“Arka, mau langsung pulang?” Marsa menghampiriku, sedangkan aku menatap keliling koridor kelas mencari keberadaan Davina.
“Nggak, aku ada perlu dengan Papa,” jawabku sedangkan pandanganku masih mencari keberadaan Davina.
“Kamu cari siapa?” tanya Marsa ikut menatap keliling kami.
“Davina.”
Marsa menoleh dan mengernyitkan dahinya.
“Davina,” panggilku melihat sosok Davina keluar dari salah satu kelas.
“Dia ada di sini?” Marsa bertanya lagi.
“Iya,” jawabku. “Ayo, Papa sudah tunggu aku,” ajakku pada Davina.
Walaupun tanpa menatapnya, aku tahu Marsa menatap kepergianku. Dia masih saja tidak percaya kalau Davina benar ada dan hanya aku yang bisa melihatnya.
Akhirnya aku sampai di kantor Papa, lebih tepatnya perusahaan milik Kakek yang sebenarnya diwariskan untuk Mama tapi Mama menyerahkan kegiatan perusahaan pada Papa dan Om Kaivan.
“Silahkan tunggu dulu, Pak Aldo sedang ada tamu,” ujar seorang wanita yang mungkin saja sekretaris Papa.
Aku dipersilahkan menunggu di ruang tamu dengan sofa yang begitu nyaman. Davina ikut duduk di sampingku. PIntu ruangan Papa terbuka dan keluarkan seorang pria paruh baya dengan wajah blasteran dengan raut wajah sendu.
“Dia siapa, kenapa wajahnya seperti tidak asing,” tutur Davina yang masih memandang pria itu.
“Kamu kenal?” tanyaku lirih.
“Entahlah, hanya saja … rasanya aku begitu mengenal pria itu.”
Semenjak bertemu dengan Davina, dia tidak ingat apapun dan siapapun tapi kali ini dia seakan mengenal seseorang. Mungkin saja pria itu bisa menjadi petunjuk lain untuk mencari tahu dan membantu Davina.
“Arka.”
Aku menoleh, Papa sudah berdiri di tengah pintu dan melambaikan tangannya agar aku menghampiri.
“Makan dulu, Papa kerjakan ini setelah itu kita pergi.” Papa kembali ke meja kerjanya sedang di meja sofa sudah ada box makanan dengan logo restoran yang cukup ternama. Davina kembali duduk di sampingku, ketika aku menikmati makan siang.
“Pah, pria yang tadi siapa ya?” tanyaku sambil mengunyah nasi yang baru saja aku suapkan ke dalam mulut.
“Tuan Lim.”
“Dia rekan Papa atau ….”
“Yah begitulah, kenapa bertanya? Kamu kenal dengannya?” tanya Papa menghentikan apa yang sedang dia kerjakan dan menoleh ke arahku.
“Tidak, aku hanya ingin tahu saja,” sahutku.
Papa kembali menekuni dokumen di hadapannya.
“Dia rekan perusahaan ini, mungkin sejak zaman kakek yang pegang. Saat ini dia sedang sedih, karena cucunya meninggal dan cucu lainnya koma.”
Deg.
Cucunya meninggal, juga ada yang koma? Apa mungkin memang ada kaitannya dengan Davina. Aku menatap Davina dan dia hanya mengedikkan bahu karena tidak paham dengan arti tatapanku.
...***...
Papa menghentikan mobilnya tepat di halaman sebuah gedung tiga lantai yang terlihat sepi, ada satu unit mobil lain dan dua unit motor sudah terparkir di sana.
“Kita mau apa ke sini?” tanyaku sambil melepas seatbelt.
“Teman Papa usahanya berkembang dan akan pindah ke gedung ini. Sedang direnovasi dan mereka sering mendapatkan gangguan. Rasanya Papa perlu ajak kamu untuk hal seperti ini, untuk melatih kemampuan kamu. Karena kelebihan kamu harus digunakan untuk menolong yang membutuhkan pertolongan.”
“Termasuk Davina,” sahutku.
“Arka ....”
“Aku yakin Davina pun butuh pertolongan dan aku akan buktikan kalau dia bukan imajinasiku.”
Papa menghela nafasnya lalu mengajakku keluar dari mobil.
“Arka, ini tempat apa? Kelihatannya menyeramkan.” Davina mencengkam tanganku, padahal kemungkinan dia hantu tapi dia takut dengan gedung yang menjulang di hadapan kami.
“Jangan berlarian seperti biasa, tetap berada di belakangku.”
Papa sudah melangkah lebih dulu dan memasuki lobby. Bersalaman dengan seorang pria yang mungkin saja sahabatnya yang tadi diceritakan.
“Arka, kemari!”
Aku bergegas menghampiri mereka.
“Ini anak lo? Gantengnya nurun banget dari lo.”
Aku mencium tangan pria itu dan memperkenalkan namaku. Pria bernama Doni itu tersenyum dan menepuk bahuku.
“Lo yakin dia bisa? Anak-anak aja pada kabur, dia masih SMA loh?” tanya Pak Doni pada Papa.
“Yakin, lagian gue udah tua. Bisa jadi kemampuan gue udah tidak sebaik dulu. Arka, ikut dengan Pak Doni. Papa mau ke toilet,” titah Papa.
Aku berjalan bersama Pak Doni yang menerangkan beberapa ruangan yang ada di lantai tersebut, Davina masih mengikuti bahkan dia memegang belakang seragamku karena takut. Aku pun sudah merasakan energi yang tidak baik dan aura negatif saat memasuki ruangan ini.
“Ini gudang dan kita belum bisa membuka ruangan ini. Kuncinya nggak ada, anehnya kita dobrak pun sulit. Pekerja yang sedang merenovasi tinggal di gedung ini juga, sering mendengar suara dari dalam. Kadang seperti kuda meringkik juga derap langkah kuda.”
Tanganku terjulur menyentuh pintu ruangan itu dan ….
Brak.
Aku melangkah mundur, begitu pun Pak Doni. Kami sama-sama terkejut karena pintu seakan di gebrak dari dalam bahkan bunyinya terdengar begitu keras dan bergetar.
“Aku pikir, mereka salah dengar tapi ….”
Brak.
Dalam hati aku melantunkan doa lalu menendang pintu tersebut dan berhasil terbuka. Aroma pengap dan lembab menguar dari dalam ruangan yang terlihat gelap.
“Apa lampunya berfungsi?” tanyaku pada Pak Doni.
“Entahlah, harus dicoba.”
Aku mengernyitkan kening karena Pak Doni masih diam di tempatnya.
“Saya nggak berani masuk,” ujar Pak Doni.
“Kira-kira, saklarnya di sebelah mana?” tanyaku yang merasakan ada hembusan angin dari dalam ruangan.
“Ruangan lain, saklar ada di sebelah kanan pintu.”
Aku memberanikan diri melangkah dan meraba dinding di sebelah kanan dan … aha, ketemu tapi ….
Ceklek ceklek, berkali-kali aku tekan tidak ada perubahan penerangan dalam ruangan itu. Lampunya tidak berfungsi atau memang aliran listrik yang bermasalah.
“Mati pak … aaaaa.” Aku menjerit karena tubuhku ditarik semakin ke dalam ruangan yang memang gelap. Ruangan itu tidak ada jendela atau pintu lain, satu-satunya hanya pintu di mana tadi aku masuk.
“Arka,” teriak Pak Doni dan Davina serempak.
Aku merasakan sakit pada dagu dan pelipis. Entah siapa yang menarik tubuhku dan menghempaskan ke lantai yang jelas sesuatu terasa dingin saat menyentuh tubuhku.
“Aaaa.” Aku melenguuh pelan karena rasa perih.
“Arka.”
Suara papa dan sinar yang berpendar, sepertinya dari ponsel. Papa menghampiriku setelah melarang pak Doni untuk masuk. Lantai di mana aku terhempas terasa berdebu beberapa keramik dalam keadaan retak bahkan ada yang hancur.
“Aku tidak apa-apa,” ujarku sebelum Papa bertanya.
“Kita keluar, auranya tidak baik.”
Belum juga aku beranjak, tiba-tiba pintu tertutup dan terdengar teriakan Pak Doni juga Davina yang tentu saja hanya bisa didengar olehku.
“Pah.”
“Tenang,” ujar Papa.
Namun ….
Brak. Krek.
Ponsel papa seperti ada yang merebut, terjatuh di lantai dan terdengar suara barang terinjak dan pecah. Ruangan itu kembali gelap, aku meraba dan memegang tangan Papa yang berusaha membantuku berdiri.
“Jangan ganggu kami,” ujar Papa.
“Arrrrr, kalian yang datang menggangguuuuu.” Suara itu terdengar begitu berat dan parau. Entah siapa dan bagaimana rupa dari makhluk itu yang jelas suasana terasa begitu mencekam dan gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Rinisa
hantu nya terang2 an....
2024-09-29
0
Zuhril Witanto
serem...
2024-05-06
0
Zuhril Witanto
mungkinkah bapaknya davina
2024-05-06
0