Marsa menarik tanganku, aku kembali duduk tapi tatapanku tetap memandang pada kumpulan perempuan yang berada di belakang Bono.
“Davina tidak nyata, dia hanya teman imajinasimu.”
Aku menoleh ke arah Marsa yang berada duduk di sampingku. Entah mengapa aku tidak menyukai apa yang dikatakan Marsa, seakan menuduhku berkhayal dan berimajinasi.
“Teman imajinasi apa?” tanya Oky yang ingin tahu apa maksud Marsa.
Bono pun tampak memperhatikan aku dan Marsa dengan rasa keingintahuan yang sama seperti Oky.
“Davina bukan teman imajinasiku, dia benar ada walaupun hantu. Hanya saja aku tidak bisa menjelaskan mengapa hanya aku yang bisa melihatnya.”
“Apa sekarang dia ada di sini?” Marsa bertanya lagi dan berhasil membuatku bungkam karena Davina sekarang jarang terlihat di sekitarku.
“Dia tidak ikut, tapi aku yakin dia bukan imajinasi dan melihat beberapa perempuan di belakang Bono,” tunjukku ke arah Bono. “Seragam yang mereka kenakan sama dengan yang dikenakan Davina.”
“Bisa saja memang kamu pernah melihatnya atau memang imajinasimu.” Marsa lagi-lagi meyakinkan kalau pendapatnya benar.
Aku mengusap kasar wajahku.
“Aku belum pernah lihat seragam itu dan ini kedua kalinya aku melihat seragam yang sama setelah melihat dikenakan Davina. Aku akan tanya pada mereka,” ujarku lalu berdiri dan menghampiri meja di mana kumpulan perempuan itu berada.
“Arka,” panggil Marsa.
“Sorry ganggu,” ujarku.
Mereka pun menatap ke arahku.
“Iya,” jawab salah seorang.
“Aku mau tanya, seragam yang kalian kenakan ini seragam sekolah ‘kan?”
Marsa sudah berada di belakangku saat aku bertanya.
“Iya, ini seragam sekolah kami,” ujar gadis berambut pendek, dengan kacamata menghias wajah orientalnya.
Aku kembali bertanya nama sekolah dan di mana sekolah mereka berada. Tepat seperti dugaanku kalau sekolah Davina adalah sekolah internasional.
“Ada apa ya?” tanya gadis berwajah indo berambut panjang.
“Oh, tidak apa. Hanya memastikan saja, aku pernah mengenal seseorang dengan seragam yang sama dengan yang kalian kenakan,” ujarku lalu berterima kasih dengan informasi yang mereka berikan dan kembali ke meja kami.
“Seperti dugaanku, sekolah internasional karena aku belum pernah melihatnya.”
“Kalian sedang bicarakan apa sih?” Bono terlihat semakin bingung.
“Kalau kamu yakin Davina bukan teman imajinasi kamu, kenapa tidak tanyakan sekalian apa mereka kenal Davina?” tanya Marsa masih dengan tatapan seakan yang aku yakini tidak benar.
“Davina tidak ingat apapun, termasuk bagaimana dia meninggal. Bisa saja dia menjadi siswa di sana beberapa tahun lalu atau mereka tidak mengenal karena banyaknya siswa di sekolah itu.” Penjelasanku masuk akal dan logika, membuat Marsa diam.
“Teman imajinasi, hantu, siswa … ini kita sedang bicarakan siapa?”
“Iya betul, siapa yang kalian maksud?”
Oky dan Bono kembali bertanya, aku menghela nafas pelan. Sepertinya aku harus menjelaskan juga siapa yang aku dan Marsa maksud.
Setelah aku menjelaskan bagaimana bertemu Davina termasuk mengapa Marsa mengatakan sosok itu adalah teman imajinasiku bukan benar-benar hantu atau makhluk tidak kasat mata, Oky hanya diam sedangkan Bono terlihat memikirkan sesuatu.
“Arka, Davina itu penampilannya menyeramkan atau bagaimana? Secara dia hantu.”
“Cantik, dia sangat cantik. Aku tidak melihat ada kekurangan dari penampilannya kecuali satu hal,” jawabku.
“Apa?” tanya Bono lagi sambil menggeser kursinya semakin merapat ke arah meja karena rasa penasarannya.
“Dia tidak bernafas," jawabku.
“Lo nggak naksir dia ‘kan?” Bono bertanya lagi dengan hal yang semakin konyol.
