Dia Belum Mati

Dia Belum Mati

Gangguan Di Sekolah

PROLOG

Aku mengernyitkan dahi mendengar Marsa tidak bisa melihat sosok yang sedang mengikutiku. Padahal gadis itu selalu menyombongkan dirinya memiliki kelebihan sebagai anak indigo.

“Serius, kamu nggak bisa lihat dia?” tanyaku pada Marsa.

Marsa menggelengkan kepalanya sambil melipat kedua tangan di dada. Padahal sosok yang aku maksud sedang terkikik sambil menutup mulutnya. Aku hanya bisa menghela nafas sambil menatap bergantian Marsa dan sosok hantu perempuan yang saat ini sedang berlari kecil sambil bersenandung mengitari aku dan Marsa.

“Arka, jangan-jangan kamu bukan indigo seperti aku,” ujar Marsa dan aku tidak peduli mau aku indigo atau bukan.

“Lalu?”

“Yang kamu lihat bukan sosok makhluk tak kasat mata tapi temanmu yang hanya bisa dilihat olehmu sendiri karena dia hanya imajinasimu. Sebaiknya kamu segera konsultasi ke psikolog.”Marsa menuduh aku memiliki teman khayalan.

“Hm.”

Marsa berjalan menjauh, aku menghela nafas sambil menatap sosok hantu perempuan ralat sosok teman imajinasiku menurut Marsa.

“Sebenarnya kamu itu apa? Marsa tidak bisa melihatmu tapi aku bisa dan kamu takut bertemu Papa atau memang kamu BELUM MATI?”

 

...***...

 

“Oh God, please aku masih di bawah umur.”

Selalu saja setiap pagi aku akan melihat pemandangan itu, Papa dan Mama yang saling peluk bahkan kadang Papa tidak sungkan mendaratkan bibirnya di kening dan bibir Mama. Padahal mereka hanya berpisah sebentar karena Papa harus bekerja dan akan kembali lagi nanti sore.

“Aksa, jangan lupa temui Om Kaivan,” teriak Mama sambil melambaikan tangannya.

Setiap pagi aku berangkat ke sekolah ikut dengan Papa, padahal aku bisa saja berangkat sendiri dengan motor atau naik angkutan umum tapi usul itu ditolak oleh Mama dengan alasan aku belum cukup umur untuk berkendara sendiri.

Menjadi anak semata wayang, kadang aku bersyukur kadang aku pun memaki situasi ini. Bagaimana tidak, Mama selalu memintaku ikut dengannya entah itu arisan atau menemani undangan jika Papa sedang tidak ada. Aku sering dianggap adik Mama bukan putranya. Perbedaan umur orang tuaku memang kentara tapi Mama memang terlihat masih muda karena pernikahan mereka terjadi saat Mama masih kuliah dan menjadi awal kelebihan dan bakat yang aku miliki saat ini.

“Konsentrasi dengan pelajaran, abaikan saja semua gangguan. Masih ingat doa yang diajarkan Kakek dan Papa?”

“Iya, masih.” Aku mencium tangan Papa sebelum keluar dari mobil yang sudah berhenti di depan gerbang sekolah.

Baru beberapa langkah menapaki area sekolah lalu berjalan di koridor, terdengar teriakan dan pecahan kaca dari lantai dua membuat beberapa siswa berlarian menuju arah suara.

Kesurupan lagi? padahal masih pagi, mereka ngapain sih sampai makhluk halus saja terganggu.

Aku kembali berjalan menuju kelasku. Tahun ajaran baru dimulai baru seminggu ini dan ada beberapa bangunan baru yang digunakan. Ada kejadian aneh akhirnya-akhir ini salah satunya kesurupan siswa.

“Arka, anak kelas sebelas ada yang kena lagi,” seru Bono teman satu kelas dan kebetulan sahabatku sejak bersekolah di SMA ini.  

Aku terpaku di tempat bukan karena apa yang disampaikan Bono tapi menatap pojok kelas di mana ada sosok nenek dengan wajah keriput dan lingkar mata hitam. Yang membuatnya tampak menyeramkan adalah dia sering  tertawa dan menyeringai sambil mencakar dinding.

Kebetulan kelas ini berada paling ujung dan minim cahaya matahari, jadi bagian belakang kelas agak gelap. Di situlah makluk itu berada dan saat ini sedang menatap tajam ke arahku. Aku bisa melihatnya? Tentu saja, entah karena aku memang anak indigo atau apalah istilah masyarakat tapi aku memang bisa melihat dan merasakan makhluk tak kasat mata.

“Panas, hentikan!” teriak makhluk itu saat aku melantunkan doa dalam hati.

Jangan munculkan dirimu di siang hari apalagi mengganggu teman-temanku.

Ransel yang aku gendong sudah berada di atas meja dan aku bersandar pada kursi menatap Bono yang masih saja mengoceh tentang siswa yang kesurupan.

“Kenapa sih lo nggak mau nunjukin kemampuan lo?”

Aku menghela nafas mendengar pertanyaan Bono.

“Kemampuan apaan? Lo pikir gue pahlawan super.”

“Iya, lo bisa lihat mereka yang nggak bisa kita lihat dan lo juga bisa bantu sadarkan mereka. Kenapa malah milih diam di sini,” seru Bono lagi.

“Bon, mereka nggak akan mengganggu kalau tidak terganggu. Sudah ada guru kita yang bisa menyembuhkan mereka.”

“Ck, tapi ‘kan ….”

“Sudahlah setiap makhluk sudah memiliki peran hidupnya masing-masing.”

“Yaelah, kita masih SMA tapi bahasa lo udah filsafat banget,” ejek Bono.

Suasana kelas semakin ramai dan tidak lama bel tanda pelajaran dimulai pun sudah terdengar. Di sela pelajaran ada keributan di belakang, aku menoleh. Salah satu teman sekelasku mengatakan tubuhnya tidak nyaman, rasanya berat dan panas di punggung, tengkuk dan kepala.

“Astagfirullah.”

Sosok nenek penunggu kelas sedang duduk di atas kepala temanku, tentu saja dia merasakan berat dan panas.

“Aaaaaa.” Teriak temanku lalu tidak sadarkan diri, kelas menjadi riuh dan sebagian mendekat termasuk aku.

Sosok nenek penunggu terlihat mengambang di udara, kemudian terkikik. Suaranya begitu menyeramkan bahkan aku merasakan bulu kuduk merinding. Kikikan suaranya berubah menjadi jeritan lalu makhluk itu berpindah ke dinding dan kembali mencakar sambil menjerit.

Aku bahkan menutup telinga dengan kedua tanganku dan memejamkan, sedangkan mulut melantunkan ayat untuk mengusir jin ataupun makhluk gaib yang mengganggu. Tiba-tiba kelas senyap perlahan aku membuka mata dan melepaskan tangan dari telinga, ternyata makhluk itu sudah pergi.

“Arka, lo kenapa?” tanya Bono.

Aku hanya menggelengkan kepala. Beberapa siswa menatap ke arahku dan sebagian lagi fokus pada temanku yang masih tak sadarkan diri.

“Kita bawa ke UKS,” titah guru kelas. Aku dan Bono pun ikut menggotong temanku menuju UKS.

...***...

Jam belajar sudah berakhir tapi seluruh siswa kelas dua belas dikumpulkan di aula karena akan membahas kegiatan outing class yang akan dilaksanakan esok. Selain membicarakan masalah kegiatan outing class, guru kesiswaan yang sedang berada di depan juga menyampaikan ada siswa baru bernama Marsa yang akan mulai bergabung di sekolah beberapa hari lagi.

Akhirnya pengarahan selesai dan para siswa bubar.  Aku, Bono dan Oky tentu saja ikut bubar meninggalkan aula.

“Eh, lo tahu nggak ….”

“Nggak,” sahut Arka dan Bono serempak menyela ucapan Oky.

“Apaan sih, gue belum selesai ngomong,” jelas Oky. “Jadi yang namanya Marsa itu katanya anak indigo. Fix lo ada temen,” ujar Oky yang ditujukan padaku.  

Aku menoleh dan mengernyitkan dahi.

“Yang bilang gue anak indigo siapa?”

Bono dan Oky saling tatap lalu mengedikkan bahu.

“Gue anak mama dan papa bukan anak indigo.”

“Ah, kamprett maksudnya anak yang punya kelebihan dengan masalah pergaiban.”

Aku berjalan menuju toilet, Oky dan Bono sudah pamit menuju parkiran. Sejak tadi aku menahan hajat kecilku, baru saja mendorong pintu toilet sudah disuguhkan dengan penampakan makhluk yang duduk di salah satu pintu bilik toilet.

Makhluk itu sedang memainkan rambutnya yang panjang. Kedua kaki pucatnya berayun di tengah pintu. Dia tertawa sambil melambaikan tangan seakan mengajak aku untuk segera masuk. Tubuhku rasanya kaku, ingin lari tidak bisa bahkan untuk melangkah pun rasanya berat.

“A-aaa.” Aku ingin menjerit tapi yang keluar hanya suara yang parau.

Tiba-tiba lampu kamar mandi berkedip dan … brak. Pintu tertutup sendiri. Entah bagaimana caranya, makhluk itu sudah berdiri di hadapanku sambil memiringkan kepalanya. 

Terpopuler

Comments

Rinisa

Rinisa

anak yura & aldo...😍👍🏻

2024-09-28

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

kayak si Yura ya...suka banget di ganggu di toilet

2024-05-06

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

🤣🤣🤣

2024-05-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!