Sesuai prediksiku, akan terjadi sesuatu dan ternyata benar. “Mereka” terganggu dan balas mengganggu. Aku kewalahan mengurus para peserta yang tidak sadarkan diri karena kesurupan. Bayangkan saja, di gedung ini adalah tiga lantai dan tiap lantai ada tiga ruang kelas. Jadi total ada sembilan peserta yang sejak tadi berteriak atau bahkan meronta-ronta, semua dikumpulkan dalam satu ruangan. Yang agak menyeramkan adalah peserta yang hanya diam sambil mengusap rambutnya dengan lirikan mata sinis dan tajam ke arahku.
Pak Ridwan yang katanya bisa menyembuhkan pun angkat tangan, dia bilang setannya tidak mau pergi. Acara dihentikan, peserta yang aman diminta beristirahat kembali di ruangan yang tadi mereka tempati. Aku tidak melihat Marsa, sepertinya dia masih membantu mengarahkan peserta dan memastikan tidak terjadi kesurupan masal bagi peserta.
“Ka, gimana ini?” tanya Oky.
Aku memandang sesisi kelas.
“Oky, bawa yang sudah sadar ke UKS atau ruangan lain. Kita fokus yang masih belum sadar,” titahku.
Oky dan rekan lain langsung bergerak mengikuti arahanku. Masih ada lima peserta yang belum sadar. Pak Ridwan menghampiriku, sedangkan aku sedang menatap sosok kakek yang sedang merayap di dinding. Sosok yang pernah aku lihat di sekolah ini.
Aku pikir Pak Ridwa melihatnya juga, ternyata tidak. Karena kami bicara dengan pandanganku mengarah ke sosok sang kakek, Pak Ridwa acuh saja.
“Maneh ngganggu, ieu imah urang. Rek naon maneh ngaganggu abdi.”
Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan kakek itu, bahasanya tidak aku pahami. Dia bicara berulang-ulang sampai aku hafal yang apa yang dikatakannya
Mengurus empat orang sampai sadar bahkan tubuh harus berinteraksi dan melawan makhluk yang menempel di tubuh para peserta cukup menguras tenaga dan energi. Saat ini aku merasakan kantuk luar biasa dan tubuh yang lelah.
Bahaya, aku tidak boleh tertidur.
“Arka.” Suara Marsa, aku membuka mataku dan dia terlihat khawatir dan lelah sepertiku.
“Aku tidak sanggup, kakek itu masih kuat dan aku sudah tidak berdaya.”
Marsa mengatakan akan mencoba menyadarkan tapi tidak bisa melawan si Kakek, aku hanya menganggukan kepala. Saat ini aku sudah duduk dilantai bersandar pada tembok menatap Pak Ridwan, Marsa dan ada dua orang dewan guru lainnya yang mencoba menyadarkan peserta yang tersisa.
“Oky, hubungi Papaku. Aku sudah tidak kuat,” ujarku mengulurkan ponselku pada Oky. Sejak tadi aku masih berusaha berinteraksi dengan sosok kakek itu tapi aku kalah dan tatapanku mulai kabur.
“Arka, Arka.”
Sayup-sayup aku mendengar suara Marsa dan gelap.
...***...
Aku menggeliat dan tubuhku rasanya remuk. Olahraga apa yang aku lakukan sampai sakit seperti ini.
Tunggu, bukannya aku sedang mengurus ….
Aku mengerjapkan mata dan menatap sekeliling ruangan di mana aku berada.
Ranjang ini bukan milikku dan bukan kamarku. UKS, aku berada di UKS. Lalu bagaimana peserta yang tadi masih belum sadar.
Aku pun beranjak duduk, gorden pembatas antar ranjang aku singkap. Ada Marsa yang masih berbaring di ranjang sebelah. Setelah memastikan tidak ada yang terjadi saat aku melangkah, bergegas aku meninggalkan UKS. Ternyata hari sudah terang, entah jam berapa yang jelas matahari sudah bersinar.
“Eh, Arka. Lo udah bangun?” Bono yang memegang gelas kopi sepertinya menuju UKS.
“Apa yang terjadi? Gue pingsan lagi ya?” tanyaku pada Bono.
