Kedatangan Gadis Indigo

Pagi ini aku bisa kembali ke sekolah. Setelah pulang dari rumah sakit aku beristirahat sehari untuk tidak beraktivitas. Itu pun karena keinginan Mama yang masih khawatir karena keadaanku.

Yang aneh adalah Davina tidak terlihat lagi sejak kedatangan Papa di rumah sakit dan yang lebih mengherankan saat pulang dari rumah sakit, mobil yang dikendarai Papa melewati jalan di mana tabrakan beruntun terjadi.

Aku melihat beberapa sosok yang pernah muncul dalam mimpiku, sosok itu masih berada di pinggir jalan tepat di lokasi kecelakaan. Aku menduga kalau mimpi itu adalah pertanda akan ada kejadian yang merenggut banyak nyawa.

Huft, aku menghela nafas. Tuhan memberikan aku kelebihan yang sangat sulit aku terima. Walaupun menurut Papa akan ada masa di mana aku bisa mengontrol kelebihanku dan membantu orang lain.

“Kamu yakin mau berangkat? Kalau masih ada keluhan, Mama bisa hubungi wali kelas kamu atau kita bisa temui dokter untuk sampaikan keluhan kamu,” tutur Mama.

“Tidak ada, aku baik-baik saja Mah.”

“Pagiiii,” sapa Om Kaivan. “Hei, jagoan. Gimana kabarmu?”

Aku tersenyum dan menjelaskan pada Om Kaivan kalau kondisiku sudah lebih baik.

“Bang Aldo mana, aku ada perlu dengannya?” tanya Om Kaivan pada Mama.

“Mungkin masih di kamar,” sahut Mama.

Aku melihat Om Kaivan sering memperhatikan Mama, seperti saar ini pria itu mencuri pandang ke arah Mama. Yang aku tahu Mama dan Om Kaivan adalah saudara sambung tapi Om Kaivan pernah menyukai Mama. Orang dewasa memang rumit.

Saat Papa sudah bergabung di meja makan, Om Kaivan langsung mengajak Papa untuk bicara. Sepertinya penting tapi masalah apa aku tidak tahu. Bahkan Papa minta Mama yang mengantarku atau menggunakan taksi online.

“Sudah selesai? Biar Mama yang antar kamu,” ujar Mama.

“Mah, aku sebenarnya bisa berangkat sendiri. Aku hampir tujuh belas tahun, sebagian temanku sudah menggunakan kendaraan sendiri.”

Semoga saja Mama mendengar penjelasanku dan mengabulkannya.

“Mama akan diskusikan dengan Papamu, tapi untuk sekarang Mama yang antar kamu ke sekolah.”

Baiklah, aku turuti keinginan mereka yang katanya untuk kebaikanku. Dalam perjalanan aku menatap ke luar jendela. Lalu lalang kendaraan  atau pejalan kaki, termasuk para siswa yang menuju sekolah masing-masing.

Aku kembali teringat Davina, kemana dia bisa hilang begitu saja.

“Kalau tiba-tiba ada keluhan lagi, kamu langsung ke UKS dan hubungi Mama.”

Aku Hanya mengangguk dan meraih tangan wanita itu untuk dicium sebagai tanda hormatku. Mama mengusap kepalaku, kalau di rumah dia pasti akan memelukku tapi aku sudah besar rasanya malu melakukan hal itu.

Sesampai di kelas, beberapa teman menanyakan keadaanku termasuk Bono yang juga baru datang.

“Paling parah di kelas kita ya kondisi lo, sampai harus dirawat,” jelas Bono saat aku menanyakan apakah ada korban berat dari kejadian kemarin. “Tapi kalau di kelas sebelah, yang busnya di depan kita. Itu lebih banyak korban.”

Aku menoleh ke pojok kelas di mana sosok nenek penunggu kelas biasa muncul tapi kali ini tidak ada. Baguslah, jadi dia tidak menggangguku lagi.

Terdengar para siswa di kelasku bergumam dan berbisik saat melihat seorang gadis memasuki kelas dan menatap sekeliling.

“Siapa dia?” tanya Bono.

Aku yang tidak tahu hanya diam saja.

“Aku Marsa, siswa baru. Di mana ada meja dan kursi kosong?”

“Oh Marsa, di sini kosong nih,” ujar Bono sambil menepuk dadanya. Tentu saja ulah Bono membuat kelas bersorak.

Arka menunjuk kursi di depannya dan mengatakan kalau kursi itu masih kosong sejak mulai kegiatan belajar dua minggu lalu.

