Aku mengerjapkan mata, ternyata aku terjaga dari tidur. Mama juga sudah tidur di ranjang khusus keluarga pasien. Tidak terlihat keberadaan Davina di ruangan ini, baguslah dia sudah membuat Mama khawatir karena aku terus berinteraksi dengannya.
Sudah hampir tengah malam tapi Papa belum datang juga. Aku khawatir karena Mama terlihat takut, dengan gangguan yang aku alami. Di rumah sakit memang penampakan dari makhluk tak kasat mata terlihat lebih banyak dan aneh-aneh.
Krek.
Aku menoleh ke arah pintu yang terbuka pelan, mungkin saja karena hembusan angin.
“Davina.”
Aku pikir itu Davina yang datang tapi hening. Dari pada terus menatap ke arah pintu, aku ingin menghidupkan televisi. Tanganku mencoba meraih remote yang tadi diletakan di atas bed cabinet. Dari ujung mata aku bisa lihat ada sesuatu di pintu.
Akhirnya aku menoleh dan ….
“Baaaa.” Sebuah kepala menengok ke arahku dengan wajah tertawa.
Aku hanya menghela pelan, tidak terkejut dan tidak ada rasa takut. Aku pikir dia benar manusia tapi saat dia meluruskan kepalanya aku mengucek kedua matanya berharap apa yang aku lihat itu salah. Kepala itu sedang melayang tanpa tubuh, hanya kepala saja.
“Aaaaa.” Aku berteriak dan kepala itu terdiam lalu ikut berteriak.
Alhasil teriakanku dan teriakan kepala itu seakan berlomba.
“Arka, kenapa Nak?” Mama sudah berada di sampingku, mengguncang tubuhku.
Tubuhku bergetar sambil menunjuk ke arah di mana kepala itu melayang. Mama ikut menoleh, tentu saja dia tidak bisa melihat apa yang aku lihat.
“Arka, kamu lihat apa sayang?” Mama sepertinya bukan hanya takut ada yang terjadi denganku tapi dia takut karena menyadari ada sesuatu di ruangan ini.
“Mah, Papa kenapa belum datang?” tanyaku mengalihkan pandangan dari kepala yang masih melayang.
Jujur aku masih ketakutan setengah hidup melihat penampakan kepala tanpa tubuh, apalagi dari urat dan kulit-kulit yang tersisa masih terlihat tetesan darah tapi darah yang menetes tidak ada di lantai.
“Mama hubungi dulu.”
Aku sendiri bergumam melantunkan doa sedangkan Mama menghubungi Papa yang ternyata tidak aktif.
“Tidak aktif, sepertinya masih di pesawat atau masih di bandara. Kamu sabar ya, sayang.”
Penampakan itu membuatku tidak nyaman. Dengan mulut masih bergumam doa aku memejamkan mata, sedangkan Mama masih mengusap tanganku berusaha menenangkan.
Di kondisi seperti ini rasanya macam-macam, terasa aku ingin buang air bahkan mual seperti ingin mengeluarkan isi perutku. Terasa sentuhan di dahi, Mama mengusap keringat di dahiku.
“Mah, jangan pergi ya. Aku takut,” ujarku masih dengan mata terpejam.
Tidak ada jawaban, hanya hening.
“Mah.”
Masih hening.
“Mama, jangan bercanda,” ujarku.
“Siapa yang bercanda, hihihihi,” terdengar pekikan dari sampingku begitu jelas dan membuat tubuh merinding. “Arka, buka matamu.”
Aku tahu dia bukan manusia dan bukan Mama. Alih-alih membuka mata, aku memilih terus bergumam doa walau tubuhku sudah gemetar.
“Kamu kenapa?”
Deg.
Jantungku rasanya berhenti berdetak mendengar suara itu, suara Davina. Perlahan aku membuka mataku, tidak ada lagi penampakan kepala dan aku menoleh. Davina sudah duduk di kursi yang ada di samping ranjang.
Aku bernafas lega lalu beranjak duduk dan melihat Mama masih tertidur.
Jadi tadi bukan Mama, lalu siapa?
“Kamu kenapa? Kelihatan seperti habis melihat hantu,” ujar Davina yang sudah berpindah duduk di ranjang dengan kedua kaki berayun sambil menatapku.
“Aku memang lihat hantu, kamu hantunya.”
“Ck, mana mungkin melihat aku sampai ketakutan begitu. Pasti menyeramkan,” ujar Davina.
“Minggir.”
Davina masih menatapku yang sudah kembali berbaring. Selain penampakan kepala, siapa yang duduk di sampingku bahkan mengikik dengan suara yang menyeramkan itu. Davina tidak mungkin, energi yang aku rasakan ketika makhluk lain datang dengan energi Davina sangat berbeda.
“Om ganteng belum datang lagi ya?” tanya Davina membuatku tambah kesal. “Papa kamu juga belum datang?”
“Pergilah, jangan ikut campur urusanku.”
“Tidak bisa, justru kamu yang ikut campur dengan urusanku,” sahut Davina yang sungguh tidak dapat aku mengerti.
Bagaimana tidak mengerti, Davina mengatakan aku mencampuri urusannya. Sedangkan dia tiba-tiba menghampiriku dan tidak ingin pergi sampai dengan saat ini.
“Tidak ada yang melihatku dan bisa berinteraksi denganku tapi kamu bisa. Jadi kamu sudah mencampuri urusanku. Aku akan ikut denganmu sampai aku dapat kejelasan aku ini siapa dan ke mana aku harus pergi,” tutur Davina bersenandung sambil menggoyangkan tubuhnya.
Aku hanya menghela nafas pelan. Belum hilang urusanku dengan makhluk-makhluk yang kerap mengganggu, kali ini aku juga diganggu oleh Davina. Walaupun dia tidak menyeramkan tapi tetap saja dia adalah hantu.
“Davina.”
Bukan menjawab, Davina masih bersenandung.
“Davina.”
“Hm.”
“Aku melihat kepala melayang,” ujarku yang langsung membuat Davina menggeser duduknya semakin dekat dan membuatku ikut bergeser.
“Kamu apa-apan sih?”
“Kepala melayang, kamu sudah melihatnya?”
“Iya, sebelum kamu datang.”
Davina terkekeh membuatku semakin kesal. Bagaimana bisa hantu malah menertawakan aku.
“Jadi, kamu tadi ketakutan karena melihat kepala melayang?”
Aku hanya diam mendengar pertanyaan Davina.
“Dia hantu baru, korban kecelakaan beruntun tadi pagi. Cepat juga ya, dia sudah bisa menakuti manusia.”
“Kecelakaan tadi pagi? Bus yang aku naiki juga tabrakan beruntun tidak jauh dari sini,” ujarku. “Lalu untuk apa dia menampakkan diri?”
Davina mengedikkan bahunya.
“Yura, Arka.”
Aku menoleh ternyata Papa yang datang.
“Papa,” panggilku.
“Kamu baik-baik saja? Bagaimana kata dokter? Bagian mana yang masih sakit?”
Aku tidak bisa menjawab cecaran pertanyaan Papa, lalu menunjuk Mama yang masih tertidur.
“Pah, aku ingin pulang. Di sini menyeramkan, banyak yang menampakan diri,” keluhku.
“Ada papa di sini, tenanglah. Kita tunggu keputusan dokter, besok ya.”
Aku menoleh ke kiri dan kanan, tidak melihat Davina. Ke mana dia pergi? Padahal sejak tadi penasaran dengan kehadiran Papa.
“Tidurlah, biar Papa yang menjaga kamu.” Papa sudah melepas jasnya dan meletakan tas yang dia bawa di atas sofa lalu menghampiri ranjangku, melihat cairan infusan memastikan tetesannya.
...***...
Jarum infus di tanganku sudah dilepas. Papa sedang mendengarkan penjelasan dari dokter sedang Mama membereskan perlengkapanku. Sepertinya aku sudah boleh pulang, tentu saja aku senang dari pada di sini tapi terus menerus mendapatkan gangguan, lebih baik aku berobat jalan.
Namun, ada yang aneh. Sejak semalam, saat Papa datang aku tidak melihat Davina bahkan sampai sekarang setelah makan siang dia belum juga muncul.
“Apa dia sudah pergi?” gumamku.
“Kamu sudah boleh pulang,” ujar Papa. “Tidak ada yang serius dari hasil pemeriksaan tapi kalau ada keluhan lagi kita harus segera konsultasi.”
“Mama sudah ragu dan tidak mengizinkan kamu pergi, kemarin.”
“Sudahlah, ini musibah,” ujar Papa sambil mengusap pundak Mama.
“Ayo,” ajak Mama.
“Tunggu Pah, Mah.”
Papa dan Mama menungguku setelah menyela dan menghentikan mereka.
“Kemarin aku melihat sosok gadis, sepertinya seumuran denganku. Dia tidak mau pergi dan terus ada di sini, tapi setelah Papa datang dia tidak terlihat.”
Papa menatap sekeliling kamar, sepertinya tidak merasakan energi dari Davina sama seperti aku.
“Sudahlah, mungkin memang penunggu di sini.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Ali B.U
next,
2024-03-26
1
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
kemana Devina pergi ya 🤔🤔🤔
2023-11-09
0
Esti Restianti
kenapa yaa kalau ada papa nya dia malah ga ada,apa energinya berbenturan
2023-06-28
0