Davina dan Davira

“Kalian mau bantu aku?”

Bono dan Oky menatapku heran karena belum tahu apa bantuan yang aku butuhkan, Marsa yang baru datang ikut menyimak.

“Aku ingin mencari tahu tentan Davina, termasuk mendatangi sekolahnya,” ujarku.

Ketiga rekanku saling tatap, yang mereka tahu Davina ada teman imajinasiku tapi aku yakin Davina memang arwah gentayangan atau hantu bukan sekedar imajinasi.

“Okey, sepertinya menarik berpetualang gaib,” seru Bono. 

“Aku sih yess,” ujar Oky.

“Kamu yakin Ka? Bagaimana kalau setelah semua pencarian yang kalian lakukan ternyata Davina memang tidak ada?” Marsa akhirnya bersuara, masih dengan pendapatnya kalau Davina adalah teman imajinasiku.

“Aku tidak masalah,” jawab Bono. “Yang penting aku berpetualang dan aku yakin Arka punya alasan dan bukti kuat kalau Davina memang ada.”

Aku tidak peduli pendapat Marsa, yang jelas aku harus menolong Davina. Papa bilang aku harus manfaat kemampuanku untuk menolong dan berbuat baik, Davina adalah prioritasku saat ini mungkin berikutnya gedung milik Pak Doni dan Om Kaivan.

Rencana sudah tersusun, aku akan ke sekolah Davina menanyakan alamat dan informasi tentang gadis itu lalu mendatangi rumahnya. Fokus aku sementara untuk Davina bukan berarti gangguan di sekolah tidak ada lagi yang aku rasakan tapi aku abaikan selama tidak menggangguku atau teman-temanku.

Saat bel pelajaran berakhir kami pun bergegas menuju parkiran. Marsa ikut serta meskipun aku melarangnya. Menggunakan motor Oky dan Bono seperti sebelumnya.

“Ini ya sekolahnya?” tanya Bono yang memboncengku.

“Iya.”

Oky menghentikan motornya di belakangku. Sampai di depan gerbang sekolah yang kami tuju tapi ragu untuk lanjut. Sekolah Davina cukup besar, sekolah internasional dan sudah pasti akses masuk tidaklah mudah.

“Terus gimana, apa alasan kita mencari Davina?” tanya Bono.

“Kita cari tahu dulu di buku tahunan, Davina anak kelas berapa atau angkatan mana.” Inisiatif Oky cukup cerdas, kami pun mencari tempat tidak jauh dari sekolah itu.

Bertempat di depan mini market, Oky membuka tabletnya dan mencari web sekolah Davina. Bono dan Marsa membeli minuman dan mie cup, untuk menunda lapar.

“Buku tahunan ini untuk yang sudah lulus, tidak ada nama Davina. Mungkin dia memang belum lulus,” seru Oky.

“Coba cari rubrik apa kek, yang masih aktif. Siapa tahu Davina siswa yang aktif,” titahku.

Oky menggeser layarnya mencari informasi lain dari beberapa menu, aku ikut menatap layar tabletnya dan ....

“Itu!” seruku menunjuk layar.

Dalam rubrik informasi aku membaca nama Davina. Ada artikel dengan caption nama itu.

“SELAMAT JALAN DAVIRA”

Aku dan Oky saling tatap.

“Davira?” tanya Oky lalu kembali menscroll layarnya.

“DOA TERBAIK UNTUK SI KEMBAR”

“CEPAT KEMBALI DAVINA”

“Ini maksudnya apa?”

Aku merebut tablet Oky dan membaca isi artikel itu satu persatu.

“Gotcha, Davina kamu benar ada. Aku bukan berimajinasi.”

Bono dan Marsa menoleh mendengar seruanku. Bahkan aku sempat mengusap wajahku bukan hanya karena gembira dapat membuktikan aku tidak gila tapi sedih. Ada kemungkinan Davina memang arwah yang gentayangan.

“Jadi, Davina benar ada?” Bono bertanya padaku.

Aku tunjukan layar tablet ke arahnya, Marsa mendekat untuk melihat layar itu.

“Kembar, mereka kembar? Lalu Davina yang mana?” tanya Marsa.

AKu kembali menatap layar tablet, memperhatikan dengan seksama foto gadis kembar yang jelas salah satunya adalah Davina.

“Ini Davina,” tunjukku pada sosok di sebelah kiri.

“Wah, cantik ya,” seru Bono.

Bukan masalah cantiknya Davina yang membuatku aneh tapi raut wajah Davina terlihat sendu berbeda dengan tingkahnya yang selalu riang dan sering tertawa.

“Oky, kita masuk. Cari tahu info lain tentang mereka,” ajakku pada Oky. Marsa keberatan, dia ingin ikut tapi aku melarangnya.

Aku bermaksud menemui bagian kesiswaan sekolah itu dengan alasan teman Davina dan mendengar informasi tentang si kembar tapi kontak Davina tidak bisa dihubungi. Cukup lama aku dan Oky berada di dalam dan sekolah tidak ingin mengungkap identitas Davina, apalagi aku tidak bisa membuktikan kalau aku dan Davina saling mengenal. Informasi yang aku dapatkan tidak terlalu banyak tapi cukup membuatku semakin khawatir pada Davina.

“Gimana, benar Davina masih hidup?” tanya Marsa.

Aku menghela nafas dan membuka layar ponsel di mana aku mengetik nama rumah sakit dan alamat rumah Davina.

“Kalian boleh pulang, aku akan langsung ke rumah sakit ini sekarang. Sepertinya Davina tidak punya waktu banyak, penampakannya berbeda,” ujarku.

Ketiga sahabatku saling tatap dan sepertinya ingin ikut tapi masih ada hal lain yang harus dikerjakan.

“Arka, kenapa nggak besok aja. Gue temani lo deh tapi besok,” ujar Oky.

“Aku temani kamu,” seru Marsa.

“Jangan, lo pulang aja deh,” ujarku pada Marsa.

Akhirnya aku dan Marsa tiba di rumah sakit. Kami menggunakan taksi karena Bono dan Oky ada keperluan lain, apalagi saat ini sudah mulai sore bahkan Mama pun sudah mengirim pesan menanyakan posisi keberadaanku dan alasan aku pulang terlambat.

Aku bertanya di mana kamar perawatan pasien atas nama Davina. Bagian informasi menyebutkan nama ruangan, aku dan Marsa bergegas menuju ruangan itu. Berjalan menyusuri koridor rumah sakit, ada berbagai macam pasien termasuk juga penampakan makhluk tak kasat mata.

Fokus hanya pada Davina, aku abaikan penampakan dan gangguan-gangguan yang aku lewati. Marsa sempat memanggilku saat ada sosok suster dengan wajah mengerikan dan seragamnya yang sudah pudar berdiri di depan kami.

Aku mengajak Marsa berjalan memutar dari pada harus melewatinya atau bahkan berinteraksi dengannya.

“Lavender tiga,” ujarku membaca papan nama ruangan.

“Sepi,” ujar Marsa.

Aku dan Marsa mendekat pada pintu ruang VVIP, tanganku menekan handle pintu dan ….

“Arka, kamu yakin?”

Aku dan Marsa pun melangkah masuk dan terpaku melihat sosok yang terbaring di ranjang pasien dengan segala macam alat medis. Itu Davina, aku yakin itu Davina. Dia masih hidup tapi mungkin saja keadaannya koma.

Namun, bukan hanya keadaan Davina yang membuat aku dan Marsa terpaku. Sosok lain di samping ranjang yang saat ini menatap ke arah kami dengan tatapan menghunus. Wajahnya mirip dengan Davina, sepertinya kembaran Davina – Davira – yang sudah meninggal.

“Davira,” panggilku.

Sosok itu menatapku, tatapannya semakin sinis dan memicing.

“Sedang apa kamu di sini, bukankah kamu sudah tiada?” tanya Marsa.

“Davina yang harusnya mati, aku akan tetap di sini sampai waktu Davina habis jadi aku bisa tetap hidup dalam tubuh Davina.”

Deg.

Jadi yang berkeliaran adalah jiwa Davina, karena tubuhnya sedang koma tapi kenapa dia bisa koma lalu kenapa Davira ingin menguasai tubuh Davina.

Aku dan Marsa menoleh karena pintu ruangan dibuka dan masuklah seorang pria paruh baya. Aku pernah melihat sebelumnya, pria itu adalah Tuan Lim – rekan kerja Papa.

 

 

 

Terpopuler

Comments

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

kayaknya kembaran Davina jahat

2024-05-06

0

Ali B.U

Ali B.U

.next

2024-03-28

1

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

tuhkan bener kl Davina koma 👏👏

2023-11-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!