NovelToon NovelToon

Dia Belum Mati

Gangguan Di Sekolah

PROLOG

Aku mengernyitkan dahi mendengar Marsa tidak bisa melihat sosok yang sedang mengikutiku. Padahal gadis itu selalu menyombongkan dirinya memiliki kelebihan sebagai anak indigo.

“Serius, kamu nggak bisa lihat dia?” tanyaku pada Marsa.

Marsa menggelengkan kepalanya sambil melipat kedua tangan di dada. Padahal sosok yang aku maksud sedang terkikik sambil menutup mulutnya. Aku hanya bisa menghela nafas sambil menatap bergantian Marsa dan sosok hantu perempuan yang saat ini sedang berlari kecil sambil bersenandung mengitari aku dan Marsa.

“Arka, jangan-jangan kamu bukan indigo seperti aku,” ujar Marsa dan aku tidak peduli mau aku indigo atau bukan.

“Lalu?”

“Yang kamu lihat bukan sosok makhluk tak kasat mata tapi temanmu yang hanya bisa dilihat olehmu sendiri karena dia hanya imajinasimu. Sebaiknya kamu segera konsultasi ke psikolog.”Marsa menuduh aku memiliki teman khayalan.

“Hm.”

Marsa berjalan menjauh, aku menghela nafas sambil menatap sosok hantu perempuan ralat sosok teman imajinasiku menurut Marsa.

“Sebenarnya kamu itu apa? Marsa tidak bisa melihatmu tapi aku bisa dan kamu takut bertemu Papa atau memang kamu BELUM MATI?”

 

...***...

 

“Oh God, please aku masih di bawah umur.”

Selalu saja setiap pagi aku akan melihat pemandangan itu, Papa dan Mama yang saling peluk bahkan kadang Papa tidak sungkan mendaratkan bibirnya di kening dan bibir Mama. Padahal mereka hanya berpisah sebentar karena Papa harus bekerja dan akan kembali lagi nanti sore.

“Aksa, jangan lupa temui Om Kaivan,” teriak Mama sambil melambaikan tangannya.

Setiap pagi aku berangkat ke sekolah ikut dengan Papa, padahal aku bisa saja berangkat sendiri dengan motor atau naik angkutan umum tapi usul itu ditolak oleh Mama dengan alasan aku belum cukup umur untuk berkendara sendiri.

Menjadi anak semata wayang, kadang aku bersyukur kadang aku pun memaki situasi ini. Bagaimana tidak, Mama selalu memintaku ikut dengannya entah itu arisan atau menemani undangan jika Papa sedang tidak ada. Aku sering dianggap adik Mama bukan putranya. Perbedaan umur orang tuaku memang kentara tapi Mama memang terlihat masih muda karena pernikahan mereka terjadi saat Mama masih kuliah dan menjadi awal kelebihan dan bakat yang aku miliki saat ini.

“Konsentrasi dengan pelajaran, abaikan saja semua gangguan. Masih ingat doa yang diajarkan Kakek dan Papa?”

“Iya, masih.” Aku mencium tangan Papa sebelum keluar dari mobil yang sudah berhenti di depan gerbang sekolah.

Baru beberapa langkah menapaki area sekolah lalu berjalan di koridor, terdengar teriakan dan pecahan kaca dari lantai dua membuat beberapa siswa berlarian menuju arah suara.

Kesurupan lagi? padahal masih pagi, mereka ngapain sih sampai makhluk halus saja terganggu.

Aku kembali berjalan menuju kelasku. Tahun ajaran baru dimulai baru seminggu ini dan ada beberapa bangunan baru yang digunakan. Ada kejadian aneh akhirnya-akhir ini salah satunya kesurupan siswa.

“Arka, anak kelas sebelas ada yang kena lagi,” seru Bono teman satu kelas dan kebetulan sahabatku sejak bersekolah di SMA ini.  

Aku terpaku di tempat bukan karena apa yang disampaikan Bono tapi menatap pojok kelas di mana ada sosok nenek dengan wajah keriput dan lingkar mata hitam. Yang membuatnya tampak menyeramkan adalah dia sering  tertawa dan menyeringai sambil mencakar dinding.

