Ketika Cinta Terhalang Adat
Melepas orang yang sangat kita cinta bukan hal yang mudah. Sakit, Sedih, Kecewa, putus asa bercampur menjadi satu menjadi sebuah air mata yang terus jatuh membanjiri pipi. Cengeng? Terserah jika orang lain menganggapku cengeng. Jika tangis ini mampu mengurangi rasa sakitku maka aku akan menangis sepuasnya hingga rasa itu musnah dari hatiku. Tapi kenyataannya tak seperti itu. Hatiku tetap sakit melihat orang yang aku cinta harus bersanding dipelaminan dengan laki-laki lain. Dia tak pernah menghianatiku. Aku sendiri yang melepasnya walau jauh dilubuk hatiku tak pernah ikhlas menerima kenyataan yang ada. Cintaku dan Faizah harus kandas diterpa badai adat yang ada.
Aku dan Faizah sudah berpacaran hampir 4 tahun. Waktu yang cukup lama untuk mengenal satu sama lain. Kami sudah merasa cocok, sehingga memutuskan untuk menikah.
Niatan kami disambut baik oleh kedua pihak keluarga. Berawal dari perkenalanku kepada keluarga Faizah yang disambut dengan tangan terbuka.
"Buk, pak, perkenalkan ini namanya Faiz. Teman dekat Faizah" Kata Faizah pada suatu sore.
Sikap mereka ramah. Membuatku yang tadinya grogi mulai terbawa suasana.
"Ooo namanya Faiz ya. Saya Wijoyo. Bapaknya Faizah?" Kata sosok lelaki berumur yang duduk bersebrangan denganku.
"Teman sekolahnya Faizah ya?" tanyanya kemudian. Mereka selalu menganggap kuliah sama dengan sekolah.
"Nggeh pak. Saya teman kuliahnya Faizah. Tapi sudah lulus duluan. Sekarang saya mengajar di sekolah" Jawabku jujur.
"Ooo sudah jadi guru tho. Hebat kamu nak" Wijoyo terlihat bangga dengan profesi yang aku miliki. Profesi yang dikenal dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Walau pada kenyataannya sekarang guru juga mengharapkan gaji sebagai imbalan atas jasanya.
Setelah perkenalanku dengan keluarga Faizah. Akupun memperkenalkan Faizah kepada keluargaku. Awalnya Faizah menolak namun aku tetap membujuknya.
"Mas. Aku gak usah ketemu orang tuamu dulu ya. Aku belum siap. Bapakmu itu tokoh masyarakat lho. Kalau nanti aku di tanya ini itu gimana?" Kata Faizah waktu aku menjemputnya di tempat kosnya.
"Dek. Kita itu mau nikahan bukan melamar pekerjaan. Jadi gak usah khawatir. Palingan bapak tanyanya adek mau gak nerima semua kekurangan mas. Siap gak di ajak hidup susah sebagai istrinya guru honorer yang gajinya gak seberapa. Gak jauh dari komitmen kita." Rayuku padanya.
"Ntar mas gak bakal jauh-jauh dari adek pokoknya. Janji" Aku mengacungkan dua jariku membentuk huruf V.
Pertemuanku dengan keluarga Faizah sukses dan mendapat sambutan hangat. Begitu juga sebaliknya. Ibuku yang hanya seorang ibu rumah tangga yang nyambi jualan di pasar sungguh bangga akan mendapatkan menantu Faizah. Gadis lugu yang sebentar lagi menyandang status sarjana perbangkan syariah itu.
Keluargaku begitu menyukai Faizah. Walaupun ia calon sarjana namun penampilannya sederhana. Orangnya ramah dan sangat menghormati orang tua. Aku yakin cinta kita akan segera berlabuh pada sebuah pelaminan.
Namun ternyata anganku hanya sebuah mimpi. Kisah cinta yang awalnya mendapat restu dari kedua keluarga berubah menjadi sebuah hubungan yang rumit. Sekarang cintaku terhalang restu karena sebuah adat yang sangat tak masuk akal. Aku tak bisa menikah dengan Faizah hanya karna itungan weton yang katanya tidak jodoh.
Ingin rasanya aku membantah semua hitungan itu. Bukankah jodoh itu ditangan Tuhan? Apa kuasa kita sebagai manusia sampai berani menyimpulkan kalau Faizah bukan jodohku. Ingin rasanya aku pergi berlari sejauh mungkin bersama Faizah. Namun gadis yang ku cinta itu takut jika membuat orang tuanya murka. Begitu penurutnya dia sampai hal yang tak masuk akal seperti itu pun harus ia turuti hanya demi menjaga hati orang tuanya.
...****************...
Hari ini adalah hari pernikahannya. Aku mantapkan diri untuk datang menemuinya sebelum ia sah dimiliki orang lain. Aku pandang wajahnya yang ayu. Pipinya yang merona walau tanpa polesan blush on, hidungnya yang mancung, matanya yang kecoklatan, giginya gingsul, membuat senyumnya begitu manis dimataku.
Semua yang ada pada dirinya sungguh indah. Namun semua itu tak akan pernah aku miliki. Aku pandangi wajah kekasihku yang tertunduk diruang tamu itu. Semua akan ku rekam di ingatanku sebagai bekal untuk menjalani sisa hidupku nanti.
Aku tahu ia akan menikah dan dimiliki orang lain. Namun tak pernah terbesit niatan dihatiku untuk melakukan hal yang sama dengannya. Aku akan menjadi seperti Qais dalam kisah cinta Laila Majnun yang memilih melajang seumur hidup demi menjaga cinta yang ada.
