“Tentu saja bisa, sebagai hantu aku juga punya perasaan,” sahut Davina.
Apa kamu benar hantu, aku jadi ragu. Papa tidak bisa melihatmu.
“Huft.”
“Arka.”
“Hm.”
“Aku masih boleh ikut denganmu ‘kan?” tanya Davina lirih.
Arka menghela nafasnya, mendengar pertanyaan Davina. Walaupun kesal atau marah, dia tidak bisa meluapkan apalagi menyentuhnya.
“Untuk apa kamu minta izin, aku larang saja kamu masih melanggar.”
“Habis, aku penasaran berada di tengah keluarga sepertinya kamu rasakan.” Davina sepertinya sudah tidak bersedih karena nada bicaranya sudah kembali riang.
Aku menoleh ternyata dia masih duduk di samping kepalaku.
“Minggirlah, aku mau tidur.” Aku mengusir Davina agar turun dari ranjang.
“Tidur saja, aku hanya duduk di sini.”
“Kamu mengganggu, benar-benar mengganggu.”
“Mengganggu bagaimana, aku hanya duduk diam,” sahut Davina masih enggan beranjak.
Aku beranjak duduk, lalu menoleh ke arahnya yang sedang menatapku. Bagaimana tidak mengganggu, dia duduk dan rok yang dikenakan tentu saja bergeser dan menampakan kedua pahanya yang putih dan mulus.
“Davina ….”
“Apa?”
Saat ini Davina malah duduk bergeser ke arahku dan tersenyum ketika wajah kami berhadapan. Aku mengusap kasar wajahku dan tunggu dulu, aku tidak merasakan hembusan nafasnya. Tentu saja karena dia bukan manusia.
“Davina, bisakah kamu pindah ke sofa? Bagaimanapun aku laki-laki normal, penampilanmu tetap menggoda meskipun kamu bukan manusia.”
Davina tampak berpikir kemudian matanya terbelalak.
“Oh Tuhan, Arka. Kamu pasti membayangkan yang aneh-aneh tentangku ya?” Davina segera turun dari ranjang dan berpindah ke sofa, dengan kedua tangan menyilang di dada. “Jangan lihat-lihat,” ujarnya.
Aku hanya menggelengkan kepala lalu merebahkan diri, menarik selimut dan mengganti lampu dengan yang lebih temaram. Mataku sudah terpejam tapi terganggu dengan suara senandung.
“Sayang, putriku sayang. Janganlah bimbang, ku takkan hilang. Sayang, putriku sayang. Janganlah bimbang, tetap menyayang. Hmmmmm.”
“Davina, hentikan.”
“Katanya mau tidur, kok masih bicara.”
Aku kembali menghidupkan kembali lampu yang terang dan beranjak duduk.
“Bagaimana aku bisa tidur kalau kamu terus bersenandung,” keluhku pada Davina.
“Oh, maaf. Tiba-tiba saja terlintas senandung itu, aku tidak tahu kenapa aku bisa hafal liriknya. Ya sudah, tidurlah. Aku akan berkeliling rumahmu dulu.”
...***...
Aku tidak suka situasi saat ini, seakan aku sedang dalam kondisi perlu perhatian dan terpuruk.
“Aku baik-baik saja,” ujarku.
Mama dan Papa yang tadinya hanya diam menikmati sarapan akhirnya menatapku.
“Arka, Papa bukannya tidak percaya tapi biasanya kita bisa lihat dan saat ini papa tidak bisa membuktikan apa yang kamu lihat,” tutur Papa.
“Jadi?” tanyaku menunggu kesimpulan yang akan Papa sampaikan.
“Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kecelakaan yang kamu alami?”
Mungkin saja memang ada hubungannya Davina dengan kecelakaan yang aku alami atau bisa juga tidak ada hubungannya.
“Entahlah, Pah.” Aku menatap Davina yang sedang bergerak ke sana kemari dengan gaya seakan sedang menari, sesekali dia melihatku dan menjulurkan lidahnya seraya mengejekku.
“Bagaimana kalau kita tanya orang lain yang mungkin saja memang bisa melihat sosok yang Arka maksud,” usul Mama.
“Sudahlah, kita tidak usah bahas hal itu lagi.”
Usul Mama ada benarnya, aku harus cari orang lain yang memang memiliki kelebihan melihat makhluk gaib. Ah, Marsa. Aku akan tanya Marsa.
“Oh iya Mah, aku terlibat kegiatan LDKS. Kegiatannya menginap di sekolah. Acaranya besok,” ujarku memohon izin.
“Hah, kamu akan menginap di sekolah?” tanya Davina sudah duduk di kursi sisi kiriku, bahkan wajahnya bertumpu tangan yang berlaku seperti penyangga.
“Wajib ikut?” tanya Mama.
“Iya Mah. Jangan bilang kalian tidak izinkan aku ikut kegiatan ini?”
Mama menatapku dan Papa bergantian, seakan meminta dukungan agar aku tidak diizinkan untuk mengikuti kegiatan di sekolah.
“Jaga dirimu, hati-hati jika energi lain mulai mengganggu,” nasihat Papa.
“Yess, terima kasih Pah.”
“Arka, aku boleh ikut acara itu?” tanya Davina.
Aku mengabaikan Davina karena tadi aku sudah melarang dia untuk ikut ke sekolah. Walaupun aku akan menanyakan pada Marsa apa dia bisa melihat Davina atau tidak, bukan berarti dia bisa ikut tanpa izinku.
Sampai di sekolah, aku belum melihat kehadiran Marsa di kelas. Sambil menunggu aku membuka ponsel dan mengecek media sosial. Tidak lama kemudian, Marsa akhirnya datang dan duduk tepat di kursi di hadapanku.
“Marsa,” panggilku.
“Iya,” jawab Marsa tanpa menoleh.
Aku pun menceritakan mengenai Davina yang mengikutiku dan Papa yang tidak bisa melihat sosok Davina.
“Apa sekarang dia ikut?”
“Tidak, aku tidak mengizinkannya.”
“Baiknya ajak dia, agar aku bisa melihatnya untuk buktikan kamu memang bisa melihat “mereka” atau hanya dugaan saja,” tutur Arka.
Bel tanda pelajaran pun dimulai, empat jam pertama adalah jadwal mata diklat sejarah dan kimia. Dua pelajaran yang aku kurang sukai, bahkan cenderung membuatku jenuh dan mengantuk. Seperti saat ini, aku sudah berkali-kali menguap dan mata yang semakin berat.
Entah aku bermimpi atau kilasan ini benar-benar nyata.
Aku tiba-tiba tersadar saat Bono menyenggol lenganku, membuatku terkejut dan langsung duduk tegak bersandar khawatir jika guru di depan menyadari kalau aku tertidur.
Tadi itu apa? Kenapa terlihat seperti nyata.
Aku melihat sebuah kecelakaan mobil tunggal dan saat semua orang panik ingin menolong pengendara yang masih berada di mobil yang sudah terbalik. Yang semakin mengejutkan adalah orang yang berada di dalam mobil, wajahnya begitu aku kenal. Om Kaivan.
“Lo kenapa?” tanya Bono yang melihatku terengah dan aneh.
Aku masih mengatur nafasku dan berusaha untuk fokus pada kegiatan belajar tapi aku tidak bisa. Bayangan mimpi tadi sungguh membuat aku bertanya-tanya apa kecelakaan itu akan menjadi kenyataan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Rinisa
Menjadi Misteri...
2024-09-28
0
Zuhril Witanto
apa kaivan bakalan kecelakaan
2024-05-06
0
Ali B.U
.next
2024-03-27
1