Kebetulan kelas ini berada paling ujung dan minim cahaya matahari, jadi bagian belakang kelas agak gelap. Di situlah makluk itu berada dan saat ini sedang menatap tajam ke arahku. Aku bisa melihatnya? Tentu saja, entah karena aku memang anak indigo atau apalah istilah masyarakat tapi aku memang bisa melihat dan merasakan makhluk tak kasat mata.

“Panas, hentikan!” teriak makhluk itu saat aku melantunkan doa dalam hati.

Jangan munculkan dirimu di siang hari apalagi mengganggu teman-temanku.

Ransel yang aku gendong sudah berada di atas meja dan aku bersandar pada kursi menatap Bono yang masih saja mengoceh tentang siswa yang kesurupan.

“Kenapa sih lo nggak mau nunjukin kemampuan lo?”

Aku menghela nafas mendengar pertanyaan Bono.

“Kemampuan apaan? Lo pikir gue pahlawan super.”

“Iya, lo bisa lihat mereka yang nggak bisa kita lihat dan lo juga bisa bantu sadarkan mereka. Kenapa malah milih diam di sini,” seru Bono lagi.

“Bon, mereka nggak akan mengganggu kalau tidak terganggu. Sudah ada guru kita yang bisa menyembuhkan mereka.”

“Ck, tapi ‘kan ….”

“Sudahlah setiap makhluk sudah memiliki peran hidupnya masing-masing.”

“Yaelah, kita masih SMA tapi bahasa lo udah filsafat banget,” ejek Bono.

Suasana kelas semakin ramai dan tidak lama bel tanda pelajaran dimulai pun sudah terdengar. Di sela pelajaran ada keributan di belakang, aku menoleh. Salah satu teman sekelasku mengatakan tubuhnya tidak nyaman, rasanya berat dan panas di punggung, tengkuk dan kepala.

“Astagfirullah.”

Sosok nenek penunggu kelas sedang duduk di atas kepala temanku, tentu saja dia merasakan berat dan panas.

“Aaaaaa.” Teriak temanku lalu tidak sadarkan diri, kelas menjadi riuh dan sebagian mendekat termasuk aku.

Sosok nenek penunggu terlihat mengambang di udara, kemudian terkikik. Suaranya begitu menyeramkan bahkan aku merasakan bulu kuduk merinding. Kikikan suaranya berubah menjadi jeritan lalu makhluk itu berpindah ke dinding dan kembali mencakar sambil menjerit.

Aku bahkan menutup telinga dengan kedua tanganku dan memejamkan, sedangkan mulut melantunkan ayat untuk mengusir jin ataupun makhluk gaib yang mengganggu. Tiba-tiba kelas senyap perlahan aku membuka mata dan melepaskan tangan dari telinga, ternyata makhluk itu sudah pergi.

“Arka, lo kenapa?” tanya Bono.

Aku hanya menggelengkan kepala. Beberapa siswa menatap ke arahku dan sebagian lagi fokus pada temanku yang masih tak sadarkan diri.

“Kita bawa ke UKS,” titah guru kelas. Aku dan Bono pun ikut menggotong temanku menuju UKS.

...***...

Jam belajar sudah berakhir tapi seluruh siswa kelas dua belas dikumpulkan di aula karena akan membahas kegiatan outing class yang akan dilaksanakan esok. Selain membicarakan masalah kegiatan outing class, guru kesiswaan yang sedang berada di depan juga menyampaikan ada siswa baru bernama Marsa yang akan mulai bergabung di sekolah beberapa hari lagi.

Akhirnya pengarahan selesai dan para siswa bubar.  Aku, Bono dan Oky tentu saja ikut bubar meninggalkan aula.

“Eh, lo tahu nggak ….”

“Nggak,” sahut Arka dan Bono serempak menyela ucapan Oky.

“Apaan sih, gue belum selesai ngomong,” jelas Oky. “Jadi yang namanya Marsa itu katanya anak indigo. Fix lo ada temen,” ujar Oky yang ditujukan padaku.  

Aku menoleh dan mengernyitkan dahi.

“Yang bilang gue anak indigo siapa?”

Bono dan Oky saling tatap lalu mengedikkan bahu.

“Gue anak mama dan papa bukan anak indigo.”

“Ah, kamprett maksudnya anak yang punya kelebihan dengan masalah pergaiban.”

