ucapku sembari menyendok sesuap nasi ke mulutku.

"simbok suka pakai sambel aja nduk. Tempenya buat kamu sama adik-adikmu saja. Simbok nggak usah." Ucap simbok lembut sembari tersenyum. Senyum tulus yang tidak pernah luntur tergerus masa.

Jujur saja, aku hanya bisa menahan tangis ketika benar tempe yang sedari pagi tadi, susah payah di goreng simbokku sudah habis. Menyisakan dua lembar tempe goreng di piringku. Tanpa pikir panjang aku ambil kedua tempe itu dan memberikannya ke piring simbok.

"Lho lah kok nggak di makan nduk?" Tanya simbok keheranan.

"Ini belum aku gigit kok mbok. Aku sudah merasa kenyang. Lagipula aku mau diet nih mbok udah kegendutan kayaknya.. Hehehehe." Ucapku dengan mata yang mulai memerah menahan hujan tangis yang hampir tumpah.

Terlintas sejenak bayangan bagaimana susahnya hidup keluargaku. Bagaimana sengsaranya hidup keluarga kami selama ini. Bahkan hanya untuk bisa menikmati sepotong tempe seperti ini saja simbok harus banting tulang menjadi buruh cuci atau tenaga serabutan di tetangga-tetangga kami yang berkecukupan. Apalagi semenjak bapak kami meninggal dunia setahun yang lalu, hal yang sontak saja membuat simbok harus berubah menjadi tulang punggung keluarga. Sementara aku? Semenjak bulan lalu saat toko yang kujadikan tempat mencari rezeki sudah bangkrut, aku terpaksa menganggur sementara waktu. Mau bagaimana lagi? Aku hanya seorang wanita biasa yang terbatas pendidikannya. Mencari lapangan pekerjaan bukanlah hal yang mudah semudah membalik telapak tangan. Mau berjualan pun juga harus mempunyai modal juga kan. Ya beginilah kehidupan. Huftt.. Betapa sulitnya hidup di negara yang katanya "tanah surga" ini.

Oh iya, dan untuk makan sehari-hari, tak pernah ada hal yang mewah di atas meja tua ini. Karena biasanya kami hanya mengandalkan sayur-sayuran yang di tanam di kebun belakang rumah. Dan itupun jika ada. Bahkan pernah satu waktu, kami hanya bisa makan dengan nasi yang di cocol garam kasar. Enak? Tentu tidak! rasanya hanya asin bercampur nelangsa. Namun heran, tak pernah aku temui ada semburat kesedihan di wajah simbok. Meski kehidupan keluarga kami seperti ini. Terseok-seok di lubang kemiskinan.

Hanya sesekali tangis lirih yang beliau keluarkan saat malam sudah beranjak larut. Di atas sajadah lusuh beliau menangis pelan agar tidak ada satupun anak-anaknya yang tahu. Betapa beratnya beban yang ada di atas pundaknya. Simbok adalah orang yang kuat bagiku dan kedua adik-adik kecilku.

"Nduk?" Panggil simbok membuyarkan sejenak lamunanku.

"Eh iya mbok. Kenapa?" Ucapku sedikit terkejut.

"Kamu nangis kenapa nduk? Maafin simbok ya nduk. Simbok cuma bisa ngasih makan ini. Simbok..simbok... Hiksss...hiksss..hikss.." tiba-tiba tangis simbok pecah di atas meja makan.

"Mbok.... anu.. ini gita matanya perih saja kok mbok..." Ujarku berkilah.

"Nduk.. kamu itu anak kebanggaan simbok." Balas simbok singkat. Matanya terlihat berkaca-kaca. Bias air mata masih menganak di sudut netranya.

"Mbok... emmm... Gita janji.... Janji.. bakal bahagiain simbok.... Gita....." Ucapku tak kuasa melanjutkan kata-kata. Menatap wajah simbok pun rasanya sudah tak kuasa lagi.

"Ssstttt.. doa simbok selalu meminta yang terbaik untuk kamu nduk. Semoga kamu sukses lalu di berikan jodoh yang mapan, sayang sama keluarga, supaya hidupmu tidak merasakan getir seperti simbokmu ini." Ujar simbok dengan mengusap air matanya.

"Terimakasih mbok.."

