NovelToon NovelToon

Ketika Cinta Terhalang Adat

Ku lepas dengan Ikhlas

Melepas orang yang sangat kita cinta bukan hal yang mudah. Sakit, Sedih, Kecewa, putus asa bercampur menjadi satu menjadi sebuah air mata yang terus jatuh membanjiri pipi. Cengeng? Terserah jika orang lain menganggapku cengeng. Jika tangis ini mampu mengurangi rasa sakitku maka aku akan menangis sepuasnya hingga rasa itu musnah dari hatiku. Tapi kenyataannya tak seperti itu. Hatiku tetap sakit melihat orang yang aku cinta harus bersanding dipelaminan dengan laki-laki lain. Dia tak pernah menghianatiku. Aku sendiri yang melepasnya walau jauh dilubuk hatiku tak pernah ikhlas menerima kenyataan yang ada. Cintaku dan Faizah harus kandas diterpa badai adat yang ada.

Aku dan Faizah sudah berpacaran hampir 4 tahun. Waktu yang cukup lama untuk mengenal satu sama lain. Kami sudah merasa cocok, sehingga memutuskan untuk menikah.

Niatan kami disambut baik oleh kedua pihak keluarga. Berawal dari perkenalanku kepada keluarga Faizah yang disambut dengan tangan terbuka.

"Buk, pak, perkenalkan ini namanya Faiz. Teman dekat Faizah" Kata Faizah pada suatu sore.

Sikap mereka ramah. Membuatku yang tadinya grogi mulai terbawa suasana.

"Ooo namanya Faiz ya. Saya Wijoyo. Bapaknya Faizah?" Kata sosok lelaki berumur yang duduk bersebrangan denganku.

"Teman sekolahnya Faizah ya?" tanyanya kemudian. Mereka selalu menganggap kuliah sama dengan sekolah.

"Nggeh pak. Saya teman kuliahnya Faizah. Tapi sudah lulus duluan. Sekarang saya mengajar di sekolah" Jawabku jujur.

"Ooo sudah jadi guru tho. Hebat kamu nak" Wijoyo terlihat bangga dengan profesi yang aku miliki. Profesi yang dikenal dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Walau pada kenyataannya sekarang guru juga mengharapkan gaji sebagai imbalan atas jasanya.

Setelah perkenalanku dengan keluarga Faizah. Akupun memperkenalkan Faizah kepada keluargaku. Awalnya Faizah menolak namun aku tetap membujuknya.

"Mas. Aku gak usah ketemu orang tuamu dulu ya. Aku belum siap. Bapakmu itu tokoh masyarakat lho. Kalau nanti aku di tanya ini itu gimana?" Kata Faizah waktu aku menjemputnya di tempat kosnya.

"Dek. Kita itu mau nikahan bukan melamar pekerjaan. Jadi gak usah khawatir. Palingan bapak tanyanya adek mau gak nerima semua kekurangan mas. Siap gak di ajak hidup susah sebagai istrinya guru honorer yang gajinya gak seberapa. Gak jauh dari komitmen kita." Rayuku padanya.

"Ntar mas gak bakal jauh-jauh dari adek pokoknya. Janji" Aku mengacungkan dua jariku membentuk huruf V.

Pertemuanku dengan keluarga Faizah sukses dan mendapat sambutan hangat. Begitu juga sebaliknya. Ibuku yang hanya seorang ibu rumah tangga yang nyambi jualan di pasar sungguh bangga akan mendapatkan menantu Faizah. Gadis lugu yang sebentar lagi menyandang status sarjana perbangkan syariah itu.

Keluargaku begitu menyukai Faizah. Walaupun ia calon sarjana namun penampilannya sederhana. Orangnya ramah dan sangat menghormati orang tua. Aku yakin cinta kita akan segera berlabuh pada sebuah pelaminan.

Namun ternyata anganku hanya sebuah mimpi. Kisah cinta yang awalnya mendapat restu dari kedua keluarga berubah menjadi sebuah hubungan yang rumit. Sekarang cintaku terhalang restu karena sebuah adat yang sangat tak masuk akal. Aku tak bisa menikah dengan Faizah hanya karna itungan weton yang katanya tidak jodoh.