Aku berjalan menuju toilet, Oky dan Bono sudah pamit menuju parkiran. Sejak tadi aku menahan hajat kecilku, baru saja mendorong pintu toilet sudah disuguhkan dengan penampakan makhluk yang duduk di salah satu pintu bilik toilet.

Makhluk itu sedang memainkan rambutnya yang panjang. Kedua kaki pucatnya berayun di tengah pintu. Dia tertawa sambil melambaikan tangan seakan mengajak aku untuk segera masuk. Tubuhku rasanya kaku, ingin lari tidak bisa bahkan untuk melangkah pun rasanya berat.

“A-aaa.” Aku ingin menjerit tapi yang keluar hanya suara yang parau.

Tiba-tiba lampu kamar mandi berkedip dan … brak. Pintu tertutup sendiri. Entah bagaimana caranya, makhluk itu sudah berdiri di hadapanku sambil memiringkan kepalanya. 

Tabrakan Beruntun

Aku memejamkan mata berusaha tenang dan mensugesti diri sendiri kalau manusia adalah makhluk paling tinggi derajatnya dan tidak akan kalah dengan setan apalagi dimakan oleh setan. Bibirku akhirnya bisa mengucap, “Astagfirullah.”

Perlahan aku membuka mataku berharap sosok itu sudah tidak ada di sana. Ternyata makhluk itu masih berdiri tegak dengan kepalanya digoyangkan ke kiri dan kanan. Aku kembali beristighfar dan makhluk itu ikut berucap istighfar.

“Aaaaaa,” jeritku kemudian semua gelap.

Entah apa yang terjadi, yang jelas aku merasakan tubuhku lemas dengan kepala agak pening. Sayup-sayup aku mendengar suara … Papa. Perlahan aku mengerjapkan mata, sepertinya ini bukan kamarku tapi ruang  UKS.

“Arka,” panggil Papa lalu menghampiriku.

Begitupun dengan wali kelas yang tadi sedang bicara dengan Papa.

“Aku kenapa Pah?”

“Kamu ditemukan pingsan di toilet,” ujar Pak Guru.

Pingsan? Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Terakhir yang aku ingat, kami mengikuti arahan kegiatan besok lalu aku berpisah dengan Bono dan Oky --- tentu saja karena aku ke toilet --- dan bertemu dengan makhluk menyeramkan di tempat itu.

“Eh, sudah kuat?” tanya Papa saat aku perlahan beranjak bangun.

“Aku mau pulang.”

Selama perjalanan aku bukan memikirkan makhluk tadi atau menceritakan detail kejadiannya pada Papa tapi memikirkan bagaimana menghindar atau meyakinakan Mama kalau aku baik-baik saja. Ketika mobil sudah melewati pagar dan terparkir rapi di carport, Mama sudah berdiri di beranda rumah menunggu kedatangan kami dengan wajah khawatir.

“Aku baik-baik saja, makhluk tadi baru pertama kali aku lihat,” ujarku lalu mencium tangan Mama dan meninggalkannya.

“Eh, Arka … Bang Al, serius dia nggak apa-apa?”

Entah apa yang mereka bicarakan, aku memilih bergegas ke kamar. Membersihkan diri, menunaikan sholat setelah itu berbaring di ranjang menatap langit-langit kamar. Aku memang bisa melihat makhluk-makhluk itu sejak kecil, bahkan mungkin sejak aku lahir. Cerita Papa, sejak dalam kandungan Mama dan aku selalu diganggu.

Kadang aku bisa mengatasi rasa takut saat melihat “mereka” tapi kadang tubuhku merespon lain ketika aura kami bertabrakan. Bukan hanya bisa melihat dan merasakan kehadiran “mereka” aku juga tidak diperkenankan bicara buruk apalagi sumpah serapah, khawatir kejadian. Karena ini pernah aku alami, saat itu aku masih berumur delapan tahun duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Aku diganggu oleh kakak kelas, bukan sekali dua kali tapi sering. Sampai satu waktu mereka keterlaluan dengan mengambil sepatuku dan menggantungkan di ranting pohon yang tidak bisa aku jangkau bahkan isi tasku dikeluarkan dan dibuang begitu saja.

Tentu saja saat itu aku marah, mungkin akumulasi dari setiap kekesalan yang dipendam aku menjerit dan mengatakan kalau mereka akan celaka. Ketiga kakak kelasku hanya tertawa sambil berlari meninggalkanku. Masih dalam tatapan, salah satu kakak kelasku tertabrak mobill ketika menyebrang jalan. Walaupun tidak sampai meninggal tapi luka-lukanya cukup parah.

Kedua siswa lainnya mendapatkan celaka yang berbeda. Ada yang jatuh dari motor ketika di jemput orang tuanya dan terpeleset di kamar mandi. Keduanya mendapatkan cedera lumayan parah.

“Arka.”

Lamunanku buyar, mendengar suara dari luar kamarku. Seperti suara Mama yang berkali-kali memanggil namaku.

“Nggak usah ganggu, kamu bukan Mama,” teriakku lalu hening tidak ada lagi suara memanggil namaku.

Hal seperti itu sudah biasa terjadi, bukan hanya suara kadang ada penampakan yang menyerupai orang-orang terdekatku. “Mereka” sungguh senang menggangguku, kalau boleh dan bisa rasanya aku ingin melepaskan dan membuang kelebihan yang terkadang terasa menyulitkan.

...***...

“Ayolah Bang, temui Ayah lagi. Gangguan yang diterima Arka semakin berat, aku nggak mau terjadi sesuatu dengan Arka.”

“Iya, nanti aku temui Ayah. Sebenarnya kelebihan Arka pasti ada manfaatnya hanya saja dia belum bisa mengelola kemampuannya.”

Saat menuruni tangga, aku mendengar Papa dan Mama membicarakan aku. Walaupun aku kadang tersiksa dengan apa yang aku rasakan tapi aku tidak ingin membuat Mama sedih dan khawatir. Andaikan Mama dan Papa memiliki anak selain aku, mungkin fokus mereka tidak hanya untuk aku.

“Arka, kemari sayang,” ajak Mama setelah melihatku lalu menarik kursi di sampingnya untuk aku duduk.

“Hari ini kamu jadi ikut outing class?” tanya Papa yang aku balas dengan anggukan karena sedang meneguk air dalam gelas yang disodorkan Mama untukku.

“Kalau kamu belum fit, Mama bisa hubungi wali kelas kamu untuk minta izin.”

“Aku baik-baik saja Mam. Lagi pula tempat yang akan dikunjungi dekat kok, masih daerah Jakarta,” ujarku.

“Habiskan sarapanmu,” titah Papa.

Setelah sarapan, seperti biasa Papa mengantarkan aku ke sekolah sebelum beliau menuju kantor. Papa menurunkan aku agak jauh dari gerbang karena sudah ada beberapa bus terparkir di sana.

“Hati-hati ya, kalau dirasa tempat yang kamu tuju beraura aneh sebaiknya jangan memaksa untuk masuk.” Nasihat Papa tentu saja demi kebaikanku.

Para siswa yang akan mengikuti outing class tampak begitu antusias. Kami dibariskan di lapangan untuk pengarahan dan pembagian bus.

“Kemarin lo pingsan ya?” tanya Bono sambil berbisik.

Aku hanya mengangguk, mendengarkan arahan dari salah satu guru pembimbing yang ada di depan barisan.

“Kenapa?” Bono kembali bertanya tapi aku abaikan.

“SILAHKAN MASUK KE DALAM BUS SESUAI KELAS DAN NOMOR BUS. TIDAK USAH BEREBUT, SUDAH DIATUR DAN TIDAK AKAN ADA YANG TIDAK TERANGKUT!”

Aku, Bono dan Oky menuju bus. Tentu saja aku dan Bono satu bus sedangkan Oky terpisah karena kami memang beda kelas. Tidak perlu berebut kursi karena harus duduk sesuai dengan kursi yang tertera nama masing-masing.

Aku mendapatkan baris ketiga dari depan, di sampingku ternyata kursi untuk Marsa tapi dia tidak ikut. Ketika bus mulai melaju aku memejamkan mata sedangkan yang lain bernyanyi. Tanpa terasa aku tertidur, entah berapa lama sampai akhirnya aku terjaga karena baru saja bermimpi.

Dahiku berkeringat padahal pendingin udara di bus cukup baik.

“Tadi itu mimpi atau apa? Kenapa terasa nyata,” gumamku. Tanganku membuka resleting tas untuk mengeluarkan botol air mineral sedangkan pikiranku masih mengingat mimpi yang baru saja aku alami. Aku melihat banyak sosok bukan manusia atau bisa dikatakan arwah yang berdiri di sepanjang jalan di mana bus-bus melewatinya.

