Aku berbaring di undakan tribun dengan jaket sebagai alas kepala. Semakin malam semakin sering muncul penampakan dan suara-suara. Marsa duduk tidak jauh dari posisi kepalaku, sepertinya dia masih shock dengan yang kami saksikan tadi.
Melihat wajahnya yang pucat dan cengkraman yang erat saat memelukku, rasanya aku ingin terbahak. Kemana perginya rasa percaya diri dan bangga akan kelebihannya selama ini. Tunggu dulu, itu sama saja aku mengejek dan merendahkannya.
“Marsa.”
“Iya.”
“Baiknya kamu ke UKS, tidur di sana,” titahku pada Marsa.
“Enggak, aku di sini saja. Arka yang di lantai dua ….”
“Jangan dilihat terus,” ujarku menyela ucapan Marsa. “Energi kamu sedang tidak baik karena kejadian tadi.”
Bono, Oky dan beberapa panitia lainnya sibuk dengan kegiatan dibantu beberapa dewan guru. Setengah sebelas malam, kegiatan berakhir dan peserta diminta istirahat di ruang-ruang kelas yang sudah disiapkan.
Aku memasuki salah satu ruang kelas tidak jauh dari tribun, kembali berbaring di atas kursi yang aku jejerkan.
“Ka, lo mau tidur?” tanya Bono berdiri di tengah pintu.
“Iya.”
“Di sini? sendiri?” Bono bertanya lagi.
“Lo, mau temani silahkan. Enggak juga tidak masalah,” jawabku sambil memejamkan mata. “Eh, Marsa suruh gabung dengan panitia perempuan lainnya aja. Tadi gue minta ke UKS dia nggak mau.”
“Yaelah, perhatian amat sama Marsa.”
Aku tidak menggubris ucapan Bono dan teringat Davina.
“Apa yang sedang dilakukan hantu itu di kamar seorang laki-laki?” gumamku.
Ternyata kopi yang aku minum tadi, tidak berhasil mengusir kantuk atau bahkan menunda kantukku. Akhirnya aku tertidur.
Sepertinya aku terlelap belum begitu lama.
“Hahhh.”
Aku terjaga, bukan hanya terkejut karena dibangunkan oleh Bono tapi juga karena mimpiku. Mimpi yang sama dengan sebelumnya. Aku melihat kecelakaan dan … Om Kaivan. Entah apa arti mimpi itu. Nafasku bahkan masih terengah dan dahi berkeringat.
“Ada apa?” tanyaku pada Bono dan siswa lain yang aku tidak tahu namanya.
“Arka sorry ganggu tidur kamu tapi acara mau dimulai.”
Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar, aku menoleh dan melihat jam dinding yang menunjukan pukul satu pagi. Acara apa yang mereka maksud, apa mereka salah lihat jam.
“Acara?” tanyaku sambil mengusap wajah.
“Iya, kita ada kegiatan jam dua ini,” jawab Bono.
“Intinya mereka hanya merenung, tidak ada kegiatan ekstrim apalagi menguras tenaga. Ada tiga puluh peserta, ruang kelas ada dua puluh empat. Enam lagi kita bisa pakai ruangan lain, seperti perpustakaan, kantin dan lainnya lah,” jelas panitia lain.
“Kalian yakin akan aman?” tanyaku.
“Iya, tapi kita butuh bantuan lo untuk mengawasi.”
“Beresiko, ada ruangan yang sensitif untuk didatangi. Kehadiran kita akan dianggap mengganggu.”
“Semalam kita sudah arahkan agar tidak ada yang macam-macam dan bercanda. Lagi pula mereka sendiri di ruangan, mau bercanda sama siapa,” tutur Bono.
“Tetap saja beresiko.”
Aku masih ragu dengan kegiatan ini.
“Banyak panitia, kita akan keliling. Ayolah, bantu kita," ujar laki-laki yang bersama Bono.
Aku pun bergabung dengan panitia lain di tribun lapangan. Udara malam terasa dingin, resleting jaket aku naikan dan ….
Brak.
Terdengar benda jatuh lalu teriakan dan suara orang berlari.
“Ah, dasar beg*. Bikin gaduh aja,” keluh Bono.
Aku menatap ke arah suara, lagi-lagi di lantai dua di bangunan baru. Sepertinya ada panitia yang mengecek ruangan, entah apa yang mereka lihat sambil berlari dan berteriak histeris.
“Kalian kenapa berisik, nanti peserta bangun sebelum waktunya.”
“Ada yang tertawa dan itu jelas banget, seperti di belakang telinga. Sumpah gue takut banget, sampai merinding.”
Aku hanya mendengarkan percakapan mereka tanpa ikut berkomentar.
“Baiknya jangan gunakan ruang itu,.”
Ternyata Marsa yang bersuara, aku setuju saja dengan usulannya tapi entah dengan panitia lain.
“Kalau ruang itu tidak digunakan kita butuh banyak ruang lagi. Dipakai ajalah, paling nanti ada yang nunggu di depan kelas. Salah satu dari kita.”
Marsa menoleh ke arahku seakan minta dukungan tapi aku hanya diam. Percuma saja menjelaskan tentang hal gaib bagi orang yang tidak mempercayainya.
Akhirnya peserta dibangunkan dan dibariskan di lapangan. Aku hanya memperhatikan dan menatap keliling area ruang kelas yang terlihat, untuk memastikan kemungkinan gangguan para penunggu kelas.
Yang menjadi perhatian adalah ruang kelas baru dan bangunan belakang atau bangunan lama yang berada di dekat parkiran.
“Arka, kamu kok diam saja sih?” tanya Marsa yang sudah berada di dekatku.
“Mau gimana lagi? Kalau mereka dengar apa saranku, peserta tidak akan dibangunkan.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Marsa kembali bertanya.
“Nggak ada, kita tunggu saja. Kamu nanti bantu awasi ruangan itu,” tunjukku pada ruang kelas yang semalam ada hantu melambaikan tangan ke arah mereka. “Aku awasi gedung belakang,” ujarku.
Marsa menganggukkan kepalanya.
Aku sudah berada di gedung belakang. Bangunan yang terdiri dari tiga lantai dengan tiga ruang kelas tiap lantai. Bangunan ini sepertinya gedung yang paling awal didirikan, karena terlihat lebih usang. Bersandar pada dinding kelas, sesekali menguap.
Oky baru saja turun dari lantai dua dan menghampiriku. Tidak lama kemudian semua lampu mati, sepertinya sengaja oleh panitia karena peserta sudah membawa lilin dan korek api. Mereka diminta menuliskan kesalahan yang pernah mereka buat dan merenungkannya. Waktu mereka hanya satu jam.
Aku mengernyitkan dahi, merasakan ada sesuatu tapi entah apa.
“Oky, bersiaplah. Sepertinya akan ada ….”
Belum selesai aku bicara, terdengar teriakan di kelas di mana aku bersandar.
“Aaaaaaa.”
“Aaaaaaa.”
“Aaaaaa.”
“Minta mereka menyalakan lampu lagi,” teriak ku lalu berlari ke arah teriakan terdekat. Karena teriakan itu bersahutan berasal dari bangunan ini. Semoga di bangunan dan ruangan lain tidak terjadi apapun.
Saat memasuki kelas, aku melihat peserta itu sedang mencakar-cakar meja di hadapannya. Dari cahaya lilin aku melihat ada sosok yang memeluknya dari belakang. Tiba-tiba angin bertiup kencang, bukan hanya di ruangan ini tapi dari luar. Bulu kuduk terasa berdiri dan merinding, benar-benar merinding. Entah apa yang terjadi di ruangan lain.
“Pergilah, jangan ganggu dia,” ujarku pada makhluk yang menggelayuti peserta LDKS.
“Tidak, dia sudah menggangguku.”
“Dia tidak bisa melihatmu, bagaimana bisa dikatakan mengganggu. Ini ruang kelas kami untuk beraktivitas, bukan tempatmu di sini,” ujarku lagi.
“Diam!” Entah jenis hantu apa yang sedang aku hadapi, yang jelas energinya tidak bisa diremehkan. Dia tertawa, walaupun tidak memekakan telinga tapi cukup membuatku melangkah mundur.
Aku melantunkan doa membuatnya berteriak seperti kesetanan (eh emang dia setan ya). Terus aku baca walaupun dia sudah berteriak minta ampun dan melepaskan peserta kegiatan yang sudah tidak sadarkan diri.
“Pergilah, sebelum aku baca doa lain yang bisa membuatmu lenyap,” ancamku.
Hantu itu berteriak membuat suasana semakin mencekam bahkan pintu ruangan terbanting menutup dengan sendirinya. Aku kembali melantunkan doa, lalu hantu itu menghilang dan suasana kembali sunyi.
“Hei, sadarlah!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
heh...pada ngeyelan...kayak Yura aja 🤭
2024-05-06
0
Ali B.U
.next.
2024-03-27
1
Vita Liana
hufttt
2024-02-29
0