Shiittt, pertanyaan macam apa ini.
Aku yang kembali meneguk soda yang sudah tidak terasa manis karena es yang mencair bercampur dengan soda, tersedak mendengar pertanyaan absurd dari Bono. Bagaimana mungkin aku naksir, suka, cinta atau apalah pada Davina. Walaupun aku yakini, kalau dia masih hidup sosoknya pasti sangat menarik dan menggemaskan.
Brak.
Bono ngapain gebrak meja sih, bikin kaget aja.
“Jadi lo naksir itu hantu?” tanya Bono.
“Arka, seriusan?” tanya Marsa.
Saat ini ketiga temanku benar-benar terlihat menyebalkan karena bertanya hal yang membuatku terpojok dan terlihat menyedihkan karena menyukai sehantu Davina. Padahal aku tidak menyukai Davina seperti seorang laki-laki kepada perempuan, hanya bersimpati dengan kondisinya tapi … entahlah.
“Kalian ini kenapa sih? Bagaimana mungkin aku suka dengan hantu. Dengan manusia saja aku belum pernah jatuh cinta, masa cinta pertamaku harus dengan hantu,” jawabku asal saja.
“Lalu, apa rencanamu untuk membuktikan kalau Davina bukan sekedar imajinasi?” Marsa masih kekeh dengan pendapatnya, membuatku kesal dan semakin bersemangat untuk membantu Davina.
“Saat ini aku bukan mencari cara membuktikan kalau Davina bukan imajinasiku tapi mencari tahu penyebab Davina berkeliaran tidak jelas dan membantunya pergi kalau memang dia sudah mati.”
...***...
“Davina,” panggilku pelan saat aku membuka pintu kamar.
Tidak ada jawaban. Setelah melepas sepatu dan menyimpan di rak aku menuju ruang ganti. Tempat Davina menyendiri karena memang dia hanya sendiri. Benar saja, dia duduk termenung di lantai bersandar lemari pakaianku sambil bersenandung lirih.
Entah kenapa dia senang bersembunyi di walk in closet dan bersenandung lagu itu.
“Davina, aku sudah tahu di mana kamu sekolah.”
Davina mengangkat wajahnya dan menatapku.
“Sekolahku? Benarkah?”
“Hm, seperti dugaanku. Sekolah internasional dan kemungkinannya adalah, kamu anak orang kaya tentunya atau keturunan warga negara asing makanya kamu sekolah di sana.”
Davina berdiri dan berhadapan denganku.
“Lalu?”
“Aku akan membantumu, mencari tahu penyebab kamu meninggal dan gentayangan. Bahkan mengantarmu ke tempat semestinya.”
Wajah sendu Davina kembali ceria mendengar penjelasanku. Seperti biasa dia akan berlarian sambil tertawa dengan menutup mulutnya dengan kedua tangan bahkan saat ini dia … memelukku.
“Davina, lepaskan.”
Bukan melepaskan Davina malah mengeratkan kedua tangan yang melingkar di pinggangku dan semakin menempelkan wajahnya di dadaku.
“Terima kasih Arka, terima kasih.”
“Tapi aku belum lakukan apapun,” ujarku mengernyitkan dahi.
“Aku yakin kamu akan berusaha membantuku, kamu baik. Aku tahu itu. Paling tidak kalau aku sudah kembali dan tidak sempat mengatakan apapun, aku sudah mengucapkan terima kasih padamu. Aku berharap walaupun aku sudah mati, kita bisa bertemu lagi di kehidupan lain dan kalaupun aku masih hidup kita bisa bertemu lagi dan bersama.”
Pernyataan Davina tadi adalah kalimat terpanjang dan yang paling bijak diucapkan olehnya. Sebelumnya dia hanya bicara seadanya karena tidak mengingat apapun atau tertawa dan terkikik sambil melompat-lompat.
“Davina, bisa lepaskan pelukanmu.”
“Tidak mau, aku masih bahagia. Biarkan seperti ini dulu.”
Bukan masalah terima kasih atau bahagianya Davina karena petunjuk yang aku dapatkan tapi aku laki-laki, walaupun Davina kemungkinan besar adalah hantu tapi tetap saja bisa membuat aku terpesona dan paling parah adalah jatuh cinta. Jatuh cinta pada Davina, gadis hantu yang lupa ingatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Rinisa
next
2024-09-28
0
Zuhril Witanto
lanjut
2024-05-06
0
Ali B.U
,next.
2024-03-27
1