“Arka, lo nggak apa-apa?” tanya Bono.
Aku yang masih merasakan pening karena kepalanya sepertinya terbentur sesuatu hanya menggelengkan kepala. Semua begitu cepat dan aku sendiri masih tidak tahu apa yang terjadi.
“Ada apa sih?” tanyaku pada Bono yang masih berdiri di sampingku. Bono duduk di kursi agak belakang sepertinya tidak terlalu merasakan guncangan.
“Bus kita nabrak, lihat tuh!”
Aku melongokkan kepala dan benar saja, bus yang aku naiki menabrak buntut bus di depan.
“Semua turun, yang terluka langsung bergabung dengan wali kelasnya untuk segera mendapatkan pengobatan,” teriak seseorang.
Aku dan Bono keluar dari bus. Di luar sungguh kacau karena sebagian siswa perempuan menangis juga beberapa yang terluka mulai dibawa menuju rumah sakit terdekat. Ternyata ini tabrakan beruntun, dua bus yang termasuk dalam runtutan. Masih ada beberapa mobil pribadi di depan sana yang bentuknya lumayan rusak parah.
“Arka, lo ikut ke rumah sakit. Dahi lo memar juga ada luka yang berdarah,” ujar Bono.
Aku hanya mengangguk dan ikut arahan dari para guru pembimbing. Sampai akhirnya aku tiba di rumah sakit. Luka yang aku rasakan belum termasuk kategori parah jadi yang didahulukan adalah korban dengan luka lebih berat.
Saat menunggu giliran diobati, aku sudah didata oleh pihak rumah sakit termasuk juga oleh salah satu guru. Bukan hanya aku yang menunggu antrian diperiksa, banyak juga siswa lain. Aku mengalihkan pandangan ke sekitar, suasana rumah sakit semakin ramai karena banyaknya korban kecelakaan tadi.
Pandanganku terhenti pada sosok seorang gadis yang sedang menatap ke arahku. Aku mengernyitkan dahi saat kami saling tatap, karena aku tahu dia … bukan manusia.
“Arka Yuratama.”
Aku menoleh dan menghampiri arah suara. Ternyata giliranku untuk diperiksa dan ditangani, aku sempat menoleh masih ada sosok itu di sana. Gadis itu seperti seumuran denganku atau setahun di bawahku, dia mengenakan seragam sekolah yang tidak familiar. Sepertinya seragam sekolah internasional, dengan rok kotak-kotak dan atasan kemeja putih. Rambutnya diikat ekor kuda dilengkapi sepatu kets putih, yang jelas dia terlihat cantik dan mungil.
“Ada keluhan lain selain luka ini?” tanya dokter yang memeriksaku.
“Kepala saya agak pening setelah tadi terbentur.”
Dokter itu terdiam sesaat kemudian menanyakan hal lain. Aku tidak tahu apa diagnosis keluhanku, yang jelas dokter itu merekomendasikan untuk rawat inap dan pemeriksaan lebih lanjut. Aku kembali diminta untuk menunggu.
“Arka, sudah hubungi orang tuamu?” tanya guru pembimbing yang mendampingi siswa korban kecelakan.
Aku menggelengkan kepala, menghubungi Mama sebelum tahu apa yang terjadi padaku hanya akan membuatnya panik.
“Mau Bapak yang hubungi?”
“Tidak perlu Pak, biar saya saja.” Aku pun mengeluarkan ponsel, mencari kontak Papa lalu melakukan panggilan dan …. “Astagfirullah,” ujarku terkejut karena gadis itu sudah berdiri di hadapanku sambil tersenyum.
“Kamu kenapa?” tanya guru pembimbing yang masih menunggu aku menghubungi Papa.
Aku menggeleng pelan. Tidak lama panggilan pun tersambung, aku menjelaskan dengan singkat kronologis kejadian sambil pandanganku mengarah pada sosok itu yang saat ini masih di posisinya.
...***...
Aku sudah berada di kamar rawat entah kelas berapa yang jelas ada tiga ranjang, bahkan sudah berganti seragam pasien dan sudah mendapatkan beberapa pemeriksaan. Sakit di kepalaku memang belum hilang dan ada memar di tubuhku, jadi keputusan dokter untuk aku rawat inap sepertinya sudah tepat.
Hanya saja aku tidak suka di sini, karena “mereka” banyak sekali dan cukup mengganggu. Ada seorang suster diikuti makhluk yang juga berpenampilan seperti seorang perawat, hanya seragam yang dikenakan sudah usang dan muka pucat. Ada juga yang lewat sambil menyeret kakinya dan yang menyeramkan anak kecil digendong oleh seorang ibu dengan isi perut berurai.
Saat ini aku memejamkan mata karena merasakan kantuk tapi di telingaku masih mendengar bisikan dari sosok yang berdiri di samping pasien bed paling ujung.
“Kamu akan mati, ayo ikut aku.”
Kalimat itu terus terdengar dan dari nada suaranya aku tahu kalau itu suara makhluk halus. Sosoknya tidak bisa terlihat karena ada gorden di sampingku dan pasien lain di ranjang tengah.
“Hai.”
Aku menoleh dan terkejut ternyata sosok gadis itu sudah berdiri di samping hospital bed sambil tersenyum. “Astagfirullah.”
Mendengar aku beristighfar wajahnya berubah datar seperti saat pertama aku melihatnya.
“Apa aku menyeramkan seperti hantu, sampai kamu harus mengucap kata itu?”
Sabar Arka, tidak usah diladeni.
“Kenapa diam?” Dia bertanya lagi.
Aku masih cuek dan memandang langit-langit kamar bahkan menguap dan memilih memejamkan mata.
“Tidak usah pura-pura, kamu bisa lihat aku dan makhluk lainnya. iya ‘kan?”
“Arka!”
Aku membuka mata karena mendengar suara yang begitu familiar.
“Ma ….”
Wanita itu sudah memelukku dan menanyakan segala macam mengenai kondisiku.
“Aku nggak ngerti nanti mama tanya dokter saja.”
Mama tidak sendiri dia datang bersama Om Kaivan, ternyata Papa langsung berangkat ke luar kota setelah mengantar aku ke sekolah tadi pagi. Om Kaivan menghubungi seseorang, sepertinya Papa.
“Kak, cepat urus kamar Arka,” ujar Mama setelah Om Kaivan mengakhiri panggilan.
“Hm, aku urus dulu. Nanti malam Bang Aldo usahakan kembali ke Jakarta,” ujar pria itu lalu meninggalkan aku dan Mama.
“Siapa mereka?”
Aku menoleh, sosok itu masih ada dan malah bertanya. Sepintas aku membaca name tag di seragamnya, “DAVINA”
“Sepertinya mereka tidak bisa melihatku seperti kamu melihatku?”
“Bukan urusanmu,” jawabku karena mulai kesal dengan ocehannya.
“Urusan apa?” tanya Mama.
“Ah, nggak Mah.”
Mama menengok kiri dan kanan, “Apa ada yang mengganggumu?”
Mama berbeda, dia tidak bisa melihat makhluk tak kasat mata seperti aku dan Papa. Namun, menurut cerita Mama pernah ada kemampuan melihat dan berkomunikasi dengan mahluk gaib bahkan arwah yang gentayangan karena masih berat untuk pergi dari dunia bisa menyampaikan pesan terakhir untuk keluarga yang ditinggalkan lewat Mama. Kemampuan itu hilang saat Mama bangun dari koma setelah melahirkan aku.
“Kamu akan mati, ayo ikut aku.”
Suara itu masih mengganggu dan sosok ini pun sama.
“Mah, aku ingin tidur.”
“Tidurlah, ada Mama di sini,” ujarnya sambil memperbaiki letak selimutku.
“Jangan tidur, aku kesepian,” ujar sosok bernama Davina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
siapa yang ngajakin
2024-05-06
0
Zuhril Witanto
astaghfirullah
2024-05-06
0
Ali B.U
next.
2024-03-26
1