Ingin rasanya aku membantah semua hitungan itu. Bukankah jodoh itu ditangan Tuhan? Apa kuasa kita sebagai manusia sampai berani menyimpulkan kalau Faizah bukan jodohku. Ingin rasanya aku pergi berlari sejauh mungkin bersama Faizah. Namun gadis yang ku cinta itu takut jika membuat orang tuanya murka. Begitu penurutnya dia sampai hal yang tak masuk akal seperti itu pun harus ia turuti hanya demi menjaga hati orang tuanya.

...****************...

Hari ini adalah hari pernikahannya. Aku mantapkan diri untuk datang menemuinya sebelum ia sah dimiliki orang lain. Aku pandang wajahnya yang ayu. Pipinya yang merona walau tanpa polesan blush on, hidungnya yang mancung, matanya yang kecoklatan, giginya gingsul, membuat senyumnya begitu manis dimataku.

Semua yang ada pada dirinya sungguh indah. Namun semua itu tak akan pernah aku miliki. Aku pandangi wajah kekasihku yang tertunduk diruang tamu itu. Semua akan ku rekam di ingatanku sebagai bekal untuk menjalani sisa hidupku nanti.

Aku tahu ia akan menikah dan dimiliki orang lain. Namun tak pernah terbesit niatan dihatiku untuk melakukan hal yang sama dengannya. Aku akan menjadi seperti Qais dalam kisah cinta Laila Majnun yang memilih melajang seumur hidup demi menjaga cinta yang ada.

"Assalamualaikum buk pak" Sapaku pada kedua orang tua Faizah yang duduk diteras.

"Wa'alaikumsalam.. Nak Faiz.. Terima kasih ya sudah mau datang ke pernikahan Faizah dan Habib. Aku kira setelah semua kejadian yang menimpa kalian nak Faiz gak mau dateng"

Ibu Faizah yang bernama Fatimah tersenyum ramah kepadaku. Aku tetap tersenyum dihadapan mereka walau rasa sakit ini terasa begitu menyiksa. Jika boleh aku marah maka aku akan memarahi kedua orang tua Faizah yang mempercayai hal-hal mistis seperti itu. Aku kecewa namun tetap bertahan dengan senyum palsu.

"Iya buk. Saya memang tidak bisa menikahi Faizah, tapi bukan berarti hubungan kekeluargaan kita rusak. Semoga kita tetap bisa saling menjaga silaturrahim kita. Dibuat seduluran saja"

Pada dasarnya yang kuinginkan bukan silaturrahmi seperti ini. Tapi aku menginginkan hubungan keluarga yang sebenarnya. Aku tetap bermimpi ada keajaiban yang bisa menyatukanku dengan Faizah lagi. Entah kapan. Yang pasti aku akan tetap menunggu sampai masa itu datang.

"Monggo nak Faiz, silahkan masuk. Mumpung masih pagi belum ada tamu. Kita bisa ngobrol-ngobrol dulu didalam. Itu Faizah di ruang tamu."

Orang tua Faizah mempersilahkanku masuk. Mereka mengikutiku namun tiba-tiba dari luar ada yang memanggil. Mengatakan bahwa ada tamu datang. Akhirnya mau tak mau aku masuk ke rumah itu sendiri.

Aku masuk menemui kekasih hatiku yang hanya menunduk mengusap air mata yang terus meleleh berjatuhan itu.

"Calon pengantin kok cengeng. Jangan nangis ah. Nanti matanya bengkak lho. Gak cantik kalau dirias" aku berkata sambil menahan tangis yang mau pecah. Aku lelaki. Aku harus kuat dihadapan Faizah dan keluarganya. Yang ku ajak bicara tak merespon. Ia tetap duduk tertunduk tanpa mau menoleh ke arahku.

"Dek.. Jangan nangis lagi ya. Mas ikhlas kok adek nikah sama Habib. Gusti Allah ngasih cobaan kita kayak gini itu artinya kita disuruh semakin dekat denganNya. Mas yakin Habib itu orang baik. Dia akan sangat menyayangimu lebih dari sayangnya mas ke kamu. Kenangan kita yang hampir 4 tahun bersama segeralah kubur dalam-dalam. Tutuplah lembaran kisah cintamu dengan mas. Bukalah lembaran baru bersama suamimu nanti. Aku yakin akan ada hal yang lebih indah dari kisah kita. Ma'af telah membuang waktumu selama 4 tahun hanya untuk sebuah mimpi semu."

