Senja kian tenggelam di ufuk barat. Angin sejuk bertiup lembut berdamai dengan gerimis yang menetes dari langit. Lelah seharian bekerja membuatku ingin segera merebahkan tubuh ini ke atas peraduan. Aku pun berjalan lemas ke arah belakang. Tempat dimana kamar baruku berada. Namun, ketika aku melewati area dapur, terlihat disana ada mbok Yem yang tengah mencuci piring. Karena merasa masih menjadi orang asing disini, aku pun berinisiatif untuk menyapanya terlebih dahulu.
"Assalamualaikum.. ini mbok Yem ya? Perkenalkan saya Gita mbok. Saya karyawan baru. Saya juga kerja disini." Salamku menyapa pelan pada ibu-ibu paruh baya bertubuh gempal itu.
"Oh.. saya sudah tau. Tadi kan saya lihat kamu sama Totok kerja di belakang sana." Jawabnya.
"Kamu sudah makan belum?" Sambungnya mbok Yem lagi.
"Belum mbok. Belum terlalu lapar juga kok. Hehehe" Jawabku . Sebenarnya rasanya sudah sangat lapar sekali perutku. Namun aku masih merasa sedikit canggung disini.
"Jangan sungkan nduk. Kalau kamu lapar, itu ada nasi sama lauknya ada disitu semua. Ndak usah malu, pak Dito juga lagi nggak ada di rumah kok." Jawab mbok Yem sembari menunjuk meja makan yang ada di tengah dapur.
"Melihat kamu, simbok jadi ingat sama anak simbok." tiba-tiba raut wajah wanita paruh baya itu nampak murung.
"Hehehe, I-iya mbok. Makasih." Ucapku.
Akhirnya karena cacing-cacing di dalam perutku sudah berdemo ria, aku pun mengambil secentong nasi dan lauk yang beraneka ragam dan lumayan banyak. Bukankah pak Dito dan bu Sandra belum pulang? Kenapa mbok Yem masak begitu banyak seperti ini ya? Ah masa bodohlah. Yang penting makan dulu. Hehehe. Kira-kira simbok sama adik-adikku sudah makan belum ya. Jadi kepikiran sama mereka..
"Mbok, ini semua mbok Yem yang masak?" Tanyaku yang masih lahap menyuap sesendok demi sesendok nasi ke dalam mulut.
"Iya git. Kenapa? Enak nggak?" Tutur mbok Yem.
"Enak mbok. Enak. Tapi, apa ini nggak kebanyakan mbok? Pak Dito kan belum pulang. Apa nggak mubadzir nanti mbok?" Tanyaku heran.
"Enggak kok. Kamu tenang saja." Ujar mbok Yem sembari tersenyum kecil. Percakapan kami pun selesai sampai disitu, aku tak ingin bertanya lagi lebih jauh dan membuat mbok Yem tidak nyaman.
Setelah selesai makan, aku pun membantu mbok Yem beres-beres. Setelah perutku terisi aku bergegas menuju kamarku dan berencana segera mandi. Setelah itu bisa tidur dengan pulas. Hahaha. Rencana yang indah bukan.
Cklekkk... krieeetttt ..
Sesudah masuk ke dalam kamar, betapa terkejutnya aku ketika melihat isi lemariku sudah berhamburan keluar. Seingatku aku sudah mengunci pintu kamarku. Bahkan kuncinya pun selalu aku kantongi. Lantas siapa yang berani-beraninya mengacak-acak kamarku. Apa yang dia cari sebenarnya sih! Di tambah ada jejak lumpur tercetak jelas di sekitar lemariku.
"Kurang ajar! Kelakuan siapa ini! Dasar tidak punya otak! apa mungkin ini kerjaan maling ya. Tapi masak iya ada maling masuk!" Umpatku. Mataku memerah menahan gejolak amarah. Rasa jengkel, marah, tidak terima bercampur padu menjadi satu.
"Mau cari apa sih sebenarnya?! Orang aku juga nggak punya apa-apa. Lagian kalo mau maling, apa juga yang mau di maling!! Mau maling dalemanku! Haaa!! Hufffttt.. bikin kerjaan aja!" Lagi-lagi emosiku meletup-letup bagaikan air yang mendidih.
"Kira-kira siapa ya yang lakuin ini semua? Apa mungkin pak Hadi?! Sialan itu orang. Udah serem, kelakuannya bikin jengkel aja! Awas aja nanti kalau pak Dito pulang, biar aku laporin kelakuannya. Biar di pecat sekalian orang kaya gitu. Mana kakinya kotor banget lagi. Huffftttt... Jadi kotor kan semua bajuku." Hardikku sembari membereskan beberapa pakaian yang berceceran di lantai.
Akhirnya malam itu juga aku terpaksa harus bekerja ekstra untuk menyapu dan mengepel lagi lantai yang penuh lumpur di seluruh sudut kamarku. Serta tak lupa juga aku membereskan pakaianku yang sudah amburadul. Kuat dugaanku jika pelakunya memang si pak Hadi itu. Dari awal, hanya dia yang terlihat tidak suka dengan kehadiranku disini. Setelah membereskan semuanya aku yang sudah benar-benar kelelahan pun akhirnya ambruk di kasur lantaiku. Akupun terlelap tidur bersama mimpi yang berterbangan di angan-angan semu.
...----------------...
Gelap kian menggulita, riuh suara hewan malam turut meramaikan suasana di sebuah pelosok desa terpencil di kaki bukit. Remang bayangan-bayangan samar bersembunyi di balik pekatnya malam. Di rumah sederhana ini lah pak Dito dan bu Sandra rutin berkunjung. Mereka berdua segera bergegas memasuki rumah yang di depannya hanya di terangi oleh sebuah lampu kuning temaram. Disana mereka sudah di tunggu oleh seorang wanita tua dengan rambut putih panjang yang di gerai acak. Wanita itu tersenyum sembari memperlihatkan giginya yang merah karena kegiatan menyirihnya.
"Bagaimana keadaannya bu? Apa sudah bisa di lakukan sekarang?" Tanya bu Sandra sesaat setelah meletakkan tas jinjingnya.
"Kalian ini terburu-buru sekali. Tunggulah sampai hari itu tiba. Kalian tenang saja. Selama dia ada disini, aku yang akan merawatnya. Hihihihi." Ujar nenek-nenek itu terkekeh. Suaranya nyaring menggema merambat dalam kesunyian.
"ma-maafkan kami bu." ujar Sandra tertunduk.
"Hmm.. Apa dia memberontak lagi bu? Ingat ya bu, ibu minah harus jaga dia juga. Jangan sampai dia mati dulu. kita masih butuh dia." Ucap pak Dito pelan namun penuh penekanan.
"Jangan sekali-kali mengancamku Dito. Aku tau apa yang aku lakukan. Jadi diamlah dan pastikan semua berjalan baik. Kau sendiri sudah tau tugasmu bukan?!" Tegas nenek itu berubah memunggungi pasangan suami istri tersebut.
"Baik-baik. Maafkan aku bu." Tutur pak Dito melunak. Dia menjadi tidak berdaya tatkala setiap kali harus berhadapan dengan wanita tua di depannya ini.
"Apakah kamu sudah sembuh nduk?" Tanya nenek tua itu tanpa menoleh sedikitpun.
"Berkat ramuan dari ibu, dia jadi sudah lebih baik bu. Hanya beberapa kali saja terlihat masih mengalami muntah darah." Jawab pak Dito mewakili istrinya.
"Hihihihi.." kembali terdengar tawa cekikikan dari wanita tua bongkok itu. Kemudian seketika suasana menghening. Benar-benar senyap membisu.
"Bo-boleh sekarang kami tengok Nidya bu?" Tanya bu Sandra lembut memecah keheningan sesaat antara mereka bertiga.
"Silahkan. Hihihi.." Balas nenek itu sembari pergi berjalan tanpa menengok kedua orang yang sedang duduk di kursi tamu tersebut.
Setelah mendapatkan ijin, pasutri itu pun berjalan ke belakang mengikuti langkah wanita tua bongkok yang berjalan mendahului mereka. Derap langkah kaki mereka pelan-pelan menyusuri rumah yang amat sangat minim pencahayaan ini. Hingga tak jauh dari ruang tamu, mereka sampai di depan kamar sederhana yang hanya di tali simpul di grendel pintunya. Serta terdapat beberapa tempelan kertas bergambar tulisan seperti tulisan jawa yang di tempel di semua sudut pintu kayu sederhana itu. Dengan perlahan wanita sepuh itu membuka sebuah ruangan pengap yang hanya di terangi dua buah lampu minyak di kedua sudutnya. Remang, gelap, pengap menghiasi kamar sempit itu.
Cklekkk.... kriiiiieeeeettt....
(Suara pintu di buka lebar)
Bu Sandra dan pak Dito segera merangsek masuk secara bersamaan. Mata mereka segera terpaku pada sebuah ranjang tua. Nampak sebuah tubuh kurus kering tengah terbaring di atas matras kecil yang terlihat lusuh. Wajahnya putih pucat dengan kulit yang sudah keriput. Menampakkan sekilas tulang-tulang yang di balut kulit yang tipis. Mengenaskan! Terlihat gaun putih cantik yang menyelimuti tubuh kecil itu. Gaun panjang yang menggerai hingga menyentuh lantai. Sesaat ketika Bu Sandra hendak masuk tiba-tiba...
Syuuutttt.....Pyarrr.....!!!!!!
Tiba-tiba, sebuah gelas terbang persis di sebelah bu Sandra. Gelas kaca itu pecah berkeping-keping meninggalkan pecahan-pecahan kaca tajam berserakan dimana-mana. Mata bu Sandra seketika terbelalak karena terkejut. Matanya kini memerah melirik ke arah pojok ruangan. Amarah kini bergantian menyelimuti wajah perempuan anggun itu. Aura cantik menawan yang selama ini menempel pada dirinya kini berubah menjadi aura yang sangat buas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments