Malam ini aku putuskan untuk menginap dipondok saja. Rasanya fikiranku carut marut mendengar semua ngendikan romo yai. Ternyata aku memang sehina itu. Fikiranku sudah teracuni oleh rasa cintaku pada Faizah. Sehingga hampir semua yang aku lakukan itu bukan murni karena Allah tapi karena Faizah.
"Daripada hatimu dipenuhi nafsu terus. Menikah saja dengan salah satu santri disini. Dia sudah lama ngabdi. Bapak ibunya sudah tidak ada. Insyaalah dia gadis sholihah" kata yai.
"Ngapunten yai" Spontan aku menolak tawaran romo yai tanpa fikir panjang. Aku tak mau menyakiti hati perempuan hanya karna hatiku yang tak bisa melupakan Faizah. Jika aku menikah dengannya tapi masih mencintai Faizah itu artinya aku telah menghianati ikatan suci pernikahan.
"Kalau kamu masih belum mau menikah itu artinya kamu masih berharap dengan seseorang yang kamu suka." Aku diam saja. Tak berani membantah apa yang diucapkan yai. Karena dalam pesantren memang tak ada istilahnya adu argumen kecuali ketika batsul masail. Dan apa yang diucapkan yai itu memang benar adanya. Aku masih mengharap Faizah.
"Orang menjalani hidup itu jangan mengejar apa yang kamu suka. Tapi hiduplah seperti apa yang Allah suka. Kalau kamu hidup berdasarkan apa yang kamu suka, maka hatimu akan sedih dan kecewa ketika tak bisa mendapatkan tujuanmu. Atau harapanmu tak sesuai impian. Tetapi kalau hidup sesuai apa yang Allah suka maka hatimu akan legowo ketika yang kamu inginkan tidak dikehendaki gusti Allah."
Seketika itu rasanya aku ingin menangis. Aku sadar selama hidup ini aku selalu menginginkan apa yang aku suka. Apa lagi dalam mencari jodoh. Aku hanya menginginkan Faizah. Perempuan yang aku suka. Bukan menerima apa yang telah Allah tetapkan. Aku yakin hal itulah yang membuatku tak bisa move on sampai sekarang dan justru memikirkan Faizah yang sudah proses perpisahan. Padahal jika mau, aku bisa bersama orang lain yang lebih dari Faizah. Di sekolah saja aku sering di jodohkan dengan Eny teman seprofesiku. Bukan sombong tapi terlihat dari gelagatnya ia meminginkanku. Hanya saja tak pernah aku respon. Bahkan barusan romo yai juga menawarkan santrinya untuk aku nikahi. Tapi ternyata hati ini masih terikat oleh sosok Faizah yang nyatanya sulit untuk ku gapai.
...****************...
Aku ikut berbaur dengan para santri melakukan jama'ah sholat begitu adzan berkumandang. Mereka berbondong bondong mengayunkan langkahnya ke masjid yang ada di lingkungan pesantren. Sarung serta picis masih menjadi busana khas mereka. Walau terlihat ada yang memaksakan dengan wajah yang masih mengantuk, namun mereka tetap melaksanakan kewajibannya.
Setiap santri yang datang langsung menuju tempat wudhu yang telah disediakan. Muka mereka yang tadinya mengantuk kini segar tersiram air. Setelahnya mereka terlihat melakukan sholat sunnah qobliyah terlebih dahulu sebelum melaksanakan sholat fardu. Ibadah yang jarang aku temukan dilingkungan anak muda zaman sekarang.
Aku juga melakukan hal yang sama. Hal yang dulu selalu aku lakukan ketika masih dipondok. Namun ketika sudah muqim rasanya sholat sunnah begitu berat. Mungkin karena orang-orang di lingkungan sekitarku tak banyak yang melakukan itu. Terlebih pemuda dilingkunganku. Mereka ke masjid dengan sarung yang diselempangkan di pundak. Tak ketinggalan sebatang rokok yang selalu mereka hisap hingga imam memulai rakaatnya. Aku tak menyalahkan mereka, karena memang kenyataannya aku sendiri yang malas melakukan sholat sunnah.
Walau tempat tinggalku bukanlah kota besar namun kenakalan remaja juga sangat banyak. Malam hari tak ada lagi tartilan Al-Qur'an di masjid kecuali waktu bulan ramadhan. Itupun bukan para remaja yang melakukannya. Melainkan bapak-bapak atau ibu-ibu yang sudah setengah tua. Sangat berbeda dengan suasana pesantren.
Di pesantren malam hari ramai dengan para santri yang mengaji kitab. Mereka bersama sama membaca nadhom sesuai mata pelajaran kitabnya. Setelah mereka mengaji di kelas. Merekapun segera melanjutkan mengaji mandiri. Mereka berlomba-lomba membaca Al-Qur'an dengan tartil. Mereka saling bersahutan belajar agama. Membuat hati menjadi tentram.
Aku sungguh bangga pernah jadi bagian dari mereka. Walau hanya tidur di jubin tanpa alas rasanya tidurnya terasa begitu nyenyak. Tak ada beban pikiran yang begitu berat. Walau nyatanya sering puasa karna belum mendapat kiriman uang saku dari orang tua.
...****************...
Pagi hari setelah jama'ah subuh dan mendengarkan pengajian dari romo yai aku memutuskan untuk pulang kerumah. Tak lupa sebelumnya aku pamit dulu kepada orang yang pernah menjadi orang tua kedua bagiku.
"Yai, saya mau pamit dulu. Minta do'anya nggeh" Pamitku.
"Walau kamu sudah gak dipondok masih tetap saya do'akan tiap waktu. Pesenku, jangan sampai kamu kesini lagi bawa masalah yang sama. Kamu itu saya izinkan boyong karena ngajimu sudah bagus. Tinggal mengamalkannya saja di masyarakat. Mosok santri lagi putus cinta aja langsung jadi mayat hidup. Kayak gak punya Tuhan saja" Kata romo yai seolah mencibirku yang seperti tak punya tujuan hidup lagi setelah kehilangan Faizah. Aku tak menjawab. Hanya tertunduk kemudian maju mendekat ke arah romo yai menggunakan lututku. Setelahnya ku cium punggung tangan yang kulitnya mulai keriput itu. Setelahnya aku meninggalkan pesantren dengan hati yang semakin tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments