Belum Mati

Davina sudah berdiri di hadapanku dengan wajah bahagia.

“Ayo, aku sudah tidak sabar ingin berada di kelasmu.”

Oky sudah beranjak karena bel tanda pelajaran dimulai sudah berbunyi. Davina berlari menuju kelasku, Marsa masih berdiri sambil tersenyum.

Davina melewatinya, apa Marsa tidak bisa melihat Davina?

“Arka, ayo,” ajak Marsa.

Aku pun melangkah menuju kelas, Davina sudah duduk di meja guru dengan kedua tangan dilipat di dada.

“Jangan disitu,” gumamku saat melewatinya.

Davina turun dan mengikuti langkahku.

“Hei, Bro. Gimana kabar lo?” Bono bertanya sambil menaik turunkan alisnya.

“Apaan sih nggak jelas.”

Aku beristighfar ketika melihat Davina yang duduk di antara mejaku dan meja Bono. Seperti biasa dia kalau tertawa akan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia antusias menatap ke depan apalagi saat guru menyampaikan materi.

Jam pelajaran berganti, kelas kembali hening. Davina mulai bosan dan dia kembali bersenandung. Tentu saja senandungnya hanya bisa didengar olehku.

Deg

Aku mengangkat wajahku dan menatap Marsa dari belakang. Gadis itu diam saja, fokus pada soal yang sedang kami kerjakan.

Marsa tidak terganggu, sepertinya Davina memang tidak terlihat oleh siapapun.

“Arka,” panggil Davina.

Aku menoleh.

“Aku bosan,” ujarnya sambil mengerucutkan bibir.

Belum separuh jadwal dilewati, dia sudah mengeluh bosan. Padahal dia yang merengek ingin ikut. Aku mengusap kasar wajahku lalu kembali fokus dengan pelajaran.

“Arka.”

Aku cuek.

“Arkaaa.”

Aku masih cuek.

“Arkaaaa.”

Brak.

Aku berdiri dan menggebrak meja karena Davina berteriak bukan lagi merengek.

“Kenapa, Arka?” tanya Guru karena kegaduhan. Bahkan hampir seisi kelas menatap ke arahku.

“Ehm, izin ke toilet Pak.”

Davina mengikuti langkahku menuju toilet.

“Aku sudah bilang jangan banyak bicara denganku. Jangan sampai orang menganggapku gila dengan bicara sendiri,” ujarku lirih.

“Aku bosan, boleh aku berkeliling?”

“Terserah, lakukan apa yang kamu mau.”

Davina melonjak kegirangan lalu berlari kecil meninggalkanku. Seharian ini aku dibuat pusing oleh Davina, bahkan kehadiran nenek penunggu kelas aku hiraukan karena terganggu dengan teriakan dan pekikan Davina dari luar kelas.

“Marsa.”

“Iya.” Gadis itu menoleh.

“Ada yang ingin aku tanyakan, kita bicara setelah jam usai.”

Marsa hanya menganggukan kepalanya lalu kembali fokus buku dan alat tulisnya. Bono yang duduk di sampingku menatap dengan wajah yang tidak aku mengerti.

“Kenapa?”

“Cie cie,” ujarnya lirih. “Sepertinya makin ke sini makin ke sana ya.” Bono menunjuk Marsa dengan dagunya.

Aku hanya menggelengkan kepala tidak mengerti apa maksud Bono.

Akhirnya jam belajar usai setelah terdengar bel panjang. Guru di depan pun pamit dan menutup pelajaran. Sebagian siswa menghela lega dan membereskan perlengkapannya, begitu pula denganku.

“Mau bicara di mana?” tanya Marsa sudah mengenakan tasnya.

“Tribun,” jawabku singkat.

“Perlu gue ikut untuk dokumentasi nggak?” Bono menawarkan diri sambil tersenyum simpul.

“Nggak usah aneh-aneh, nanti gue kunciin di gudang. Mau?”

“Idih, ancamannya serem amat,” keluh Bono sambil mengekor langkahku dan Marsa.

Aku dan Marsa sudah duduk di undakan tribun. Oky dan Bono sudah pamit pulang. Kami masih diam karena masih ada siswa lalu lalang. Sampai akhirnya sudah tidak seramai tadi dan Marsa membuka suaranya.

“Ada apa?”

Aku menatap sekeliling dan mencari Davina, tidak lama Davina muncul lalu aku menghampirinya.

“Diam,” ujarku pada Davina.

Aku melihat Marsa mengernyitkan dahinya menatapku.

“Kamu ingat sosok yang pernah aku bicarakan?”

Marsa menganggukan kepalanya.

“Kamu bisa lihat dia bukan?” tanyaku lagi.

“Di mana dia? Apa kamu ajak dia ikut?” Marsa balas tanya, aku jadi bingung karena Davina ada di sampingku.

“Dia di sini, di sampingku? Bahkan sejak tadi pagi dia ada di kelas dan berseliweran menggangguku.”

Marsa menggaruk kepalanya, “Arka, aku tidak bisa melihatnya.”

Aku mengernyitkan dahi mendengar Marsa tidak bisa melihat sosok yang sedang mengikutiku. Padahal gadis itu selalu menyombongkan dirinya memiliki kelebihan sebagai anak indigo.

“Serius, kamu nggak bisa lihat dia?” tanyaku pada Marsa.

Marsa menggelengkan kepalanya sambil melipat kedua tangan di dada. Padahal sosok yang aku maksud sedang terkikik sambil menutup mulutnya. Aku hanya bisa menghela nafas sambil menatap bergantian Marsa dan sosok hantu perempuan yang saat ini sedang berlari kecil sambil bersenandung mengitari aku dan Marsa.

“Arka, jangan-jangan kamu bukan indigo seperti aku,” ujar Marsa dan aku tidak peduli mau aku indigo atau bukan.

“Lalu?”

“Yang kamu lihat bukan sosok makhluk tak kasat mata tapi temanmu yang hanya bisa dilihat olehmu sendiri karena dia hanya imajinasimu. Sebaiknya kamu segera konsultasi ke psikolog.”Marsa menuduh aku memiliki teman khayalan.

“Hm.”

Marsa berjalan menjauh, aku menghela nafas sambil menatap sosok hantu perempuan ralat sosok teman imajinasiku menurut Marsa.

“Sebenarnya kamu itu apa? Marsa tidak bisa melihatmu tapi aku bisa. Bahkan Papa juga tidak bisa melihatmu dan kamu bisa membedakan mana manusia dan hantu, atau kamu memang BELUM MATI?”

Terpopuler

Comments

Ali B.U

Ali B.U

.next,

2024-03-27

1

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

ayo Arka bantu Davina 💪💪💪

2023-11-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!