“Hm, kalau itu gue nggak tahu detailnya karena gue tadi urus yang di sini. Yang barengan lo, Marsa dan Oky,” jawab Bono.
“Di mana Oky?”
Bono baru menunjuk arah, aku bergegas menuju arah yang dimaksud.
“Arka.”
“Papa,” ujarku.
Tentu saja itu Papa, bukankah aku yang minta Oky menghubunginya tadi pagi.
“Kamu sudah baikan?” tanyanya.
Aku hanya menganggukan kepala. Papa bersama Pak Ridwan juga beberapa panitia masih berada di ruangan yang subuh tadi dijadikan tempat menampung peserta yang tidak sadarkan diri.
“Jadi begitu, baiknya lain kali hati-hati,” ujar Papa.
Entah apa yang dibicarakan sebelumnya, aku hanya mendengar kesimpulan yang disampaikan oleh Papa. Pak Ridwan ikut bersuara dan para panitia mendengarkan dengan baik, sebagai pelajaran dan evaluasi kalau ada makhluk lain yang bisa saja terganggu dengan aktivitas kita.
Papa tidak langsung mengajakku pulang. Bersama Bono dan Oky, kami duduk di depan UKS. Bahkan Bono menyodorkan mie cup ke arahku.
“Makan dulu, gue tahu lo lapar.”
Aku menoleh ke arah Papa yang sedang menyeruput kopi dalam gelas plastik.
“Temanmu yang perempuan itu namanya siapa?”
Aku diam, yang dimaksud Papa ini Davina atau Marsa.
“Marsa Om, masih tidur di dalam,” jawab Oky .
Papa menganggukkan kepalanya, aku mengaduk mie cup yang diberikan Bono dan mulai menikmati. Memang benar rasanya aku lapar dan lelah seperti tidak makan sepanjang hari.
“Papa mau bicara dengan Marsa, kita tunggu dia bangun.”
Aku lagi-lagi menganggukkan kepala. Entah hal apa yang ingin dibicarakan oleh Papa dengan Marsa.
“Om, maaf nih ya. Arka benar anak Om?” tanya Bono.
“Eh, kamprett. Maksudnya apa lo nanya kayak gitu,” cetusku. Entah apa yang ada di pikiran Bono, malah bertanya hal konyol pada papa mengenai status aku.
Papa terkekeh pelan sebelum menjawab.
“Memang kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Heran aja Om, kayaknya Om masih muda dengan Arka sebagai anak. Kalau ganteng ya sebelas dua belas,” sahut Bono.
“Arka memang anak Om. Kalian belum melihat Mamanya Arka ya, pasti lebih heran lagi,” tutur Papa.
Tidak lama Marsa keluar dari UKS. Oky mempersilahkan untuk Marsa bergabung.
“Marsa, Papanya Arka mau bicara sama lo,” ujar Bono.
Marsa menatapku dan Papa bergantian, sepertinya dia belum sepenuhnya sadar dari tidurnya.
“Siap-siap aja ya, siapa tahu kalian dijodohkan,” canda Bono kemudian terkekeh.
“Kamu apaan sih,” sahut Marsa.
Papa tersenyum mendengar interaksi kami.
“Nak Marsa, Om hanya ingin berpesan agar hati-hati dengan kekuatan yang kamu miliki. Kadang aura atau energi kita mengganggu “mereka”, sepertinya gangguan hari ini karena mereka terganggu dengan aura dari kalian. Entah Marsa, Arka atau dewan guru lain. Papa lihat tadi ada yang mengenakan semacam jimat. Hal ini bisa membuat energi “mereka” bentrok dan kita kena imbasnya.”
Masih panjang arahan dan nasehat Papa, terutama untuk aku dan Marsa mengenai kelebihan yang kami miliki. Tiba-tiba ….
Arka.
Aku seperti mendengar suara Davina memanggilku tapi dalam batin. Apa iya, aku dan Davina bisa bertelepati.
Arka.
“Davina,” gumamku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
Davina kenapa
2024-05-06
0
Ali B.U
next,
2024-03-27
1
Vita Liana
hmmm
2024-02-29
0