pantai kenangan 2

Rasa sesak di dadaku sedikit berkurang setelah ku pasrahkan semua pada pemiliknya. Air mataku telah mengering karna habis ku hamburkan. Setelahnya aku berjalan menusuri pantai dan berhenti di bawah pohon rindang.

Aku hanya duduk termenung di tepi pantai. Tak tahu dengan apa yang ada di otakku. Namun ternyata hati dan tubuh ini tak singkron. Hatiku sakit tak mau menerima apapun, namun entah mengapa tubuh ini masih butuh nutrisi. Perut keroncongan tanda bahwa belum ada makanan yang masuk lambung. Ku langkahkan kaki menuju kedai terdekat. Mencari makanan berkuah yang bisa ku telan tanpa harus mengunyah.

Pandanganku tertuju pada sebuah kedai bakso yang berjajar dengan penjual es kelapa muda dan rujak buah. Ku langkahkan kaki yang berasa sudah tak menginjak bumi lagi.

"Pak.. Baksonya 1 ya" teriakku pada penjual bakso ketika sudah sampai.

"Pakai horog-horog gak mas?" Tanya laki-laki berkaos pendek itu kemudian.

Ada sebuah sesak yang datang lagi menyeruak di hati ini. Makanan khas Jepara yang bernama horog-horog itu pernah menjadi teman sarapan Faizah. Ya, horog-horog pecel dengan bumbu kuah kacang adalah menu sarapannya hampir tiap pagi. Ia selalu bercerita bahwa ada nenek tua yang selalu mampir ke kost nya menjajakan menu sarapan khas Jepara itu dengan harga yang ramah di kantong. Awalnya ia kurang suka dengan horog-horog yang di padukan pecel bunga turi dan latoh itu. Namun karna kasihan ia selalu membelinya dengan alasan menolong nenek itu. Begitu mulianya hati Faizah yang membuatku semakin meradang ingin segera memilikinya.

"Mas.. Baksonya pakai horog-horog gak?" pertanyaan itu lagi membuatku tersadar dari lamunan.

"Gak usah pak. Bakso kosongan saja" jawabku kemudian.

Aku mencari tempat duduk di area terbuka yang menghadap langsung ke hamparan laut. Ku nikmati hembusan angin yang terasa seperti mengejekku yang harus mengalah dengan takdir. Semakin sore warna jingga di langit menyelimuti hamparan laut yang luas itu. Indah.. Namun aku ingin menangisinya juga.

Patah hati membuatku semakin mengingat memori indah bersama Faizah dulu. Jika hari minggu tiba disaat ia tidak pulang ke kampung halaman. Maka ia selalu mengajak ke pantai hingga sore. Menikmati matahari tenggelam ditemani teh hangat dan gorengan. Sederhana, namun mampu membuat hati ini menghangat jika mengingat moment menikmati senja bersama.

Andai tak malu, aku pasti sudah menangis meraung di sini. Meratapi perpisahanku dengan Faizah. Namun aku masih punya kewarasan untuk tak melakukan itu sekarang. Setidaknya sampai tiada lagi mata yang memperhatikanku.

"Ini mas baksonya" kata penjual bakso itu dengan ramah. Membuatku mau tak mau harus membalas senyumnya walau hati ini menangis.

"ya pak. Terima kasih." jawabku dengan senyum keterpaksaan.

"minumnya apa?" Tanyanya lagi.

"Kopi pahit saja pak. Sekalian air mineral" kataku yang dijawab anggukan.

Penjual bakso itu kembali ke kedainya. Menuang bubuk kopi hitam ke dalam gelas lalu mengisinya dengan air panas. Bau harum khas kopi pun segera menguar ke udara. Membuat hati sedikit tenang saat menghirupnya. Walau rasanya pahit namun tak sepahit kenyataan hidupku yang tak bisa menyatu dengan orang yang paling aku cinta.

Ku tuang saos sambal yang ada dibotol kedalam mangkuk yang ber isi bakso. Ku tambahkan juga kecap dan sambal kedalamnya. Entah berapa sendok aku menambahkan sambal cabai hijau yang sudah di sediakan di meja itu. Rasanya begitu pedas. Menimbulkan sensasi panas di mulut. Namun semua tak seberapa di bandingkan hatiku yang panas melihat Faizah bersanding dengan pria lain.

Tanpa sadar aku mengiris butiran bakso berbentuk bola itu menjadi bagian-bagian kecil. Biasanya aku akan langsung mengulurkannya ke Faizah yang tersenyum manis sambil memandangku. Namun sekarang bagian kecil itu hanya bisa kutelan sendiri tanpa bisa mengunyahnya. Biarlah tersedak. Justru itu yang aku harapkan. Tersedak hingga kesulitan bernafas dan mati.

