“Arka.”
Davina terus merengek, memanggilku. Kuntilanak penunggu toilet di sekolah bisa dikatakan hantu yang menyeramkan, kalau Davina hantu yang mengesalkan dan sedikit ya … menggemaskan. Tunggu-tunggu, ini maksudnya apa menggemaskan? Aku nggak mungkin terpesona dengan Davina ‘kan?
Arka, hello. Davina itu hantu dan kamu manusia. Walaupun masih dalam pencarian asal usul Davina sebagai hantu, tapi tidak mungkin harus ada kisah drama percintaan non human.
“Arka.”
Davina lagi-lagi memanggilku. Aku menyerah dan berhenti lalu menoleh dengan tangan bersedekap menatapnya.
“Kamu jangan marah dong. Kalau teman indigo kamu tidak bisa melihatku, itu bukan salahku.”
Benar juga ya, ini bukan salah Davina.
“Aku tidak marah, tapi jangan buat aku bicara denganmu seperti ini. Orang akan melihat aku sebagai laki-laki tidak waras karena bicara sendiri.”
Saat ini aku dan Davina baru sampai di rumah dan berada di beranda. Yang aku khawatirkan akhirnya terjadi.
“Arka.”
Aku menoleh, Mama yang memanggilku. Entah sudah berapa lama dia berdiri di sana. Mungkin saja dia mendengar apa yang aku bicarakan dengan Davina. Ralat, Mama hanya akan melihat aku bicara sendiri.
“Mama.”
“Kamu ….”
“Aku ke kamar ya,” ujarku setelah mencium tangannya. Sedangkan mama masih berdiri terpaku, entah apa yang dia pikirkan mungkin saja memikirkan kalau putranya sudah tidak waras karena bicara sendiri.
Sampai di kamar, aku langsung merebahkan tubuh di ranjang dengan kedua kaki masih menjuntai karena sepatu belum aku lepaskan. Ransel tergeletak begitu saja tidak jauh dari pintu. Dengan kepala berlaskan kedua tanganku dan mata terpejam. Aku berpikir bagaimana menolong Davina.
“Arka.”
Lagi-lagi Davina memanggilku.
“Apa lagi Davina? Mama sudah salah paham karena ulah kamu, dia pasti berpikir kalau aku anak yang aneh,” ujarku kemudian membuka mata dan menoleh lalu terpanah dengan sosok yang berbaring miring menghadapku dengan salah satu tangan menyangga kepalanya.
Penampilannya sudah sempurna hanya satu yang kurang, dia tidak bernafas. Aku menghela pelan lalu beranjak duduk.
“Ngapain sih ikut naik ke ranjang?” tanyaku dengan jantung yang berdegup tidak biasa.
“Kamu jangan marah dong,” ujarnya sudah duduk di sampingku.
Aku beranjak dari ranjang, melepas sepatu dan menyimpannya ke atas rak juga tas yang aku letakan sembarangan sudah berada di tempatnya. Namun, saat aku sudah membuka kancing kemeja seragamku satu per satu, aku ingat walaupun hantu jenis kelamin Davina itu perempuan. Akhirnya aku mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumah di ruang ganti.
...***...
Sebenarnya bukan hanya Davina yang menjadi pikiranku tapi juga mimpi mengenai Om Kaivan dan sosok pria itu saat ini berada dalam pandanganku. Om Kaivan, pagi ini sudah tiba di rumah. Dengan gaya khasnya menggoda Mama dan bicara serius dengan Papa bahkan tidak malu ikut sarapan sedangkan dia memiliki keluarga.
“Gimana Arka, mau ikut nggak?”
Aku yang sejak tadi melamun, bingung dengan pertanyaan Om Kaivan. Papa dan Om Kaivan sedang menatapku, menunggu jawaban dariku.
“Kalau kamu, gimana sayang?” tanya Papa pada Mama.
“Aku ikut kalau Arka ikut.”
“Ikut ke mana?” tanyaku.
“Kamu mikirin apa sih?” tanya Mama dengan nada tidak biasa. Kekhawatirannya karena aku sering bicara sendiri padahal bicara dengan Davina sepertinya menjadi beban pikiran.
Aku hanya mengedikkan bahu lalu menanyakan ikut ke mana yang dimaksud Om Kaivan. Papa menjelaskan lagi weekend ini ada pertemuan dan urusan yang di daerah puncak Bogor, Aldo bermaksud mengajak Yura dan Arka dan ini didukung oleh Kaivan.
“Kalian bisa tinggal di villa saat Papa dan Om Kaivan bekerja.”
“Aku boleh ajak temanku?” tanyaku pada Papa. Rasanya seru kalau berlibur dengan Oky dan Bono juga.
“Boleh, kamu mau ajak Marsa juga ‘kan?”
“Siapa Marsa?” tanya Mama.
“Wah, bocah. Udah pacaran kamu ya,” ujar Om Kaivan sambil terkekeh. “Tapi nggak aneh sih, tampang lo ngejual buat jadi playboy.”
“Apaan playboy? Ingat Arka, kamu tidak boleh menyakiti perempuan,” nasihat Mama .
Sampai di sekolah aku menyampaikan tawaran dari Papa dan Om Kaivan. Tentu saja kedua temanku itu setuju untuk ikut. Masalahnya, Marsa mendengar rencana kami dan dia ingin ikut serta. Aku tidak mengiyakan juga tidak menolak karena tunggu jawaban dari Papa.
Pikiranku bukan fokus pada pelajaran yang sedang aku ikuti tapi mengingat mimpi-mimpi mengenai kecelakaan dan Om Kaivan menjadi korban.
“Tidak mungkin perjalanan ini yang ada di dalam mimpiku,” gumam Arka.
“Arka, lo ikut nggak nanti siang pada mau ke toko buku cari buku kumpulan soal,” bisik Bono.
“Siapa aja?”
“Marsa, Oky, gue dan lo kalau lo mau,” sahut Bono.
“Hm. Gue ikut.”
Benar saja, sepulang sekolah kami berempat sudah berada di parkiran motor. Aku akan membonceng Bono sedangkan Marsa dengan Oky. Davina? Sejak aku marah karena dia selalu mengajak berinteraksi dan membuatku terlihat seperti bodoh juga aneh karena bicara sendiri, Davina tidak sering ikut kemana aku pergi.
Sampai di mall, kami berempat langsung menuju toko buku. Walaupun perut sudah meronta minta diisi. Sebenarnya aku kurang suka berada di tempat umum dan keramaian seperti ini, karena akan banyak penampakan atau keanehan yang aku lihat.
Seperti wanita yang berjalan di depanku, ada bocah mengikutinya. Bocah ini bukan manusia, tapi makhluk gaib piaraan yang dipekerjakan untuk mencari uang. Masyarakat mungkin menyebutnya tuyul. Bahkan ada seorang pria yang diikuti makhluk besar, hitam dan berbulu. Kedua matanya merah dan menyorot tajam.
Bukan hanya aku yang bisa lihat, Marsa pun bisa. Sejak tadi dia beristighfar setiap melihat makhluk-makhluk tak kasat mata. Baik yang mengikuti manusia atau memang jenis penunggu suatu tempat.
“Yang ini ya?” tanya Bono sambil membawa sebuah buku dan mengulurkannya padaku.
“Iya. Ambilin satu untuk gue,” titahku pada Bono. Sedangkan aku menuju rak buku cerita seri fiksi tentang detektif. Tidak lama kami sudah membawa buku yang dibutuhkan dan menuju kasir.
“Makan yuk, laper,” ajak Oky padahal kami masih berada di depan kasir.
Restoran ayam goreng cepat saji jadi pilihan untuk remaja seperti kami yang uang jajannya terbatas. Selain murah pilihan menunya juga unik. Sebenarnya kondisi ekonomi keluargaku lumayan baik bahkan cenderung tercukupi. Namun, Papa dan Mama tidak memfasilitasi dengan kemewahan.
Kami asyik dengan menu masing-masing, bahkan sesekali tertawa karena kelakar dan celoteh Bono. Saat sedang menyeruput soda, pandanganku terpaku pada remaja yang baru saja duduk di meja belakang Bono.
Beberapa remaja berjenis kelamin perempuan itu mengusikku bukan karena penampilan mereka yang cantik tapi seragam sekolah yang mereka kenakan, mirip dengan seragam yang dikenakan Davina.
“Arka, ada apa?” tanya Marsa yang duduk di sebelahku.
“Davina, seragamnya sama dengan yang dikenakan Davina.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Kustri
arka, bantulah davina temukan klga'a, kasian dia
2024-06-22
0
Zuhril Witanto
tanya aja...siapa tau kenal
2024-05-06
0
Ali B.U
,next,
2024-03-27
1