Marsa mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapanku. Tiba-tiba ada siswa berlarian sambil mengatakan ada yang kesurupan di toilet. Toilet yang dimaksud adalah toilet di mana aku pernah melihat sosok kuntilanak bahkan sampai pingsan.

“Apa di sini sering ada gangguan?” tanya Marsa sambil duduk miring.

“Gangguan apa?” tanya Bono.

“Gangguan makhluk gaib,” sahut Marsa.

“Dulu tidak ada, hanya saja awal tahun pelajaran ini sekolah menggunakan beberapa kelas baru. Entah ada hubungannya atau tidak yang jelas akhir-akhir ini sering ada kasus kesurupan,” jelasku membuat Marsa menganggukkan kepalanya.

“Marsa, lo punya kelebihan yang kita-kita nggak punya ‘kan?” tanya Bono serius.

“Maksudnya kelebihan apa? Berat badan?”

Aku terbahak mendengar pertanyaan Marsa pada Bono.

“Ah, pake pura-pura. Lo indigo ‘kan, semua juga udah tahu kok,” jawab Bono.

Marsa diam, tapi aku tahu dia sedang merasakan sesuatu sama seperti aku yang merasakan energi lain. Energi nenek tua penunggu kelas yang menampakan wujudnya di sudut kelas.

“Abaikan saja, dia memang sudah biasa di sana,” ujarku pada Marsa yang sudah menoleh ke arah di mana nenek penunggu kelas berada.

Nenek itu mulai mengikik dan kembali mencakar dinding, cakarannya menimbulkan bunyi yang terasa ngilu di telinga.

“Tapi dia mengganggu, energinya terasa tidak baik,” ujar Marsa masih menatap ke arah pojok kelas.

Aku mengeluarkan buku pelajaran dan membuka lembar demi lembar halaman, mengabaikan Marsa yang masih memantau si nenek.

“Tunggu dulu , kamu bisa lihat juga?” tanya Marsa baru sadar kalau aku dan dia baru saja membicarakan masalah makhluk gaib.

“Tentu saja karena aku tidak buta,” jawabku masih menatap buku pelajaran di atas meja.

“Maksudku, kamu bisa melihat hantu,” sahut Marsa.

Bono yang masih berada di antara kami pun membenarkan apa yang ditanyakan oleh Marsa.

“Kelebihanmu sejak lahir atau bagaimana?”

Aku hanya mengedikkan bahu mendengar pertanyaan Marsa. Apalagi gadis itu malah membanggakan dan menceritakan apa saja kelebihannya sebagai gadis indigo dan bagaimana dia sudah menolong orang dengan kelebihannya.

Aku bisa menyimpulkan bahwa Marsa adalah gadis yang sombong.

Akhirnya bel tanda pelajaran dimulai pun terdengar, paling tidak aku tidak harus mendengarkan ocehan gadis di hadapanku. Rasanya aku menyesal memberikan tempat untuknya duduk di depanku.

...***...

Saat ini kelasku sedang jam olahraga dan guru sedang menjelaskan tentang permainan basket. Setelah mencoba mempraktekan dribble, aku melipir ke pinggir lapangan dan menyaksikan apa yang dilakukan oleh teman-teman sekelasku.

“Ka, minggu depan LDKS untuk pengurus OSIS baru. Kita harus ikut, acaranya nginap.” Bono yang masih terengah setelah bermain basket menghampiri dan ikut duduk di sampingku sambil melonjorkan kedua kakinya.

“Menginap di sekolah?” tanyaku meyakinkan apa yang dijelaskan oleh Bono.

“Hm.”

Nggak salah mau ada acara menginap segala, padahal siang hari ada saja yang kesurupan.

“Besok ada rapat panitia dan kita sebagai pengurus OSIS lama harus ikut,” terang Bono sambil menepuk bahuku lalu beranjak dan bergabung lagi dengan teman-teman yang sedang bermain basket.

“Sepertinya kamu takut kalau ikut kegiatan LDKS. Takut melihat “mereka”? tanya Marsa yang berdiri di hadapanku.

Aku hanya berdecak dan melemparkan pandanganku ke arah lain. Bukan masalah takut tapi hanya malas kalau harus berinteraksi dengan makhluk lain di sekolah. Apalagi yang menunggu di toilet dan pohon beringin di belakang sekolah.

Terpopuler

Comments

Ali B.U

Ali B.U

.next

2024-03-26

1

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

Marsa sombong amat bikin ilfil ya Arka

2023-11-09

0

Esti Restianti

Esti Restianti

bukan takut cuma ga mau liat dan di ganggu 'mereka' aja ya

2023-06-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!