Masa Lalu Davina

Mama menyambut kedatangan aku dan Papa biasa saja, tidak terlihat terjadi sesuatu seperti Davina bisa dilihat oleh yang lain atau dia melakukan sesuatu di kamar sampai mengakibatkan bencana. Maksud dari Mama sikapnya biasa adalah biasa menanyakan keadaanku bahkan memelukku karena yang dia pikirkan lebih buruk dari yang terjadi.

“Mah, aku sudah besar. Jangan begini,” ujarku yang masih dalam pelukan Mama tapi tidak enak kalau harus mengurai pelukan wanita itu.

“Lepas, Sayang. Sebentar lagi bukan kamu yang meluk dia tapi pacarnya.”

Papa mulai memprovokasi, karena ucapannya sukses membuat mama mendelikkan matanya dan mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan.

“Papa bercanda Mah, aku belum ada pacar. Aku lelah, Mama jangan khawatir. Aku baik-baik saja,” jelasku kemudian bergegas menuju lantai dua.

Mama masih berteriak menanyakan kebenaran yang Papa ucapkan, juga menawariku makan.

Brak.

Aku membuka pintu kamar dan menatap sekeliling mencari sosok dia, Davina.

“Kemana dia?” gumamku.

Tidak mungkin hantu menggunakan toilet saat benakku mengarahkan untuk ke sana. Aku menutup kembali pintu kamar lalu memanggilnya.

“Davina,” ujarku lirih.

Papa dan Mama masih menganggap Davina adalah sosok imajinasi, jadi aku berusaha tidak terlalu mencolok berinteraksi dengan Davina.

“Davina.” Aku memanggilnya lagi.

Sunyi, sepertinya Davina memang sudah pergi. Aku beranjak ke toilet untuk membersihkan diri. Apalagi setelah kerja keras berinteraksi dengan makhluk gaib dan menyadarkan beberapa siswa yang kesurupan, tubuhku rasanya lengket dan bau keringat.

Berada di bawah guyuran air hangat rupanya membuat tubuhku lebih nyaman dan rileks. Hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang, aku menuju walk in closet.

“Astagfirullah, Davina.”

Ternyata Davina ada di ruang ganti. Duduk di pojokan bersandar pada dinding lemari.

“Kamu, ngapain di situ?”

“Aku jenuh nggak ada kamu, nggak ada teman ngobrol.” Dia berkeluh sambil mengerucutkan bibirnya.

Aku menghela nafas pelan, meninggalkannya di kamar dan membebaskan dia pergi pun sama saja. Memang dia tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun.

“Arka,” panggilnya lagi.

“Hm.”

“Itu apa?” tanya Davina menunjuk bagian bawah tubuhku yang menonjol.

“Aish.” Aku menyadari saat ini hanya memakai handuk saja, bahkan bagian atas tubuhku terpampang jelas. Bergegas aku meraih salah satu kaos dan memakainya lalu celana pendek serta under_weat yang asal tarik.

Meskipun Davina hanya sosok gaib, tidak mungkin aku berganti pakaian di hadapannya dan kenapa juga milikku harus bereaksi melihat sosok Davina.

“Arka,” panggil Davina.

Aku memastikan pakaian yang aku kenakan sudah lengkap. Davina sudah berada di depan pintu toilet sambil memanggilku.

“Hm,” jawabku melewatinya.

“Arka. Kamu jangan tinggalin aku lagi dong.”

Aku menoleh dan mengernyitkan dahi.

“Siapa yang tinggalkan kamu? Lagi pula kamu yang mengikuti aku, seharusnya aku yang tanya kapan kamu pergi.”

“Tapi aku tidak tahu. Tidak tahu kenapa aku bisa genyatangan begini, lalu bagaimana caraku pergi?”

Iya juga ya, kenapa Davina bisa begini?

Aku menaiki ranjang dan berbaring di atasnya, sambil memikirkan untuk membantu persoalan Davina.

“Kamu ingat kapan dan bagaimana kamu meninggal?” tanyaku pada Davina yang dijawab dengan gelengan kepala.

“Tempat tinggalmu sebelumnya?”

Dia menggelengkan lagi kepalanya.

“Lalu, bagaimana bisa kamu ….”

“Yang aku ingat, aku ada di rumah sakit lalu aku bertanya pada orang yang hilir mudik tapi mereka mengabaikanku. Sampai aku sadar kalau aku tidak terlihat oleh mereka, aku sudah mati,” tuturnya sambil menunduk.

“Sejak kapan?”

“Aku tidak tahu, aku hanya berjalan ke sana kemari dan kembali lagi ke tempat itu. Aku bisa melihat manusia dan makhluk tak kasat mata termasuk juga hantu-hantu jahil dan jahat yang ada di rumah sakit itu tapi tidak ada yang bisa berinteraksi denganku, selain … kamu.”

Persoalan Davina memang pelik, Papa saja tidak bisa melihatnya padahal pria itu memiliki kelebihan yang sama denganku. Mana mungkin hantu bisa hilang ingatan, tapi Davina sepertinya mengalami hal itu.

Ke mana harus mencari tentang Davina, aku ingin sekali membantunya.

“Arka, kamu kok bengong sih.”

Aku menoleh dan menatap sosok itu. Entah apa yang terjadi dengannya, semoga saja saat dia masih hidup tidak mengalami hal buruk atau kejahatan apapun yang membuatnya mendendam sampai akhirnya dia harus gentayangan seperti ini.

“Sepertinya aku harus bicara dengan Marsa mengenai kamu.”

Davina duduk disampingku bahkan semakin dekat.

“Marsa siapa?” tanya Davina. “Apa dia bisa melihatku?”

“Temanku. Mungkin saja dia bisa melihatmu. Marsa indigo, siapa tahu dia bisa telusuri masa lalumu,” tuturku sambil menatap langit-langit kamar.

“Ehm, apa dia kekasihmu? Apa kalian akan menikah setelah dewasa seperti Papa dan Mama kamu?”

“Kenapa hantu bisa memikirkan masalah kekasih dan menikah. Dasar hantu aneh,” ejekku pada Davina.

“Aku senang lihat Papa dan Mama kamu, mereka terlihat bahagia. Rasanya aku merindukan perasaan bahagia berada di tengah keluarga sepertimu tapi aku tidak ingat apa aku punya keluarga dan tidak mungkin aku akan berkeluarga. Sedangkan sekarang aku sudah ….”

Davina tidak melanjutkan ceritanya, wajahnya menunduk karena menyembunyikan kesedihannya. Aku tidak bisa berbuat apapun termasuk menghiburnya. Bagaimanapun juga, saat ini adalah takdirnya.

...***...

“Aku boleh ikut ke sekolah?” tanya Davina.

Padahal dia sudah menanyakan itu dua kali setelah aku mengatakan dia boleh ikut asal tidak mengganggu dan tidak banyak melakukan interaksi denganku karena orang lain akan melihat aku seperti orang gila yang bicara sendiri.

“Kamu bicara lagi, ajakan ini batal,” ujarku padanya.

“Eh jangan begitu, aku tarik lagi pertanyaanku. Aku ikut kamu ya, aku ingin kembali merasakan sekolah.”

Setelah memakai ranselku dan mengantongi ponsel, aku keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Seperti biasa sudah ada Mama di sana.

“Papa belum bangun?” tanyaku lalu meneguk air dari gelas yang disodorkan oleh Mama.

“Sudah berangkat, ada hal yang urgen. Om Kaivan yang jemput Papa kamu.”

Aku tersedak dan terbatuk-batuk saat mendengar mama menyebut nama om Kaivan.

“Arka, pelan-pelan dong. Kamu sering tersedak begitu deh,” keluh Mama.

Davina ada di sampingku, dia hanya diam menyaksikan interaksi aku dan Mama. Kali ini mama tidak memaksa untuk mengantar tapi sudah memesankan taksi online.

Duduk di kabin penumpang dengan Davina duduk di sampingku. Dia terlihat bersemangat akan melihat sekolahku dan juga teman-temanku.

“Apa temanmu yang bernama Marsa itu juga sekolah di sini?”

Davina dan aku sudah berdiri di depan gerbang sekolah.

“Hm, kami sekelas,” jawabku.

Saat berjalan di koridor kelas-kelas yang ditempati oleh kelas sepuluh, beberapa siswi menegurku bahkan ada yang terang-terangan meminta nomor ponsel atau menawarkan menjadi kekasih mereka. Aku hanya membalas dengan senyum atau anggukkan kepala.

“Kamu disukai banyak perempuan. Sepertinya kamu memang terkenal ya,” ujar Davina.

“Itu kelasku,” ujarku mengalihkan pembicaraan.

Davina berlari menuju kelasku dan ada Davina di depan kelas sedang bicara dengan Oky dan Bono. Davina melewati belakang Marsa, aku terdiam menunggu respon Marsa karena keberadaan Davina.

Akhirnya Marsa menoleh dan tersenyum kepadaku, begitupun Davina yang juga melambaikan tangannya.

“Arka,” panggil Marsa dan Davina.

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

davina mati suri x, kecelakaan mgkin

2024-06-22

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

Marsha gak liat

2024-05-06

0

Ali B.U

Ali B.U

,next

2024-03-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!