“Semoga hanya bunga tidur bukan pertanda apapun,” gumamku lagi lalu membuka segel botol air dan mengarahkan ke depan mulutku.

Tiba-tiba ....

Brak …. Brakk … prangg.

Bus yang aku naiki menghantam sesuatu membuat yang sedang berdiri terpental. Aku sendiri tidak sadar terbentur apa, yang jelas rasanya pening dan berisik. Terdengar teriakan teman-temanku bukan hanya di dalam bus ini tapi bus lain juga, serta suara klakson dan teriakan orang. 

Aku Kesepian

“Arka, lo nggak apa-apa?” tanya Bono.

Aku yang masih merasakan pening karena kepalanya sepertinya terbentur sesuatu hanya menggelengkan kepala. Semua begitu cepat dan aku sendiri masih tidak tahu apa yang terjadi.

“Ada apa sih?” tanyaku pada Bono yang masih berdiri di sampingku. Bono duduk di kursi agak belakang sepertinya tidak terlalu merasakan guncangan.

“Bus kita nabrak, lihat tuh!”

Aku melongokkan kepala dan benar saja, bus yang aku naiki menabrak buntut bus di depan.

“Semua turun, yang terluka langsung bergabung dengan wali kelasnya untuk segera mendapatkan pengobatan,” teriak seseorang.

Aku dan Bono keluar dari bus. Di luar sungguh kacau  karena sebagian siswa perempuan menangis juga beberapa yang terluka mulai dibawa menuju rumah sakit terdekat. Ternyata ini tabrakan beruntun, dua bus yang termasuk dalam runtutan. Masih ada beberapa mobil pribadi di depan sana yang bentuknya lumayan rusak parah.

“Arka, lo ikut ke rumah sakit. Dahi lo memar juga ada luka yang berdarah,” ujar Bono.

Aku hanya mengangguk dan ikut arahan dari para guru pembimbing. Sampai akhirnya aku tiba di rumah sakit. Luka yang aku rasakan belum termasuk kategori parah jadi yang didahulukan adalah korban dengan luka lebih berat.

Saat menunggu  giliran diobati, aku sudah didata oleh pihak rumah sakit termasuk juga oleh salah satu guru. Bukan hanya aku yang menunggu antrian diperiksa, banyak juga siswa lain. Aku mengalihkan pandangan ke sekitar, suasana rumah sakit semakin ramai karena banyaknya korban kecelakaan tadi.

Pandanganku terhenti pada sosok seorang gadis yang sedang menatap ke arahku. Aku mengernyitkan dahi saat kami saling tatap, karena aku tahu dia … bukan manusia.

“Arka Yuratama.”

Aku menoleh dan menghampiri arah suara. Ternyata giliranku untuk diperiksa dan ditangani, aku sempat menoleh masih ada sosok itu di sana. Gadis itu seperti seumuran denganku atau setahun di bawahku, dia mengenakan seragam sekolah yang tidak familiar. Sepertinya seragam sekolah internasional, dengan rok kotak-kotak dan atasan kemeja putih. Rambutnya diikat ekor kuda dilengkapi sepatu kets putih, yang jelas dia terlihat cantik dan mungil.

“Ada keluhan lain selain luka ini?” tanya dokter yang memeriksaku.

“Kepala saya agak pening setelah tadi terbentur.”

Dokter itu terdiam sesaat kemudian menanyakan hal lain. Aku tidak tahu apa diagnosis keluhanku, yang jelas dokter itu merekomendasikan untuk rawat inap dan pemeriksaan lebih lanjut. Aku kembali diminta untuk menunggu.

“Arka, sudah hubungi orang tuamu?” tanya guru pembimbing yang mendampingi siswa korban kecelakan.

Aku menggelengkan kepala, menghubungi Mama sebelum tahu apa yang terjadi padaku hanya akan membuatnya panik.

“Mau Bapak yang hubungi?”

“Tidak perlu Pak, biar saya saja.” Aku pun mengeluarkan ponsel, mencari kontak Papa lalu melakukan panggilan dan …. “Astagfirullah,” ujarku terkejut karena gadis itu sudah berdiri di hadapanku sambil tersenyum.