Tokkk...tokkk...tokkk...

(Tiba-tiba terdengar suara pintu depan di ketuk dengan cukup keras)

Situasi Sulit

"Maaf mas mus, saya benar-benar belum ada uang buat bayar. Saya janji, minggu depan pasti saya cicil mas. Saya mohon keringanannya sekali lagi. Saya benar-benar belum ada uang." Ucap simbok. Beliau terus saja menunduk tak berani menatap pria berwajah garang di hadapannya.

"Iya pak mus. Beri simbok keringanan sekali lagi. Saya bakal bantu-bantu bayar kok pak mus." Ucapku lantang mencoba membela simbok.

"Hahahaha!! Jangan ngelawak dek!! Heh.. dengerin ini ya lastri! Kamu itu sudah aku kasih jangka waktu yang panjang lho. Mundur lagi mundur lagi! Mau sampai kapan haaa??!!" Bentak laki-laki yang berdiri congkak di hadapan kami.

"Kalau punya otak itu di pakai hei!! Kamu lagi ini, sok-sokan mau jadi pahlawan! Emang mau bayar pakai apa? Kamu saja masih nganggur di rumah. Mau bayar pakai apa? Cewek kaya kanu itu bisa apa ha!!??" Bentak pak mus dengan nada yang cukup tinggi. Cukup memekakkan telinga kami berdua yang berada di hadapannya.

"Atau gini aja. Heh! Lastri, kalau kau tidak bisa bayar pakai uang, bagaimana kalau kamu bayar pakai jasa saja? Hehehehe.." Tutur pak mus dengan tatapan menjijikan. Jakunnya naik turun dengan begitu cepat memandangi simbok yang terus tertunduk lesu.

"Lagian kan kamu janda. Apa kamu tidak.." sambungnya dengan matanya terlihat buas menjijikkan.

"Saya.. saya.. yang akan tanggung semua utang simbok. Saya yang akan menanggung semuanya." Ujarku penuh penekanan. Rasa sesak dongkol memenuhi seluruh aliran darahku.

"Jika bukan karena hukum, sudah pasti mulutmu sudah tak buat babak belur pak mus!! " Batinku dalam hati. Tanganku sudah erat mengepal menggenggam sebongkah amarah.

"Kau tuli ya?! Emang kau mau bayar pakai apa setan! Atau gimana kalau kamu saja yang temani aku malam ini?? tak lihat-lihat kamu lumayan cantik juga. Hahahaha!!" Gertak pak mus seraya mencengkram kerah kaosku dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aku sampai terjinjit karena cukup kalah tinggi di banding pak mus yang berbadan kekar.

"Beri saya waktu dua Minggu lagi." Balasku dingin. Aku benar-benar sudah muak melihat laki-laki bermata mesum ini. Tatapannya saat menatap simbok dan aku benar-benar menjijikan. Aku tau dengan pasti apa yang ada di pikiran picik laki-laki brengs*k ini. Ingin rasanya aku bisa segera menendang wajahnya dengan keras.

"Baik! Tapi jika dalam satu bulan ini tidak ada niatan baik dari kalian untuk membayar, jangan salahkan Mustopo jika kalian akan menyesal selamanya!" Ucap pak mus mengancam.

Brakkkk....

(Suara pintu di banting dengan kasar)

...----------------...

Siang kian meninggi, panas pun sudah merambat dari ubun-ubun hingga menjalar ke seluruh tubuh. Angin sepoi-sepoi bertiup sedikit meringankan panas yang menguap. Aku yang sedang duduk di depan rumah hanya mampu mengawang angan-angan sukses yang kian jauh dari realita. Rintik air mata menetes bersamaan dengan setitik harapan yang kali ini sebisa mungkin ku pupuk bersama doa. Tentu, agar harapan tidak ikut mati bersama keputusasaan.

"Aku harus nyari kerja dimana lagi to yo.. hidup kok rasanya gini aja terus." Keluhku lirih.

"Coba aja aku kalau punya motor. Kan bisa ikut ngojek sana sini. Tapi jangankan motor, sepeda saja sudah di gadai sama simbok buat beli beras. Hehehe." Ujarku bicara sendiri. mirip seperti orang gila.

Brrrrmmm...brrrmmm.. tinnn!!!

"Woy gita? Lagi ngapain kamu? Ngomong sendiri kaya orang sinting!" Sapa indra, teman masa kecilku. Kebetulan ia tengah lewat di depan rumah. aku sampai tidak menyadarinya saking enaknya melamun.

"Eh ndra.. sini mampir dulu." Teriakku.

Jgllekk...

"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri? Mencurigakan! Atau kamu lagi jatuh cinta sama si edi ya?? Hahaha " Tukas Indra.

"Hiii... ogah amat! najis mugholadoh! Hehehe.. sahabat baikku datang. Alhamdulillah, sehat kan kamu ndra. Gimana kabarnya?" Ucapku dengan senyuman tulus andalanku.

"Heleh... Pasti ada maunya! Dasar bocah blegedes! Hehehe.. pasti mau pinjam uang kan?" Ucap indra terkekeh.

"Kamu emang satu-satunya teman yang perhatian ndra. Hehehe.."

"Hemm..ngapain kamu tadi ngelamun aja kaya gitu git? Nanti kesurupan tak sukurin kamu!" Tanya indra seraya mengeluarkan sebungkus rokoknya. Tentu rokoknya rokok yang lumayan ternama.

"Hehehe nggak apa-apa ndra. Eh ngomong-ngomong, kamu pakai motor siapa nih ndra? Baru ya? Bagus banget!" Ucapku setelah ngeh sadar dengan kendaraan indra yang berbeda dari sebelum-sebelumnya.

"Iya dong! Motor baruku nih. Harganya juga lumayan bos. Tiga puluh lima juta rupiah!" Ucap indra mantap.

"Ck..ck..ck..ck.. hebat banget kamu ndra.. joss!!" Decakku kagum.

"Hehehehe, indra gitu loh." Balas indra.

"Emang sekarang kamu kerja apa sih ndra? Keliatannya kok uangmu banyak banget. Hehehehe. Bisa dong ajak aku kerja kalau ada lowongan." Ucapku.

"Kerja...apa ya?? Gimana ya jelasinnya... ah paling kamu juga nggak paham. Pokoknya aku kerja. Kenapa emang git? Si brandalan mustopo itu nagih utang lagi?" Pungkas indra.

"Heem ndra.. tadi pagi dia dateng sambil bentak-bentak simbok lagi. Hufftt...." jawabku enggan mengulik lebih jauh.

" emang kurang ajar itu si om om genit! kapan-kapan mending kita laporin polisi aja deh git. Eh git, kamu udah dapet kerja belum?" Sambung indra lagi.

"Belum nih, susah nyari kerja sekarang ndra. Apalagi aku cewek, cuma tamatan SD pula. Makin sulit nyari kerja." Keluhku.

"Hmmm gitu ya. Yaudah kamu yang sabar dulu ya git." Ujar indra.

"Apa kalau nggak gini aja git. Kamu nyoba aja nglamar di tanteku, tante Yani. Dia penyalur tenaga kerja buat rumah tangga. E.. siapa tau ada lowongan kerja disana. tapi kalo kamu mau." Usul indra.

"Emang kerja rumah tangga itu gimana aja sih ndra? Aku di suruh nyuci baju sama nyapu ngepel gitu?" Balasku tak mengerti.

"Iya nggak tau git. Tapi selain itu kan masih ada juga yang butuh tukang kebun, supir, jaga toko atau serabutan. Lagian kan kerjanya juga nggak begitu berat. Siapa tau rejeki kamu disitu git." Jawab indra.

"Buset, aku jadi sopir? Nyetir aja gabisa kok. eh, Tapi gimana ya ndra.."

"Di coba dulu git. Katamu sekarang nyari kerja kan susah. Daripada nganggur kaya gini kan mending kamu nyoba tanya-tanya dulu sama tante Yani." Pungkas indra meyakinkan.

"Oke deh ndra. Besok kapan-kapan aku tak tanya kesana." Jawabku.

"Halah kelamaan. Sekalian ayo sekarang aku anterin. Kebetulan aku juga mau kesana nih. Gimana?" Jawab indra.

"Tapi..tapi kan aku belum mandi, belum ganti pakaian juga ndra. Bau acem lho.. Sebentar ya." Ucapku.

"Kelamaan. Udah gini aja gita. Kalau kamu kucel gini kan siapa tau tante Yani kalau lihat kamu, nanti dia kasian terus kamu langsung di suruh kerja. Hehehehe." Balas indra meledekku.

"Dasar temen lucknut! Sebentar aja aku mau ganti baju tok sekalian pamit sama adek-adekku. Tungguin ya." Kataku sambil berlalu masuk ke dalam rumah untuk segera berganti baju.

"Cepetan ah!" Tukas indra.

Akhirnya setelah sekian lama ada juga yang memberikan solusi. Entah mengapa hatiku begitu gembira hari ini. Bayangan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik semakin membuatku bersemangat. Hanya ada wajah simbok yang tersenyum bangga di benakku. Satu-satunya motivasi yang kupunya yang membuatku sangat bersemangat. Yang penting halal.

"Ayo ndra. Kita berangkat." Ucapku penuh semangat."

"Ayo let's go!" Jawab indra.

Kemudian aku yang di bonceng indra bergegas pergi. Tentu aku berpamitan lebih dahulu dengan simbok yang tengah menanam bibit jagung di kebun milik pak haji. Beliau di pekerjakan disana bersama beberapa ibu-ibu yang lain. Lelah, panas, berdebu, kotor, semua di jalani simbok dengan hati yang ikhlas Alasannya hanya satu yaitu untuk bertahan hidup kami sekeluarga sehari-hari.

Setelah sejenak meminta restu pada simbok di kebun, aku dan indra melanjutkan perjalanan yang tak begitu jauh karena masih dalam satu area kampung. Disana kami berhenti di sebuah rumah yang cukup besar. Maklum tante Yani merupakan salah satu orang kaya di kampungku. Tante Yani sebenarnya dulu juga berasal dari orang susah sepertiku. Hingga suatu hari, ia pergi merantau ke Jakarta dan hanya berselang enam bulan ia sudah pulang dengan membawa uang dan juga kehidupan baru yang berbeda 180 derajat! luar biasa bukan.

Dalam waktu tempo yang sangat singkat saja ia mampu merobohkan gubuk tempat tinggalnya dan membangun istana yang begitu megah. Mampu membeli mobil dengan berbagai merk yang berbeda. Juga mampu membeli tanah dan sawah berhektar-hektar luasnya. Sungguh pencapaian luar biasa untuk seorang janda dengan satu anak. Lalu darimana sebenarnya harta-harta yang seakan tak pernah habis itu? Sebenarnya kerja apa selama enam bulan ia di jakarta hingga bisa sesukses ini? Entahlah, yang terpenting semoga aku bisa segera bekerja dengan giat dan secepatnya bisa membantu simbok. Semoga ini benar-benar menjadi jalan rezeki untukku. Amin.

Ragu

Ting... tong... ting... tong...

(Suara bel pintu nyaring berbunyi)

Cklekkk...drttttt...

"Silahkan masuk mas indra. Sudah di tunggu ibu di ruang tamu." Sapa seorang wanita paruh baya segera setelah membukakan pintu untuk kami.

"Iya. Makasih ya bi." Balas indra.

"Wih gila! Besar juga rumahnya." Gumamku.

"Ayo git. Cepetan kita masuk." Ajak indra. Aku pun segera mengikuti langkah kaki indra secepatnya.

"Nggak usah pakai narik-narik tangan! Aku masih bisa lihat jalan pe'a." Ujarku saat indra terus menarik lenganku.

"Hehehe maaf-maaf. Lagian jalannya kaya keong. Kelamaan."

"Huffftt.."

Kami pun berjalan menyusuri rumah yang cukup mewah dan begitu indah. Kalo di lihat-lihat, mungkin saja harga semua furniturenya bisa untuk membeli satu rumahku beserta seisi-isinya. Hehehe. Dasar kampungannya aku. Hehehehe.

Singkat waktu, akhirnya aku dan indra sekarang sudah duduk di depan tante Yani yang terlihat tak kalah glamornya. Suara kerincing gelangnya yang berukuran jumbo dan berjumlah puluhan sudah cukup menggambarkan dirinya sebagai orang yang sudah benar-benar sukses dan tentunya kaya raya. Aku pun sampai melongo melihat perubahan drastis tante Yani dengan kondisinya yang sekarang.

"Jadi kamu anaknya almarhum pak Yono?" Tanya Tante Yani sembari tersenyum. Tak lupa, dua gelas es sirup di suguhkan di depanku dan indra.

"Iya bu, eh tante." Jawabku sedikit gelagapan karena sedikit melamun.

"Panggil saja tante. Siapa nama kamu tadi?" Sambung tante Yani.

"Saya Gita tante." jawabku dengan sembari menunduk. Rok tante Yani yang begitu pendek membuatku sedikit aneh sendiri di buatnya. Apakah memang semua orang kaya sudah kehilangan rasa malu ya? Batinku.

"Ada sih...yang lagi butuh tenaga. Namanya pak Dito sama istrinya bu Sandra. Mereka berdua sahabat baik tante. Tapi..." Ucap tante Yani.

"Emmmm... Sudah... Kamu sudah mantap untuk bekerja? Dan kalau kamu kekeuh, besok pagi datang kesini ya. Tapi ini kerjanya di daerah Semarang lho. Lumayan jauh dari sini. Apa kamu masih minat?" Tukas tante Yani.

"Iya tante nggak apa-apa. Apapun saya mau. Asal halal tante. Tapi, kalau jauh seperti itu saya nanti pulangnya gimana?" Ujarku. Meskipun aku memang benar-benar butuh uang, tapi tak tega juga rasanya jika harus jauh-jauh meninggalkan simbok di rumah. Nanti siapa dong yang bantu-bantu simbok.

"Nanti itu bisa kamu omongkan ke pak Dito sama bu Sandra langsung saja. Mereka baik kok orangnya. Royal lagi kalau sama karyawan. Lumayan dek, Gajinya sih biasa-biasa aja. Palingan cuma 3jt perbulan." Balas tante Yani.

Mendengar kata 3jt, sontak saja aku menelan ludahku sendiri. Dengan entengnya tante membicarakan uang 3jt sementara aku sendiri belum pernah memegang uang sebanyak itu. Memang standar orang kaya berbeda jauh.

"Boleh saya nanti bicarakan dulu nggak tante sama simbok saya. Saya sekalian mau izin sama simbok juga." Ucapku.

"Boleh. Nanti malem kalau kamu mau kesini juga nggak apa-apa dek. Nginep sini aja dulu. Biar pagi harinya bisa fresh terus nanti sekalian di jemput sama pak Dito. Biar dia mampir sini nanti. Soalnya dia lagi bisnis nggak jauh dari kampung ini." Balas tante Yani seraya mengedipkan satu matanya genit.

"Dasar tante-tante genit! Pantas indra betah." Umpatku dalam hati.

"Gimana dek? Malah ngelamun. Hehehe" Tukas tante Yani karena aku hanya terdiam saja.

"Kok aku nggak di tawarin nginep disini juga sih tan?" Protes indra yang sedari tadi fokus dengan HP-nya kini ikut buka suara.

"Tante udah bosen sama kamu. Wleee." Ledek tante Yani seraya menjulurkan lidahnya.

"Ada yang nggak beres sama mereka berdua! Edan!" Batinku dalam hati.

"Yaudah tan. Kami berdua pulang dulu ya. Nanti malam saya kabari lagi. Terimakasih." Pamitku. Tak lupa aku menyenggol lengan indra untuk segera pergi dari rumah tante Yani.

Setelah berpamitan aku kemudian di antar oleh indra hingga selamat sampai depan rumah. Namun indra tak mampir dahulu ke rumahku lagi. karena katanya ia ada urusan lain. Aku pun mengiyakan saja sahabatku yang kurasa memang punya perangai cukup sulit di tebak seperti dia.

Di dalam rumahku, atau lebih tepat gubuk reotku ini, suara azan ashar sore baru saja berkumandang. Di kursi dapur ini juga, kembali aku memikirkan masalah utama yang kuhadapi. Bagaimana caranya berpamitan dengan simbok? Apakah aku bisa tega meninggalkannya sendirian? Lalu apakah aku harus menerima tawaran menggiurkan dengan gaji yang terhitung lumayan besar itu. jika tidak kuambil, bagaimana cara membayar hutang pada cecunguk jelek itu? Keputusan apa yang harus aku ambil?

"Nduk. Kamu kenapa ngelamun gitu? Sampai-sampai simbok salam nggak di jawab?" Tegur simbok menepuk pundakku dari belakang. Suara lembut yang selalu aku rindukan.

"Ehh.. simbok ngagetin aja." Jawabku.

"Kamu sudah makan nak?" Ucap simbok lembut sembari mengeluarkan sebuah bungkusan kertas minyak dari plastik hitam yang ia bawa.

"Apa itu mbok?" Tanyaku heran.

"Ini ayam goreng. Tadi di tempat pak haji, yang kerja disana di beliin ini, semuanya di traktir buat makan siang. Jadi simbok bawa pulang saja biar di makan kamu sama adek-adek kamu." Ucap simbok lembut.

"Lho kok masih utuh mbok? Emang simbok nggak makan?" Tanyaku heran ketika melihat sepotong ayam yang masih utuh bentuknya.

"Tadi simbok sudah makan lalapan sama sambelnya tok. Ayamnya buat kamu sama adek-adekmu saja. Simbok sudah kenyang." Tutur simbok.

"Huffftttt.. mbok, aku.. aku sebenarnya tadi di tawarin kerja tapi, tempatnya jauh di Semarang sana mbok. Gajinya besar mbok. Kalau aku bersedia, aku di suruh berangkat besok pagi. Tapi jujur, aku nggak tega kalau ninggalin simbok di desa sendirian. Aku benar-benar nggak tega." Ucapku menahan nelangsa di hati.

"Nduk. Simbok nggak apa-apa kok. Kalau kamu cocok sama kerjaannya, nyaman, simbok nggak nglarang. Doa simbok selalu buat kamu."

"Tapi mbok..."

"Sudahlah cah ayu. Jangan sedih. Kamu itu masih muda. Kamu itu wanita yang tangguh. Kamu itu sudah besar, harus kuat dan bisa memutuskan apa yang benar dan salah. Kamu harus bisa menentukan jalan kamu sendiri. Nggak selamanya kamu itu hidup sama simbok. Suatu saat kamu juga pasti di pinang seorang laki-laki yang akan jadi imam kamu. Suatu saat, kamu pasti juga bakal ikut suami kamu. Kamu harus belajar mandiri. Kamu berhak mencari masa depanmu sendiri." Ucap simbok.

"Ini sayang. Bawa ini untuk bekal kamu besok. Simbok tau ini nggak seberapa. Tapi lumayan ini bisa buat pegangan kamu disana." Sambung simbok seraya menyodorkan dua lembar uang dua puluh ribu.

"Enggak mbok, ini buat simbok sama buat jajan adek aja. Aku nggak usah mbok." Ucapku menolak uang tersebut. Uang yang di dapatkan simbok dari upah bekerja seharian di kebun pak haji.

"Simbok akan merasa sangat kecewa sekali nduk jika kamu menolak pemberian simbok. Cuma ini yang bisa simbok kasih. Simbok mohon nduk. Terimalah." Pinta simbok.

"Nanti simbok gimana kalau aku bawa uang ini? Gimana jajan adek-adek nanti?" Protesku masih enggan membawa satu-satunya uang yang di punyai simbok.

"Besok kan simbok masih kerja di pak haji. Bawalah uang itu nak. Kejar cita-citamu anakku. Simbok hanya bisa membantumu dengan doa." Tutur simbok.

Tak kuasa lagi kata-kata keluar dari bibir ini. Hanya seuntai perasaan yang mengalir lembut dari dua netra yang berlinang bagai berlian. Hangat sehangat tulusnya cinta seorang ibu. Aku beruntung masih memilikimu mbok. Engkau terus mengasihiku meskipun dalam kekurangan yang terus merangkul hidup. Engkau lah pelita dalam kegundahan hati yang tengah di ombang-ambing keragu-raguan.

Ku peluk erat tubuh kurus wanita yang 25 tahun lalu melahirkanku ke dunia yang keras ini. Ku cium kasih pipinya. Bahkan jika aku memberikan segunung emas, itu seperti tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan tulusnya kasih dan sayang yang selalu beliau curahkan padaku beserta kedua adik-adikku.

"Aku janji akan membahagiakanmu mbok. Pasti!" Batinku penuh kecamuk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!