Semua kata-kataku tak ada yang dijawab oleh Faizah. Hanya tangisan yang aku dengar. Membuat hatiku semakin pilu.

"Jadilah istri yang baik ya dek. Lakukanlah segala kewajibanmu. Berikan semua hak suamimu. Jika kamu belum bisa mencintainya maka ingatlah semua kebaikannya. Insyaallah cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu."

Aku tahu Faizah masih begitu mencintaiku. Ia mau menikah dengan Habib karna desakan orang tuanya. Ia merasa kasihan kepada kedua orang tuanya yang selalu digunjing tetanggga dan mengatakan bahwa Faizah perawan tua.

Bagi penduduk desa yang Faizah tinggali, umur 25 tahun belum menikah itu diibaratkan kadaluwarsa. Karena umumnya di desa tersebut perempuan lulus SMA sudah menikah dan ada juga yang sudah punya anak. Pantas jika ia sering dikatai tak laku.

Aku masih ingin berlama-lama bersama Faizah. Namun terus melihatnya menangis membuat hatiku semakin terluka. Aku sudah tak kuat lagi melihat orang yang paling aku cintai itu menangis. Jika bisa aku akan membawanya dalam dekapanku. Kan ku biarkan ia menangis didadaku. Kan ku usap punggungnya penuh sayang. Kan ku kecup keningnya agar perasaanya tenang. Tapi semua itu tak mungkin ku lakukan dengan statusnya yang sekarang. Semakin lama berada disisihnya aku semakin terluka. Aku takut tak bisa menahan diri lagi. Aku segera berdiri.

Ku ulurkan sebuah kado yang berisi Al-Qur'an dan jam tangan sebagai hadiah terakhirku.

"Ini buat adek. Semoga bisa menemani hari-hari adek. Jangan menangis lagi ya. Jika adek sedih mas juga sedih."

Faizah menerima kado dariku tanpa mau menatap mataku. Aku tahu ada sesuatu yang berusaha ia tutupi dariku. 4 tahun bersamanya membuatku cukup faham jika ia tak mau menatapku pasti ia sedang tidak baik-baik saja. Entah sedang marah, sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu dariku.

Andai aku bisa merubah takdir. Maka aku akan memilih dilahirkan dengan weton yang berbeda agar bisa menyatu dengan Faizah. Namun itu tak akan pernah terjadi. Aku tetaplah aku. Laki-laki yang lahir di hari sabtu pahing.

pantai kenangan

Mentari semakin meninggi. Teriknya membakar kulit. Ditambah lagi dengan pantulan dari aspal hitam jalanan menambah panas siang ini. Namun semua itu tak cukup menghangatkan hatiku yang terlanjur membeku karna cinta yang tak bisa aku miliki. Aku mencintainya, begitupun dia. Kita punya mimpi bersama tapi Tuhan justru punya jalan cerita lain yang harus kami lalui. Tuhan.. Kami memang punya rencana tapi hanya Engkau yang bisa menakdirkan. Jadikanlah aku manusia yang kuat untuk menghadapi takdirmu.

Aku pergi dari rumah Faizah dengan luka yang begitu mengangga. Luka tak bisa bersanding dengan orang yang aku cinta. Luka melihat orang yang ku cinta menangis tapi aku tak mampu menenangkanya. Sungguh aku memang hanya manusia bodoh. Tak mampu berbuat apa-apa walau cinta didada ini masih membara.

Ku kendarai motorku menuju salah satu pantai yang menjadi ikon Jepara. Terlihat penjaga pantai sudah siap menyambut di gerbang masuk. Saat aku tiba di depan mereka, salah satu petugas penjaga wisata memberikan tiket parkir kendaraan kepadaku. Aku lekas membayarnya dan segera pergi dari pintu masuk itu. Ku putar gas di tanganku dengan kecepatan tinggi. Tak perduli dengan teriakan penjaga yang memanggilku. Tak perduli dengan uang kembalian yang belum aku terima. Aku tetap menjauh menuju pantai yang menjadi tempat tujuanku.

Ku arahkan motorku menuju kura-kura besar yang terdapat aquarium raksasa di dalamnya. Kuparkirkan kendaraanku disamping bangunan besar itu. Kulangkahkan kaki masuk kedalam ruangan yang sejuk dengan aquarium berisi ikan-ikan besar. Cahaya remang-remang membuat orang lain tak lagi mengenal kita jika tidak diperhatikan dengan seksama. Tanpa menunggu aku segera menuju lantai 2. Duduk pada sebuah bangku yang sudah di sediakan.

Aku duduk termenung sendiri meratapi nasib tragis kisah cintaku. Cinta yang telah ku bina selama hampir 4 tahun. Cinta yang harus kandas karena hal tak masuk akal. Lelah. Sungguh aku lelah. Ingin rasanya aku terjun dari lantai 2 menuju kolam hiu dibawahku. Membiarkan tubuh ini habis menjadi santapan ikan yang siap mencabik-cabik tubuhku. Atau haruskah aku berjalan ke tengah lautan agar tubuh ini terbawa gelombang. Membiarkan tubuh ini dijaring para nelayan. Namun aku masih cukup waras untuk tak melakukan itu. Aku masih tetap ingin melihat Faizahku walau aku tak bisa memilikinya.

Sesaat ku teringat kenangan indah bersama Faizah di pantai ini. Dulu ia terus menolak jika ku ajak masuk ke bangunan kura-kura ini.

"Panas banget nih dek. Yuk masuk ke situ aja" tawarku siang itu yang begitu panas. Persis seperti siang ini.

"Nggak lah mas. Ngapain kesitu? Didalam itu lampunya remang-remang mas. Kalau kita berduaan takutnya digoda setan" Jawab Faizah polos.

"Kan ada pengunjung lain dek. Gak bakalan berduaan. Yuk ah kita ngadem di dalam"

Aku ingin menggenggam tangannya lalu menariknya masuk. Tapi dia berhasil menghindar.

Walau kita pacaran ia selalu membatasi kontak fisik denganku. Itu yang membuatku semakin penasaran ingin memilikinya. Akhirnya aku mengalah dan menurutinya. Kita berjalan beriringan menuju kedai yang terletak persis di bibir pantai. Duduk pada sebuah bangku panjang yang terletak dibawah pohon.

Angin dari laut menyapu wajah memberi sensasi sejuk. Namun tetap saja sengatan matahari itu membakar kulit.

"Mau minum apa dek?" tanyaku padanya

"air mineral aja mas" jawab Faizah. Aku melangkah menuju penjual es degan dan rujak petis yang bangkunya kami duduki.

"es degan 1 buk" Kataku pada seorang ibu berperawakan gemuk.

"pakai gula apa sirup mas?" tanyanya menawari

"pakai gula bu. Tapi jangan terlalu manis" kedekatanku dengan Faizah cukup membuatku tahu selera makan dan minumnya. Ia tak terlalu suka manis-manis. Kecuali coklat.

"sekalian rujak sama cilok ya bu. Rujaknya 2. Ciloknya 2. Pedes ya bu" kataku lagi pada penjualnya yang sudah sibuk mengupas kelapa pesananku.

Aku meraih botol air mineral yang sudah dijajar bersama pop mie oleh penjualnya. Ku raih satu botol air kemasan 600ml itu dengan sedotan lalu melangkah kembali ke samping Faizah.

"ini minumnya" aku menyodorkan botol yang telah ku buka tutupnya. Faizah langsung mengambilnya dan tersenyum kepadaku. Begitu manis. Membuatku tak pernah bosan memandangnya.

"Makasih mas. Tapi kok belinya cuman satu?" tanyanya lagi. Ia minum air dibotol menggunakan sedotan yang telah ku ambil.

"Biar bisa minum bareng sama kamu" godaku.

"Kok gitu mas.. Ini udah bekas bibirku lho. Aku ambilin lagi aja ya" ia hendak berdiri namun ku tahan.

"Gak usah dek. Aku udah pesen es degan. Lagian minum dibekas bibir kamu kan justru lebih mesra. Seperti ciuman tak langsung. Sini. Biar mas bisa ngerasain nyium kamu" Godaku yang membuat wajahnya semu merah. Ku ulurkan tanganku meminta air minum yang ia pegang. Aku segera meminumnya langsung tanpa menggunakan sedotan.

"Mesum banget sih mas. Jadi ngeri aku" katanya sambil memperhatikanku minum.

"Nikah aja yuk dek. Biar gak dosa kalau mau pacaran."

"Nanti ya mas. Kalau udah lulus kuliah"

Selalu itu jawabannya jika ku ajak nikah. Mungkin keadaan perekonomianku yang belum mapan membuatnya sedikit meragu.

Tak lama sebuah kelapa ukuran sedang pesananku sudah datang. Aku pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu ibu penjual datang lagi membawa nampan yang berisi rujak dan cilok pesananku.

...****************...

Memori indah tentangnya tak bisa aku hapus. Pantai ini adalah tempat favorit kami berdua. Pernah suatu ketika aku tanya kenapa ia lebih suka pantai daripada gunung. Jawabannya pun membuatku terseyum sendiri menghadapi kekonyolannya.

"Gak bosen dek jalan ke pantai terus. Cuman lihatin air laut doang. Bikin kepala kliyengan. Mendingan ke gunung. Sejuk. Bisa memanjakan mata dengan pemandangan yang hijau-hijau." kataku memberi penawaran.

"Ya gak lah mas. Aku ini orang desa. Tiap hari tinggalnya di gunung. Udah bosen kalau diajak liburan ke gunung. Mending ke pantai. Cari suasana baru. Emang iya sih adanya air doang. Tapi anginya juga sejuk. Suasananya syahdu. Apalagi kalau nginjek pasir pantai terus diterpa ombak. Rasanya mak cless. Seger." Kata Faizah dengan sumpringah.

"Dulu waktu aku masih SD pernah sekali kesini waktu sekalian nonton teletubies. Pada berebut ambil kuwuk dibawa pulang. Zaman aku kecil diajak wisata ke Jepara itu udah jauh banget lho mas. Banyak temen-temen aku yang mabok kendaraan "

Faizah begitu periang. Dia selalu terbuka denganku. Kadang tingkah konyolnya membuatku tersenyum sendiri. Ia berdiri diatas pasir dengan telanjang kaki. Tangannya direntangkan. Matanya terpejam. Terlihat ia sangat menyukainya. Andai sekarang aku masih bisa bersamanya.

Cukup lama aku duduk termenung didalam bangunan kura-kura. Mengingat kenanganku bersama Faizah. Membayangkanya saja aku bahagia apalagi jika bisa memilikinya. Sayangnya semua itu kini tinggal mimpi.

...****************...

Ku langkahkan kaki menuju mushola yang menjadi salah satu fasilitas pantai tersebut. Ku ambil wudhu lalu menghadap kiblat untuk menjalankan sholat dhuhur. Aku bersimbuh. Memohon. MerayuNya agar mengembalikan Faizah bersamaku. Ku adukan semua yang kurasa kepadaNya. Tak terasa air mata yang ku tahan-tahan itu menerobos keluar menganak sungai menjadi isakan kecil yang sudah tak bisa aku tahan.

Aku tak perduli jika ada orang lain masuk dan melihatku menangis. Aku tak perduli jika pengunjung lain berbisik bisik menggunjing diriku. Karna yang aku mau hanya mengadu. Mengadu pada dzat yang mengatur skenario kisah hidupku.

pantai kenangan 2

Rasa sesak di dadaku sedikit berkurang setelah ku pasrahkan semua pada pemiliknya. Air mataku telah mengering karna habis ku hamburkan. Setelahnya aku berjalan menusuri pantai dan berhenti di bawah pohon rindang.

Aku hanya duduk termenung di tepi pantai. Tak tahu dengan apa yang ada di otakku. Namun ternyata hati dan tubuh ini tak singkron. Hatiku sakit tak mau menerima apapun, namun entah mengapa tubuh ini masih butuh nutrisi. Perut keroncongan tanda bahwa belum ada makanan yang masuk lambung. Ku langkahkan kaki menuju kedai terdekat. Mencari makanan berkuah yang bisa ku telan tanpa harus mengunyah.

Pandanganku tertuju pada sebuah kedai bakso yang berjajar dengan penjual es kelapa muda dan rujak buah. Ku langkahkan kaki yang berasa sudah tak menginjak bumi lagi.

"Pak.. Baksonya 1 ya" teriakku pada penjual bakso ketika sudah sampai.

"Pakai horog-horog gak mas?" Tanya laki-laki berkaos pendek itu kemudian.

Ada sebuah sesak yang datang lagi menyeruak di hati ini. Makanan khas Jepara yang bernama horog-horog itu pernah menjadi teman sarapan Faizah. Ya, horog-horog pecel dengan bumbu kuah kacang adalah menu sarapannya hampir tiap pagi. Ia selalu bercerita bahwa ada nenek tua yang selalu mampir ke kost nya menjajakan menu sarapan khas Jepara itu dengan harga yang ramah di kantong. Awalnya ia kurang suka dengan horog-horog yang di padukan pecel bunga turi dan latoh itu. Namun karna kasihan ia selalu membelinya dengan alasan menolong nenek itu. Begitu mulianya hati Faizah yang membuatku semakin meradang ingin segera memilikinya.

"Mas.. Baksonya pakai horog-horog gak?" pertanyaan itu lagi membuatku tersadar dari lamunan.

"Gak usah pak. Bakso kosongan saja" jawabku kemudian.

Aku mencari tempat duduk di area terbuka yang menghadap langsung ke hamparan laut. Ku nikmati hembusan angin yang terasa seperti mengejekku yang harus mengalah dengan takdir. Semakin sore warna jingga di langit menyelimuti hamparan laut yang luas itu. Indah.. Namun aku ingin menangisinya juga.

Patah hati membuatku semakin mengingat memori indah bersama Faizah dulu. Jika hari minggu tiba disaat ia tidak pulang ke kampung halaman. Maka ia selalu mengajak ke pantai hingga sore. Menikmati matahari tenggelam ditemani teh hangat dan gorengan. Sederhana, namun mampu membuat hati ini menghangat jika mengingat moment menikmati senja bersama.

Andai tak malu, aku pasti sudah menangis meraung di sini. Meratapi perpisahanku dengan Faizah. Namun aku masih punya kewarasan untuk tak melakukan itu sekarang. Setidaknya sampai tiada lagi mata yang memperhatikanku.

"Ini mas baksonya" kata penjual bakso itu dengan ramah. Membuatku mau tak mau harus membalas senyumnya walau hati ini menangis.

"ya pak. Terima kasih." jawabku dengan senyum keterpaksaan.

"minumnya apa?" Tanyanya lagi.

"Kopi pahit saja pak. Sekalian air mineral" kataku yang dijawab anggukan.

Penjual bakso itu kembali ke kedainya. Menuang bubuk kopi hitam ke dalam gelas lalu mengisinya dengan air panas. Bau harum khas kopi pun segera menguar ke udara. Membuat hati sedikit tenang saat menghirupnya. Walau rasanya pahit namun tak sepahit kenyataan hidupku yang tak bisa menyatu dengan orang yang paling aku cinta.

Ku tuang saos sambal yang ada dibotol kedalam mangkuk yang ber isi bakso. Ku tambahkan juga kecap dan sambal kedalamnya. Entah berapa sendok aku menambahkan sambal cabai hijau yang sudah di sediakan di meja itu. Rasanya begitu pedas. Menimbulkan sensasi panas di mulut. Namun semua tak seberapa di bandingkan hatiku yang panas melihat Faizah bersanding dengan pria lain.

Tanpa sadar aku mengiris butiran bakso berbentuk bola itu menjadi bagian-bagian kecil. Biasanya aku akan langsung mengulurkannya ke Faizah yang tersenyum manis sambil memandangku. Namun sekarang bagian kecil itu hanya bisa kutelan sendiri tanpa bisa mengunyahnya. Biarlah tersedak. Justru itu yang aku harapkan. Tersedak hingga kesulitan bernafas dan mati.

Andai Tuhan memperbolehkan. Maka aku akan bernegosiasi kepadanya. Akan ku tukar sisa nyawa ini dengan kebesamaan bersama Faizah. Tapi kenyataannya tak akan pernah bisa. Jika pun bisa aku pasti sudah melakukannya sejak lama.

Bakso di mangkuk masih banyak. Namun suapanku terhenti ketika ada anak kecil menadahkan tangan meminta belas kasihan.

"paring paring pak" tangannya mengadah dibarengi wajah yang memelas. Sungguh aku tahu bahwa mereka tak sepenuhnya layak di bantu. Sebab entah bagaimana, anak ini bersama ke dua orang tuanya sama-sama mengemis di lingkungan pantai ini. Menjadikan pekerjaan meminta minta sebagai mata pencaharian dengan obset yang lumayan tanpa harus keluar modal.

Jika dulu aku selalu memperingatkan Faizah untuk tak memberinya. Namun kini justru akulah yang memberikan selembar uang kepada anak kecil itu.

"Gak usah di kasih dek. Kalau ada 1 yang kamu kasih ntar pasti ada yang nyusul datang lagi. Mereka itu kayak oknum yang kerja sama" Kataku memperingatkan.

"Gak apa-apa mas. Kalau ada ya dikasih. Kalau gak ada ya bilang maaf.. Simpel aja sih" Katanya dulu.

"Sekalipun nanti hasilnya dibuat gak bener, tapi kalau niat kita baik. Buat sodaqoh. Ya baliknya baik ke kita mas. Kalau gak kita ya anak kita. Ibarat menanam pasti akan panen. Entah itu lama atau sebentar." Faizah berkata sambil sibuk menutup kembali tasnya setelah sebelumnya mengambil uang dari dompetnya.

"Ya ya.. Makin sayang aja deh jadinya.. Gemes pengen cubit hidungnya deh" Kataku gemas sambil menatapnya penuh sayang.

"Gak usah pegang pegang. Bukan mahrom" Ia mengerucutkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya dariku.

"Dek.. Dek.. Kamu itu ya.. Kita udah sama-sama dewasa. Masak ya pacaran pegang-pegang gak boleh. Lihat itu anak SMA aja pacarannya mojok mojok gitu" aku menunjuk anak yang masih memakai seragam sekolah yang duduk berdekatan. Entah apa yang mereka lakukan aku tak tahu.

"Kita kan punya prinsip sendiri sendiri mas. Kalau anak SMA sudah mau pacaran pakai mojok segala ya monggo. Itu hak dia. Toh yang rugi juga mereka sendiri kan. Paling ujung-ujungnya ngerepotin orang tua. Tapi khusus untuk kita, aku pengennya pacaran yang sehat. Gak ada istilah mojok atau apalah itu. Kan tujuan kita untuk saling menenal satu sama lain. Kalau dibilang ta'aruf kita itu gak termasuk kedalamnya. Karna kita sering ketemu berdua tanpa ditemani wali. Tapi biarpun dibilang pacaran aku gak mau ya kita aneh-aneh. Yang ada entar kebablasan lagi" katanya merajuk.

"Kalau kebablasan malah enak c dek.. Langsung di nikahkan." kataku bergurau.

"Ngawur.. Kalau udah gak tahan itu puasa mas. Dan gak usah minta ketemu aku. Ntar bisa bisa kamu perkosa aku malahan" Begitulah dia. Tak bisa diajak bicara nglantur.

Entah mengapa lagi dan lagi aku terpesona dan jatuh cinta dengan semua yang ada pada dirinya. Tingkahnya yang sangat polos walau sudah mulai beranjak dewasa. Hatinya yang lembut selalu mengasihi orang-orang di sekitarnya. Ketulusannya. Semua yang ada pada dirinya sungguh aku suka.

Melihat ketulusan hatinya aku yakin ia akan jadi istri yang baik untukku. Tekatku waktu itu ingin menjadikannya istriku. Menjadikannya ibu dari anak-anakku. Menjadikan dia bidadari surgaku. Tapi entah mengapa sampai detik ini Tuhan belum mewujudkan mimpiku. Namun aku tak mau menyerah. Selama aku masih hidup. Selama dia masih hidup. Kesempatan untuk menyatu lagi itu masih ada. Bukan mau merebutnya dari suaminya. Namun aku akan menunggu. Menunggu Tuhan berbaik hati kepadaku. Menggubah takdir yang katanya dia bukan jodohku menjadi dia satu satunya takdir yang akan menemaniku di dunia dan akhiratku.

Dalam do'aku tak pernah sekalipun aku melupakan namanya. Dalam sujudku di tengah malam aku selalu sebut namanya. Mengharap ia menjadi takdirku. Berharap Tuhan mendengar do'aku yang ku bisikkan ke bumi. Aku yakin bumi tak pernah menghianatiku untuk melangitkan do'aku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!