Andai Tuhan memperbolehkan. Maka aku akan bernegosiasi kepadanya. Akan ku tukar sisa nyawa ini dengan kebesamaan bersama Faizah. Tapi kenyataannya tak akan pernah bisa. Jika pun bisa aku pasti sudah melakukannya sejak lama.

Bakso di mangkuk masih banyak. Namun suapanku terhenti ketika ada anak kecil menadahkan tangan meminta belas kasihan.

"paring paring pak" tangannya mengadah dibarengi wajah yang memelas. Sungguh aku tahu bahwa mereka tak sepenuhnya layak di bantu. Sebab entah bagaimana, anak ini bersama ke dua orang tuanya sama-sama mengemis di lingkungan pantai ini. Menjadikan pekerjaan meminta minta sebagai mata pencaharian dengan obset yang lumayan tanpa harus keluar modal.

Jika dulu aku selalu memperingatkan Faizah untuk tak memberinya. Namun kini justru akulah yang memberikan selembar uang kepada anak kecil itu.

"Gak usah di kasih dek. Kalau ada 1 yang kamu kasih ntar pasti ada yang nyusul datang lagi. Mereka itu kayak oknum yang kerja sama" Kataku memperingatkan.

"Gak apa-apa mas. Kalau ada ya dikasih. Kalau gak ada ya bilang maaf.. Simpel aja sih" Katanya dulu.

"Sekalipun nanti hasilnya dibuat gak bener, tapi kalau niat kita baik. Buat sodaqoh. Ya baliknya baik ke kita mas. Kalau gak kita ya anak kita. Ibarat menanam pasti akan panen. Entah itu lama atau sebentar." Faizah berkata sambil sibuk menutup kembali tasnya setelah sebelumnya mengambil uang dari dompetnya.

"Ya ya.. Makin sayang aja deh jadinya.. Gemes pengen cubit hidungnya deh" Kataku gemas sambil menatapnya penuh sayang.

"Gak usah pegang pegang. Bukan mahrom" Ia mengerucutkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya dariku.

"Dek.. Dek.. Kamu itu ya.. Kita udah sama-sama dewasa. Masak ya pacaran pegang-pegang gak boleh. Lihat itu anak SMA aja pacarannya mojok mojok gitu" aku menunjuk anak yang masih memakai seragam sekolah yang duduk berdekatan. Entah apa yang mereka lakukan aku tak tahu.

"Kita kan punya prinsip sendiri sendiri mas. Kalau anak SMA sudah mau pacaran pakai mojok segala ya monggo. Itu hak dia. Toh yang rugi juga mereka sendiri kan. Paling ujung-ujungnya ngerepotin orang tua. Tapi khusus untuk kita, aku pengennya pacaran yang sehat. Gak ada istilah mojok atau apalah itu. Kan tujuan kita untuk saling menenal satu sama lain. Kalau dibilang ta'aruf kita itu gak termasuk kedalamnya. Karna kita sering ketemu berdua tanpa ditemani wali. Tapi biarpun dibilang pacaran aku gak mau ya kita aneh-aneh. Yang ada entar kebablasan lagi" katanya merajuk.

"Kalau kebablasan malah enak c dek.. Langsung di nikahkan." kataku bergurau.

"Ngawur.. Kalau udah gak tahan itu puasa mas. Dan gak usah minta ketemu aku. Ntar bisa bisa kamu perkosa aku malahan" Begitulah dia. Tak bisa diajak bicara nglantur.

Entah mengapa lagi dan lagi aku terpesona dan jatuh cinta dengan semua yang ada pada dirinya. Tingkahnya yang sangat polos walau sudah mulai beranjak dewasa. Hatinya yang lembut selalu mengasihi orang-orang di sekitarnya. Ketulusannya. Semua yang ada pada dirinya sungguh aku suka.

Melihat ketulusan hatinya aku yakin ia akan jadi istri yang baik untukku. Tekatku waktu itu ingin menjadikannya istriku. Menjadikannya ibu dari anak-anakku. Menjadikan dia bidadari surgaku. Tapi entah mengapa sampai detik ini Tuhan belum mewujudkan mimpiku. Namun aku tak mau menyerah. Selama aku masih hidup. Selama dia masih hidup. Kesempatan untuk menyatu lagi itu masih ada. Bukan mau merebutnya dari suaminya. Namun aku akan menunggu. Menunggu Tuhan berbaik hati kepadaku. Menggubah takdir yang katanya dia bukan jodohku menjadi dia satu satunya takdir yang akan menemaniku di dunia dan akhiratku.

Dalam do'aku tak pernah sekalipun aku melupakan namanya. Dalam sujudku di tengah malam aku selalu sebut namanya. Mengharap ia menjadi takdirku. Berharap Tuhan mendengar do'aku yang ku bisikkan ke bumi. Aku yakin bumi tak pernah menghianatiku untuk melangitkan do'aku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!