“Kamu kenapa?” tanya guru pembimbing yang masih menunggu aku menghubungi Papa.

Aku menggeleng pelan. Tidak lama panggilan pun tersambung, aku menjelaskan dengan singkat kronologis kejadian sambil pandanganku mengarah pada sosok itu yang saat ini masih di posisinya.

...***...

Aku sudah berada di kamar rawat entah kelas berapa yang jelas ada tiga ranjang, bahkan sudah berganti seragam pasien dan sudah mendapatkan beberapa pemeriksaan. Sakit di kepalaku memang belum hilang dan ada memar di tubuhku, jadi keputusan dokter untuk aku rawat inap sepertinya sudah tepat.

Hanya saja aku tidak suka di sini, karena “mereka” banyak sekali dan cukup mengganggu. Ada seorang suster diikuti makhluk yang juga berpenampilan seperti seorang perawat, hanya seragam yang dikenakan sudah usang dan muka pucat. Ada juga yang lewat sambil menyeret kakinya dan yang menyeramkan anak kecil digendong oleh seorang ibu dengan isi perut berurai.

Saat ini aku memejamkan mata karena merasakan kantuk tapi di telingaku masih mendengar bisikan dari sosok yang berdiri di samping pasien bed paling ujung.

“Kamu akan mati, ayo ikut aku.”

Kalimat itu terus terdengar dan dari nada suaranya aku tahu kalau itu suara makhluk halus. Sosoknya tidak bisa terlihat karena ada gorden di sampingku dan pasien lain di ranjang tengah.

“Hai.”

Aku menoleh dan terkejut ternyata sosok gadis itu sudah berdiri di samping hospital bed sambil tersenyum. “Astagfirullah.” 

Mendengar aku beristighfar wajahnya berubah datar seperti saat pertama aku melihatnya.

“Apa aku menyeramkan seperti hantu, sampai kamu harus mengucap kata itu?”

Sabar Arka, tidak usah diladeni.

“Kenapa diam?” Dia bertanya lagi.

Aku masih cuek dan memandang langit-langit kamar bahkan menguap dan memilih memejamkan mata.

“Tidak usah pura-pura, kamu bisa lihat aku dan makhluk lainnya. iya ‘kan?”

“Arka!”

Aku membuka mata karena mendengar suara yang begitu familiar.

“Ma ….”

Wanita itu sudah memelukku dan menanyakan segala macam mengenai kondisiku.

“Aku nggak ngerti nanti mama tanya dokter saja.”

Mama tidak sendiri dia datang bersama Om Kaivan, ternyata Papa langsung berangkat ke luar kota setelah mengantar aku ke sekolah tadi pagi. Om Kaivan menghubungi seseorang, sepertinya Papa.

“Kak, cepat urus kamar Arka,” ujar Mama setelah Om Kaivan mengakhiri panggilan.

“Hm, aku urus dulu. Nanti malam Bang Aldo usahakan kembali ke Jakarta,” ujar pria itu lalu meninggalkan aku dan Mama.

“Siapa mereka?”

Aku menoleh, sosok itu masih ada dan malah bertanya. Sepintas aku membaca name tag di seragamnya, “DAVINA”

“Sepertinya mereka tidak bisa melihatku seperti kamu melihatku?”

“Bukan urusanmu,” jawabku karena mulai kesal dengan ocehannya.

“Urusan apa?” tanya Mama.

“Ah, nggak Mah.”

Mama menengok kiri dan kanan, “Apa ada yang mengganggumu?”

Mama berbeda, dia tidak bisa melihat makhluk tak kasat mata seperti aku dan Papa. Namun, menurut cerita Mama pernah ada kemampuan melihat dan berkomunikasi dengan mahluk gaib bahkan arwah yang gentayangan karena masih berat untuk pergi dari dunia bisa menyampaikan pesan terakhir untuk keluarga yang ditinggalkan lewat Mama. Kemampuan itu hilang saat Mama bangun dari koma setelah melahirkan aku.

“Kamu akan mati, ayo ikut aku.”

Suara itu masih mengganggu dan sosok ini pun sama.

“Mah, aku ingin tidur.”

“Tidurlah, ada Mama di sini,” ujarnya sambil memperbaiki letak selimutku.

“Jangan tidur, aku kesepian,” ujar sosok bernama Davina.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!