Tabrakan Beruntun

Aku memejamkan mata berusaha tenang dan mensugesti diri sendiri kalau manusia adalah makhluk paling tinggi derajatnya dan tidak akan kalah dengan setan apalagi dimakan oleh setan. Bibirku akhirnya bisa mengucap, “Astagfirullah.”

Perlahan aku membuka mataku berharap sosok itu sudah tidak ada di sana. Ternyata makhluk itu masih berdiri tegak dengan kepalanya digoyangkan ke kiri dan kanan. Aku kembali beristighfar dan makhluk itu ikut berucap istighfar.

“Aaaaaa,” jeritku kemudian semua gelap.

Entah apa yang terjadi, yang jelas aku merasakan tubuhku lemas dengan kepala agak pening. Sayup-sayup aku mendengar suara … Papa. Perlahan aku mengerjapkan mata, sepertinya ini bukan kamarku tapi ruang  UKS.

“Arka,” panggil Papa lalu menghampiriku.

Begitupun dengan wali kelas yang tadi sedang bicara dengan Papa.

“Aku kenapa Pah?”

“Kamu ditemukan pingsan di toilet,” ujar Pak Guru.

Pingsan? Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Terakhir yang aku ingat, kami mengikuti arahan kegiatan besok lalu aku berpisah dengan Bono dan Oky --- tentu saja karena aku ke toilet --- dan bertemu dengan makhluk menyeramkan di tempat itu.

“Eh, sudah kuat?” tanya Papa saat aku perlahan beranjak bangun.

“Aku mau pulang.”

Selama perjalanan aku bukan memikirkan makhluk tadi atau menceritakan detail kejadiannya pada Papa tapi memikirkan bagaimana menghindar atau meyakinakan Mama kalau aku baik-baik saja. Ketika mobil sudah melewati pagar dan terparkir rapi di carport, Mama sudah berdiri di beranda rumah menunggu kedatangan kami dengan wajah khawatir.

“Aku baik-baik saja, makhluk tadi baru pertama kali aku lihat,” ujarku lalu mencium tangan Mama dan meninggalkannya.

“Eh, Arka … Bang Al, serius dia nggak apa-apa?”

Entah apa yang mereka bicarakan, aku memilih bergegas ke kamar. Membersihkan diri, menunaikan sholat setelah itu berbaring di ranjang menatap langit-langit kamar. Aku memang bisa melihat makhluk-makhluk itu sejak kecil, bahkan mungkin sejak aku lahir. Cerita Papa, sejak dalam kandungan Mama dan aku selalu diganggu.

Kadang aku bisa mengatasi rasa takut saat melihat “mereka” tapi kadang tubuhku merespon lain ketika aura kami bertabrakan. Bukan hanya bisa melihat dan merasakan kehadiran “mereka” aku juga tidak diperkenankan bicara buruk apalagi sumpah serapah, khawatir kejadian. Karena ini pernah aku alami, saat itu aku masih berumur delapan tahun duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Aku diganggu oleh kakak kelas, bukan sekali dua kali tapi sering. Sampai satu waktu mereka keterlaluan dengan mengambil sepatuku dan menggantungkan di ranting pohon yang tidak bisa aku jangkau bahkan isi tasku dikeluarkan dan dibuang begitu saja.

Tentu saja saat itu aku marah, mungkin akumulasi dari setiap kekesalan yang dipendam aku menjerit dan mengatakan kalau mereka akan celaka. Ketiga kakak kelasku hanya tertawa sambil berlari meninggalkanku. Masih dalam tatapan, salah satu kakak kelasku tertabrak mobill ketika menyebrang jalan. Walaupun tidak sampai meninggal tapi luka-lukanya cukup parah.

Kedua siswa lainnya mendapatkan celaka yang berbeda. Ada yang jatuh dari motor ketika di jemput orang tuanya dan terpeleset di kamar mandi. Keduanya mendapatkan cedera lumayan parah.

“Arka.”

Lamunanku buyar, mendengar suara dari luar kamarku. Seperti suara Mama yang berkali-kali memanggil namaku.

“Nggak usah ganggu, kamu bukan Mama,” teriakku lalu hening tidak ada lagi suara memanggil namaku.

Hal seperti itu sudah biasa terjadi, bukan hanya suara kadang ada penampakan yang menyerupai orang-orang terdekatku. “Mereka” sungguh senang menggangguku, kalau boleh dan bisa rasanya aku ingin melepaskan dan membuang kelebihan yang terkadang terasa menyulitkan.

...***...

“Ayolah Bang, temui Ayah lagi. Gangguan yang diterima Arka semakin berat, aku nggak mau terjadi sesuatu dengan Arka.”

“Iya, nanti aku temui Ayah. Sebenarnya kelebihan Arka pasti ada manfaatnya hanya saja dia belum bisa mengelola kemampuannya.”

Saat menuruni tangga, aku mendengar Papa dan Mama membicarakan aku. Walaupun aku kadang tersiksa dengan apa yang aku rasakan tapi aku tidak ingin membuat Mama sedih dan khawatir. Andaikan Mama dan Papa memiliki anak selain aku, mungkin fokus mereka tidak hanya untuk aku.

“Arka, kemari sayang,” ajak Mama setelah melihatku lalu menarik kursi di sampingnya untuk aku duduk.

“Hari ini kamu jadi ikut outing class?” tanya Papa yang aku balas dengan anggukan karena sedang meneguk air dalam gelas yang disodorkan Mama untukku.

“Kalau kamu belum fit, Mama bisa hubungi wali kelas kamu untuk minta izin.”

“Aku baik-baik saja Mam. Lagi pula tempat yang akan dikunjungi dekat kok, masih daerah Jakarta,” ujarku.

“Habiskan sarapanmu,” titah Papa.

Setelah sarapan, seperti biasa Papa mengantarkan aku ke sekolah sebelum beliau menuju kantor. Papa menurunkan aku agak jauh dari gerbang karena sudah ada beberapa bus terparkir di sana.

“Hati-hati ya, kalau dirasa tempat yang kamu tuju beraura aneh sebaiknya jangan memaksa untuk masuk.” Nasihat Papa tentu saja demi kebaikanku.

Para siswa yang akan mengikuti outing class tampak begitu antusias. Kami dibariskan di lapangan untuk pengarahan dan pembagian bus.

“Kemarin lo pingsan ya?” tanya Bono sambil berbisik.

Aku hanya mengangguk, mendengarkan arahan dari salah satu guru pembimbing yang ada di depan barisan.

“Kenapa?” Bono kembali bertanya tapi aku abaikan.

“SILAHKAN MASUK KE DALAM BUS SESUAI KELAS DAN NOMOR BUS. TIDAK USAH BEREBUT, SUDAH DIATUR DAN TIDAK AKAN ADA YANG TIDAK TERANGKUT!”

Aku, Bono dan Oky menuju bus. Tentu saja aku dan Bono satu bus sedangkan Oky terpisah karena kami memang beda kelas. Tidak perlu berebut kursi karena harus duduk sesuai dengan kursi yang tertera nama masing-masing.

Aku mendapatkan baris ketiga dari depan, di sampingku ternyata kursi untuk Marsa tapi dia tidak ikut. Ketika bus mulai melaju aku memejamkan mata sedangkan yang lain bernyanyi. Tanpa terasa aku tertidur, entah berapa lama sampai akhirnya aku terjaga karena baru saja bermimpi.

Dahiku berkeringat padahal pendingin udara di bus cukup baik.

“Tadi itu mimpi atau apa? Kenapa terasa nyata,” gumamku. Tanganku membuka resleting tas untuk mengeluarkan botol air mineral sedangkan pikiranku masih mengingat mimpi yang baru saja aku alami. Aku melihat banyak sosok bukan manusia atau bisa dikatakan arwah yang berdiri di sepanjang jalan di mana bus-bus melewatinya.

“Semoga hanya bunga tidur bukan pertanda apapun,” gumamku lagi lalu membuka segel botol air dan mengarahkan ke depan mulutku.

Tiba-tiba ....

Brak …. Brakk … prangg.

Bus yang aku naiki menghantam sesuatu membuat yang sedang berdiri terpental. Aku sendiri tidak sadar terbentur apa, yang jelas rasanya pening dan berisik. Terdengar teriakan teman-temanku bukan hanya di dalam bus ini tapi bus lain juga, serta suara klakson dan teriakan orang. 

Terpopuler

Comments

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

ada apa

2024-05-06

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

setanya ikut istighfar

2024-05-06

0

Ali B.U

Ali B.U

next

2024-03-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!