"Assalamualaikum buk pak" Sapaku pada kedua orang tua Faizah yang duduk diteras.
"Wa'alaikumsalam.. Nak Faiz.. Terima kasih ya sudah mau datang ke pernikahan Faizah dan Habib. Aku kira setelah semua kejadian yang menimpa kalian nak Faiz gak mau dateng"
Ibu Faizah yang bernama Fatimah tersenyum ramah kepadaku. Aku tetap tersenyum dihadapan mereka walau rasa sakit ini terasa begitu menyiksa. Jika boleh aku marah maka aku akan memarahi kedua orang tua Faizah yang mempercayai hal-hal mistis seperti itu. Aku kecewa namun tetap bertahan dengan senyum palsu.
"Iya buk. Saya memang tidak bisa menikahi Faizah, tapi bukan berarti hubungan kekeluargaan kita rusak. Semoga kita tetap bisa saling menjaga silaturrahim kita. Dibuat seduluran saja"
Pada dasarnya yang kuinginkan bukan silaturrahmi seperti ini. Tapi aku menginginkan hubungan keluarga yang sebenarnya. Aku tetap bermimpi ada keajaiban yang bisa menyatukanku dengan Faizah lagi. Entah kapan. Yang pasti aku akan tetap menunggu sampai masa itu datang.
"Monggo nak Faiz, silahkan masuk. Mumpung masih pagi belum ada tamu. Kita bisa ngobrol-ngobrol dulu didalam. Itu Faizah di ruang tamu."
Orang tua Faizah mempersilahkanku masuk. Mereka mengikutiku namun tiba-tiba dari luar ada yang memanggil. Mengatakan bahwa ada tamu datang. Akhirnya mau tak mau aku masuk ke rumah itu sendiri.
Aku masuk menemui kekasih hatiku yang hanya menunduk mengusap air mata yang terus meleleh berjatuhan itu.
"Calon pengantin kok cengeng. Jangan nangis ah. Nanti matanya bengkak lho. Gak cantik kalau dirias" aku berkata sambil menahan tangis yang mau pecah. Aku lelaki. Aku harus kuat dihadapan Faizah dan keluarganya. Yang ku ajak bicara tak merespon. Ia tetap duduk tertunduk tanpa mau menoleh ke arahku.
"Dek.. Jangan nangis lagi ya. Mas ikhlas kok adek nikah sama Habib. Gusti Allah ngasih cobaan kita kayak gini itu artinya kita disuruh semakin dekat denganNya. Mas yakin Habib itu orang baik. Dia akan sangat menyayangimu lebih dari sayangnya mas ke kamu. Kenangan kita yang hampir 4 tahun bersama segeralah kubur dalam-dalam. Tutuplah lembaran kisah cintamu dengan mas. Bukalah lembaran baru bersama suamimu nanti. Aku yakin akan ada hal yang lebih indah dari kisah kita. Ma'af telah membuang waktumu selama 4 tahun hanya untuk sebuah mimpi semu."
Semua kata-kataku tak ada yang dijawab oleh Faizah. Hanya tangisan yang aku dengar. Membuat hatiku semakin pilu.
"Jadilah istri yang baik ya dek. Lakukanlah segala kewajibanmu. Berikan semua hak suamimu. Jika kamu belum bisa mencintainya maka ingatlah semua kebaikannya. Insyaallah cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu."
Aku tahu Faizah masih begitu mencintaiku. Ia mau menikah dengan Habib karna desakan orang tuanya. Ia merasa kasihan kepada kedua orang tuanya yang selalu digunjing tetanggga dan mengatakan bahwa Faizah perawan tua.
Bagi penduduk desa yang Faizah tinggali, umur 25 tahun belum menikah itu diibaratkan kadaluwarsa. Karena umumnya di desa tersebut perempuan lulus SMA sudah menikah dan ada juga yang sudah punya anak. Pantas jika ia sering dikatai tak laku.
Aku masih ingin berlama-lama bersama Faizah. Namun terus melihatnya menangis membuat hatiku semakin terluka. Aku sudah tak kuat lagi melihat orang yang paling aku cintai itu menangis. Jika bisa aku akan membawanya dalam dekapanku. Kan ku biarkan ia menangis didadaku. Kan ku usap punggungnya penuh sayang. Kan ku kecup keningnya agar perasaanya tenang. Tapi semua itu tak mungkin ku lakukan dengan statusnya yang sekarang. Semakin lama berada disisihnya aku semakin terluka. Aku takut tak bisa menahan diri lagi. Aku segera berdiri.
Ku ulurkan sebuah kado yang berisi Al-Qur'an dan jam tangan sebagai hadiah terakhirku.
"Ini buat adek. Semoga bisa menemani hari-hari adek. Jangan menangis lagi ya. Jika adek sedih mas juga sedih."
Faizah menerima kado dariku tanpa mau menatap mataku. Aku tahu ada sesuatu yang berusaha ia tutupi dariku. 4 tahun bersamanya membuatku cukup faham jika ia tak mau menatapku pasti ia sedang tidak baik-baik saja. Entah sedang marah, sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu dariku.
Andai aku bisa merubah takdir. Maka aku akan memilih dilahirkan dengan weton yang berbeda agar bisa menyatu dengan Faizah. Namun itu tak akan pernah terjadi. Aku tetaplah aku. Laki-laki yang lahir di hari sabtu pahing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments