Bekerja menjadi seorang guru memang tak memiliki penghasilan yang banyak. Bahkan tergolong rendah. Namun ditempatku tinggal, mereka begitu menghormati seorang guru. Tak perduli dengan umurku yang masih muda dan belum berrumah tangga. Mereka selalu memanggilku dengan sebutan "Pak". Saat aku katakan keberatanku tentang sebutan "pak guru" mereka dengan tetap tersenyum mengatakan bahwa hanya itu kata yang tepat untuk orang sudah mengajar anak mereka.
Tiap hari raya mereka berbondong bondong untuk bersilaturrahmi ke rumahku dan guru-guru lainnya. Membuat rumah kami terlihat begitu ramai jika dibandingkan dengan orang lain. Kami begitu bahagia bisa menjamu mereka dengan jajanan andalan berupa sosis, permen dan coklat. Ya, hanya tiga jenis makanan itu yang selalu ludes di mejaku. Membuatku harus menyetoknya banyak banyak. Walau pada dasarnya amplop THR dari sekolah tak pernah cukup untuk membeli semua itu.
Kebahagiaan kami tak cukup sampai di situ. Banyak perlakuan manis yang murid kami dan wali lakukan. Mereka begitu menghormati seorang guru, bahkan setiap wali murid ada yang punya hajat selalu memberikan makanan ke kantor, apalagi ketika hari guru. Buket dengan berbagai macam warna selalu memenuhi meja kerjaku. Begitu pula ketika akhir tahun. Mereka selalu saja memberiku kejutan kejutan yang indah. Aku tak pernah meminta hal itu. Bahkan aku selalu mewanti-wanti mereka agar tak membebani orang tua hanya demi sebuah buket. Namun setiap tahun, lagi dan lagi selalu saja ada murid yang memberikan itu kepadaku.
"Pak Faiz. Boleh minta foto bersama gak?" Pinta seorang murid kepadaku setelah acara pelepasan dan pembagian rapot usai. Ia adalah salah satu murid terpintar dikelas yang aku pegang. Terlihat disalah satu tangannya terdapat sebuah tropi juara kelas sebagai bukti atas prestasi yang ia dapatkan. Sedangkan tangan yang lain memegang buket yang berisi berbagai makanan ringan yang ditata dengan indahnya.
"Boleh. Mau foto dimana?" Tanyaku ramah.
"Di depan dekor yang buat foto itu pak" Ia menunjuk pada sebuah benner perpisahan sekolah yang sudah di sediakan panitia. Dimana disamping kanan dan kirinya terdapat bunga yang tertata rapi. Tempat ini sengaja di sediakan panitia untuk sesi foto jika ada yang menginginkannya. Mengingat maraknya foto yang kemudian di up load ke sosial media. Kami pun berfoto bersama dibantu murid lainnya. Setelahnya ia mengucapkan terima kasih dan memberikan buket yang tadinya untuk foto itu kepadaku.
"Apa ini?" Tanyaku pada muridku itu.
"Ini ucapan terima kasih saya untuk bapak. Terima kasih ya pak sudah membimbing saya sampai saya jadi juara" Mau tak mau aku menerimanya untuk menghargainya.
Sore hari setelah mergotong royong membersihkan sekolah, aku dan teman teman seprofesiku memutuskan untuk pulang. Raga ini begitu lelah sekaligus lega setelah berhasil melaksanakan acara akhir tahun ini dengan sukses. Ku letakkan beberapa buket pemberian muridku kedalam plastik lalu membawanya pulang kerumah.
Ku letakkan buket yang ku bawa diatas meja kerjaku. Sementara ragaku ku jatuhkan diatas kasur. Ingin rasanya aku mengistirahatkan diri, tertidur, dan bermimpi bersama Faizah. Bermanja dengannya. Mengadukan cerita tentang aktifitas yang ku lakukan hari ini. Memberikan semua buket ini untuknya. Masih jelas diingatanku bagaimana ekspresinya ketika aku memberikan buket buket untuknya.
"Mas beli buket kok banyak banget sih. Kan Faizah gak lagi ulang tahun. Ngapain dikasih hadiah sebanyak ini?" Kata Faizah kepadaku waktu pertama kali aku memberikan semua buket dari muridku dulu.
"Itu bukan mas yang beli dek. Itu dari murid-murid mas. Tadi kan ada acara purna siswa di sekolah" Jawabku jujur. Aku tak mau mengada-ada walau untuk membahagiakan hatinya. Aku hanya ingin memberikan semua itu untuknya sebagai bukti bahwa semua yang aku dapat itu miliknya.
"Ih mas gak menghargai orang banget sih. Dikasih orang kok malah dikasih ke Faizah. Harusnya mas simpen dong sebagai kenang-kenangan" Protesnya.
"Mas kasih tau ya dek. Apa yang mas punya itu semua juga milik adek. Jadi jangan pernah bilang kalau mas gak menghargai pemberian orang. Mas terima dan berikan ke adek karena kalau dirumah semua itu bakalan mubazir. Gak kepakai. Tapi kalau mas kasih ke adek bisa dibagi bagi sama temen kost adek. Jadi lebih bermanfaat. Biar yang ngasih juga dapat pahala. Gitu" Jelasku padanya.
"Tapi ngomong ngomong ya mas. Lebih baik mas buat peraturan supaya siswa gak ada yang ngasih beginian deh. Kasian kan yang gak punya uang harus bela belain beli ginian. Kalau yang lain ngasih mesti ia malu kan kalau gak ngasih sendiri" Faizah mulai menyedot minuman rasa coklat yang ada dimeja kafe tempat kami ketemuan. Ia berbicara panjang lebar dan memberi tahuku agar aku juga memberikan hadiah kepada murid muridku. Ia begitu cerewet jika bersamaku ataupun pada teman teman dekatnya. Tapi dengan pria lain di kampus ia selalu jaga jarak dan cuek. Bahkan ketika di ajak bicara ia akan selalu menjawab seperlunya saja. Irit bicara. Sikapnya itu membuatku merasa diistimewakan.
Mengingat semu kenangan bersama Faizah membuat mata ini tak mampu terpejam. Langit langit kamar yang kosong justru menjadi media untukku berimajinasi dengan sosok wanita yang sangat ku cinta. Faizah, apakah engkau merasakan getaran setiap kali ku sebut namamu? Apakah engkau juga masih memendam cinta ini? Apakah engkau juga merindukanku seperti yang ku rasa? Ataukah engkau telah menggeser posisiku dihatimu? Begitu banyak kata yang ingin ku katakan kepadamu.
Faizah, andai Tuhan mewujudkan semua yang kita rencanakan. Pasti sekarang kita begitu bahagia. Menyatukan cinta kita dalam ikatan suci pernikahan. Membina rumah tangga bersama dan memiliki anak kembar seperti yang selalu kau inginkan. Selalu bersama sampai maut memisahkan. Namun nyatanya semua yang sudah kita rencanakan tak ada yang terwujud. Aku hanya bisa memilikimu seutuhnya di alam mimpi saja. Tanpa bisa menyentuh ragamu. Terkadang aku berfikir ingin tetap terjaga selamanya agar tetap bahagia bersamamu.
Faizah, jika kau tahu. Aku begitu tersiksa hidup tanpamu. Rasa-rasanya aku seperti tengkorak hidup yang tak memiliki semangat. Setiap kali aku sendiri, aku tak bisa membohongi perasaan ini. Bahwa aku begitu kehilanganmu. Aku merindukanmu bidadariku.
...****************...
Dulu dalam benakku pernah terlintas sebuah prasangka buruk terhadap keluarga Faizah. Apakah hitungan weton yang menjadi alasan orang tuanya itu hanyalah sebuah akal-akalan mereka yang menolakku karena hidupku yang belum mapan. Memang ku akui aku pernah merasa minder bersanding dengan Faizah karena masalah gaji. Gajinya yang bekerja di sebuah perbangkan syariah milik swasta saja lebih besar dariku. Apalagi kalau seandainya dia pindah ke bank milik negara. Pasti nanti akan membuat orang lain memandang sebelah mata posisiku sebagai kepala keluarga. Namun prasangka itu aku tepis jauh-jauh ketika tahu bahwa Habib yang menjadi suami Faizah sekarang juga memiliki profesi yang sama denganku.
Dulu setiap kali bersama dengan Faizah aku sering membahas tentang keadaan perekonomianku. Aku tak ingin terjadi masalah di kemudian hari setelah kita menikah hanya karena ketidak terbukaan. Dengan keluarga Faizahpun aku berusaha terbuka. Dan alhamdulillah mereka tak pernah keberatan menerimaku yang hanya seorang guru. Tapi ternyata cobaan hubunganku dengan Faizah yang terberat sampai mampu memporah porandakan hidup kita bukan karena faktor ekonomi. Tapi karena sebuah kepercayaan masyarakat sekitar yang masih mereka pegang erat sampai sekarang. Tradisi menghitung neptu sebelum melakukan acara pernikahan itu membuat semua yang sudah kita rencanakan menjadi berantakan. Membuat cinta kita harus terpisahkan. ya Tuhan yang maha membolak balikkan hati kembalikanlah cinta Faizah kepadaku. Karna nyatanya hingga detik ini hatiku tetap mencintainya. Bahkan cintaku padanya masih tetap sama seperti waktu aku masih bersamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments