Ting... tong... ting... tong...
(Suara bel pintu nyaring berbunyi)
Cklekkk...drttttt...
"Silahkan masuk mas indra. Sudah di tunggu ibu di ruang tamu." Sapa seorang wanita paruh baya segera setelah membukakan pintu untuk kami.
"Iya. Makasih ya bi." Balas indra.
"Wih gila! Besar juga rumahnya." Gumamku.
"Ayo git. Cepetan kita masuk." Ajak indra. Aku pun segera mengikuti langkah kaki indra secepatnya.
"Nggak usah pakai narik-narik tangan! Aku masih bisa lihat jalan pe'a." Ujarku saat indra terus menarik lenganku.
"Hehehe maaf-maaf. Lagian jalannya kaya keong. Kelamaan."
"Huffftt.."
Kami pun berjalan menyusuri rumah yang cukup mewah dan begitu indah. Kalo di lihat-lihat, mungkin saja harga semua furniturenya bisa untuk membeli satu rumahku beserta seisi-isinya. Hehehe. Dasar kampungannya aku. Hehehehe.
Singkat waktu, akhirnya aku dan indra sekarang sudah duduk di depan tante Yani yang terlihat tak kalah glamornya. Suara kerincing gelangnya yang berukuran jumbo dan berjumlah puluhan sudah cukup menggambarkan dirinya sebagai orang yang sudah benar-benar sukses dan tentunya kaya raya. Aku pun sampai melongo melihat perubahan drastis tante Yani dengan kondisinya yang sekarang.
"Jadi kamu anaknya almarhum pak Yono?" Tanya Tante Yani sembari tersenyum. Tak lupa, dua gelas es sirup di suguhkan di depanku dan indra.
"Iya bu, eh tante." Jawabku sedikit gelagapan karena sedikit melamun.
"Panggil saja tante. Siapa nama kamu tadi?" Sambung tante Yani.
"Saya Gita tante." jawabku dengan sembari menunduk. Rok tante Yani yang begitu pendek membuatku sedikit aneh sendiri di buatnya. Apakah memang semua orang kaya sudah kehilangan rasa malu ya? Batinku.
"Ada sih...yang lagi butuh tenaga. Namanya pak Dito sama istrinya bu Sandra. Mereka berdua sahabat baik tante. Tapi..." Ucap tante Yani.
"Emmmm... Sudah... Kamu sudah mantap untuk bekerja? Dan kalau kamu kekeuh, besok pagi datang kesini ya. Tapi ini kerjanya di daerah Semarang lho. Lumayan jauh dari sini. Apa kamu masih minat?" Tukas tante Yani.
"Iya tante nggak apa-apa. Apapun saya mau. Asal halal tante. Tapi, kalau jauh seperti itu saya nanti pulangnya gimana?" Ujarku. Meskipun aku memang benar-benar butuh uang, tapi tak tega juga rasanya jika harus jauh-jauh meninggalkan simbok di rumah. Nanti siapa dong yang bantu-bantu simbok.
"Nanti itu bisa kamu omongkan ke pak Dito sama bu Sandra langsung saja. Mereka baik kok orangnya. Royal lagi kalau sama karyawan. Lumayan dek, Gajinya sih biasa-biasa aja. Palingan cuma 3jt perbulan." Balas tante Yani.
Mendengar kata 3jt, sontak saja aku menelan ludahku sendiri. Dengan entengnya tante membicarakan uang 3jt sementara aku sendiri belum pernah memegang uang sebanyak itu. Memang standar orang kaya berbeda jauh.
"Boleh saya nanti bicarakan dulu nggak tante sama simbok saya. Saya sekalian mau izin sama simbok juga." Ucapku.
"Boleh. Nanti malem kalau kamu mau kesini juga nggak apa-apa dek. Nginep sini aja dulu. Biar pagi harinya bisa fresh terus nanti sekalian di jemput sama pak Dito. Biar dia mampir sini nanti. Soalnya dia lagi bisnis nggak jauh dari kampung ini." Balas tante Yani seraya mengedipkan satu matanya genit.
"Dasar tante-tante genit! Pantas indra betah." Umpatku dalam hati.
"Gimana dek? Malah ngelamun. Hehehe" Tukas tante Yani karena aku hanya terdiam saja.
"Kok aku nggak di tawarin nginep disini juga sih tan?" Protes indra yang sedari tadi fokus dengan HP-nya kini ikut buka suara.
"Tante udah bosen sama kamu. Wleee." Ledek tante Yani seraya menjulurkan lidahnya.
"Ada yang nggak beres sama mereka berdua! Edan!" Batinku dalam hati.
"Yaudah tan. Kami berdua pulang dulu ya. Nanti malam saya kabari lagi. Terimakasih." Pamitku. Tak lupa aku menyenggol lengan indra untuk segera pergi dari rumah tante Yani.
Setelah berpamitan aku kemudian di antar oleh indra hingga selamat sampai depan rumah. Namun indra tak mampir dahulu ke rumahku lagi. karena katanya ia ada urusan lain. Aku pun mengiyakan saja sahabatku yang kurasa memang punya perangai cukup sulit di tebak seperti dia.
Di dalam rumahku, atau lebih tepat gubuk reotku ini, suara azan ashar sore baru saja berkumandang. Di kursi dapur ini juga, kembali aku memikirkan masalah utama yang kuhadapi. Bagaimana caranya berpamitan dengan simbok? Apakah aku bisa tega meninggalkannya sendirian? Lalu apakah aku harus menerima tawaran menggiurkan dengan gaji yang terhitung lumayan besar itu. jika tidak kuambil, bagaimana cara membayar hutang pada cecunguk jelek itu? Keputusan apa yang harus aku ambil?
"Nduk. Kamu kenapa ngelamun gitu? Sampai-sampai simbok salam nggak di jawab?" Tegur simbok menepuk pundakku dari belakang. Suara lembut yang selalu aku rindukan.
"Ehh.. simbok ngagetin aja." Jawabku.
"Kamu sudah makan nak?" Ucap simbok lembut sembari mengeluarkan sebuah bungkusan kertas minyak dari plastik hitam yang ia bawa.
"Apa itu mbok?" Tanyaku heran.
"Ini ayam goreng. Tadi di tempat pak haji, yang kerja disana di beliin ini, semuanya di traktir buat makan siang. Jadi simbok bawa pulang saja biar di makan kamu sama adek-adek kamu." Ucap simbok lembut.
"Lho kok masih utuh mbok? Emang simbok nggak makan?" Tanyaku heran ketika melihat sepotong ayam yang masih utuh bentuknya.
"Tadi simbok sudah makan lalapan sama sambelnya tok. Ayamnya buat kamu sama adek-adekmu saja. Simbok sudah kenyang." Tutur simbok.
"Huffftttt.. mbok, aku.. aku sebenarnya tadi di tawarin kerja tapi, tempatnya jauh di Semarang sana mbok. Gajinya besar mbok. Kalau aku bersedia, aku di suruh berangkat besok pagi. Tapi jujur, aku nggak tega kalau ninggalin simbok di desa sendirian. Aku benar-benar nggak tega." Ucapku menahan nelangsa di hati.
"Nduk. Simbok nggak apa-apa kok. Kalau kamu cocok sama kerjaannya, nyaman, simbok nggak nglarang. Doa simbok selalu buat kamu."
"Tapi mbok..."
"Sudahlah cah ayu. Jangan sedih. Kamu itu masih muda. Kamu itu wanita yang tangguh. Kamu itu sudah besar, harus kuat dan bisa memutuskan apa yang benar dan salah. Kamu harus bisa menentukan jalan kamu sendiri. Nggak selamanya kamu itu hidup sama simbok. Suatu saat kamu juga pasti di pinang seorang laki-laki yang akan jadi imam kamu. Suatu saat, kamu pasti juga bakal ikut suami kamu. Kamu harus belajar mandiri. Kamu berhak mencari masa depanmu sendiri." Ucap simbok.
"Ini sayang. Bawa ini untuk bekal kamu besok. Simbok tau ini nggak seberapa. Tapi lumayan ini bisa buat pegangan kamu disana." Sambung simbok seraya menyodorkan dua lembar uang dua puluh ribu.
"Enggak mbok, ini buat simbok sama buat jajan adek aja. Aku nggak usah mbok." Ucapku menolak uang tersebut. Uang yang di dapatkan simbok dari upah bekerja seharian di kebun pak haji.
"Simbok akan merasa sangat kecewa sekali nduk jika kamu menolak pemberian simbok. Cuma ini yang bisa simbok kasih. Simbok mohon nduk. Terimalah." Pinta simbok.
"Nanti simbok gimana kalau aku bawa uang ini? Gimana jajan adek-adek nanti?" Protesku masih enggan membawa satu-satunya uang yang di punyai simbok.
"Besok kan simbok masih kerja di pak haji. Bawalah uang itu nak. Kejar cita-citamu anakku. Simbok hanya bisa membantumu dengan doa." Tutur simbok.
Tak kuasa lagi kata-kata keluar dari bibir ini. Hanya seuntai perasaan yang mengalir lembut dari dua netra yang berlinang bagai berlian. Hangat sehangat tulusnya cinta seorang ibu. Aku beruntung masih memilikimu mbok. Engkau terus mengasihiku meskipun dalam kekurangan yang terus merangkul hidup. Engkau lah pelita dalam kegundahan hati yang tengah di ombang-ambing keragu-raguan.
Ku peluk erat tubuh kurus wanita yang 25 tahun lalu melahirkanku ke dunia yang keras ini. Ku cium kasih pipinya. Bahkan jika aku memberikan segunung emas, itu seperti tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan tulusnya kasih dan sayang yang selalu beliau curahkan padaku beserta kedua adik-adikku.
"Aku janji akan membahagiakanmu mbok. Pasti!" Batinku penuh kecamuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments