Bulan Juni adalah masa akhir tahun bagi kami yang berkecimpung dalam dunia ajar mengajar. Ada sekelumit acara perpisahan yang harus dipersiapkan. Mulai dari pentas seni, bacaan tilawah hingga guyonan semacam stand up comedy.
Kegiatanku di sekolah cukup padat. Dan itu cukup mengalihkan ingatanku tentang Faizah. Walau dalam kenyataannya setiap malamku aku selalu menangisinya bahkan selalu menyebut namanya di setiap do'a di sepertiga malamku.
Kegiatan akhir tahun pelajaran ini juga sekaligus dibarengi dengan acara sedekah bumi yang di laksanakan di desaku. Pihak desa meminta sekolah kami ikut berpartisipasi dalam acara tersebut. Membuat kami para guru harus bekerja ekstra untuk bisa menampilkan siswa yang akan mewakili sekolah.
"Pak.. Anak anak yang ikut partisipasi dalam acara sedekah bumi baiknya nari saja atau buat drama musikal ya?" tanya Eny kepada kami yang masih duduk di ruang guru.
"Monggo bu terserah jenengan enaknya gimana. Saya handel yang di sekolah saja" jawabku.
"Kalau menurutku sih cocok drama aja bu. Syukur syukur bisa menampilkan drama tentang sejarah perang obor. Anak cucu kita kan tahunya perang obor itu ya tradisi yang harus ada saat sedekah bumi. Gak tahu asal usulnya." jawab temanku yang lain.
Di daerah tempat tinggalku ada suatu desa yang memiliki budaya khas yang bernama perang obor yang akan di laksanakan saat sedekah bumi. Dimana masyarakat yang menjadi peserta perang saling menyerang dengan obor yang menyala. Terdengar sorak sorai dari penonton saat ritual itu di mulai. Namun ada juga yang ketakutan dan ngeri melihat mereka saling melukai dengan api itu.
Lagi dan lagi moment itu mengingatkanku dengan Faizah. Awal awal ia tinggal di daerah sini. Lebih tepatnya di kost, ia begitu penasaran dengan yang namanya perang obor. Karna walau kita hidup di kota yang sama namun tradisi sedekah bumi di desa kami masing masing berbeda.
[Mas. Nanti malam aku sama temen-temen kost mau keluar lihat perang obor] kata Faizah dalam pesan yang di kirimkannya padaku.
[Ok. Butuh mas gak?"] Tanyaku memastikan.
[Ya selalu butuh lah. Cuman untuk nanti malam aku bawa motor sendiri boncengan sama temen-temen rame-rame.]
Aku memang tak mau mengengkang Faizah. Aku biarkan ia menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Karna aku yakin suatu saat nanti ketika kita sudah menikah ia tak akan bisa menikmati moment seperti itu. Ia pasti akan sibuk mengurusku dan anak anak kita nanti. Walau kenyataannya sekarang yang ia urus bukanlah aku. Melainkan Habib sang suami.
[Dek. Mas juga lihat perang obor lho] kataku mengabarinya.
[Iya kah?] jawabnya irit
[Nggeh sayangku. Masak bohong. Lagian masak ya adek gak ngerasain kehadiran mas? Mana hatimu yang katanya selalu ada mas] godaku.
[Lebay banget deh. Kayak abg]
[Adek posisi di sebelah mana?"]
[Perempatan]
Entah kenapa jawabnya selalu irit membuatku ingin menemuinya saja.
[Iya tau di perempatan. Tapi sebelah mana?]
[Ngapain sih mas nanya nanya melulu? Kangen ya? Mau curi-curi waktu buat ngajak gelap-gelapan. Ogah]
Jawabnya sinis. Membuatku ingin tertawa saja. Aku ini pacarnya tapi untuk kontak fisik dia sangat membatasi itu. Membuatku mantap ingin menikahinya. Faizah bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang gadis. Dan aku yakin kelak ia juga akan bisa menjaga kehormatan suaminya.
Aku belum membalas pesan dari Faizah. Karna terlihat dibawah nomornya tertera sedang mengetik. Tak berapa lama kemudian muncullah pesan baru dari Faizah.
[Atau mas gak percaya sama aku dan ngira aku keluar sama cowok lain.]
Begini nih wanita. Gak di tanya di bilang cuek. Di tanya dikira curiga. Membuatku bingung harus berbuat apa.
[Mboten sayang. Mas gak curiga. Cuman pengen lihat adek aja. Mas ada didekat baliho calon DPR. Kalau adek mau bisa call dan lambai ke arah mas. Mas gak akan nyamperin adek dan ganggu kebersamaan dengan teman-teman.]
Aku mengirim pesan itu lalu mengantongi smartphon ke dalan saku jaket yang aku kenakan. Tak berapa lama ada getaran panjang dari sakuku yang menandakan ada panggilan masuk. Akupun segera merogohnya dan melihat nama dek pacar tertera dilayar pipih itu. Akupun segera menjawabnya.
"ya dek. Kenapa?" tanyaku.
"mas coba lihat ke sebrang jalan." fokus mataku menuju ke sebrang jalan dimana lautan manusia berbaris menunggu prosesi perang obor di mulai.
"udah" jawabku cuek.
"Aku ada deket sama penjual minuman" kata Faizah dari sebrang. Ku edarkan pandangan menuju arah yang di tunjukkan Faizah. Terlihat ia melambaikan tangan. Namun aku pura pura cuek.
"Terus kenapa?" tanyaku lagi
"Kok kenapa? Jahat banget sih. Katanya tadi pengen lihat" dari nada suaranya sepertinya ia sedikit ngambek.
"ya ya. Mas susulin kesana" tanpa menunggu jawaban aku telah memutus sambungan telephon itu secara sepihak. Karena aku tahu setelah ini ia akan protes jika aku susul.
Aku menyebrang jalan mengendarai motorku untuk menemui Faizah.
"Kesini sama siapa aja dek?" tanyaku pada adik tingkatku yang tak aku kenal namanya.
"Kak Faiz" tolehnya kaget. Ia memang mengenal namaku karena aku salah satu panitia pada saat mereka ospek. Mamun aku tak begitu mengenal mereka satu per satu. Hanya Faizah yang langsung aku dekati ketika itu. Karna dari banyaknya mahasiswa baru hanya Faizah yang berhasil mencuri perhatianku.
"Ini sama temen-temen kost kak" jawabnya kemudian. Terlihat ia menyenggol Faizah memberi isyarat akan kehadiranku. Namun yang di senggol tak menggubris. Ia justru asyik menikmati arak-arakan yang lewat sambil sesekali koment dan berbicara dengan teman yang ada di dekatnya. Akupun inisiatif untuk menelfonnya.
Tut.. Tut.. Tut..
Terdengar nada tunggu di handphon yang aku tempelkan di telinga. Terlihat ia merogoh benda yang ia simpan dalam tas kecil yang ia selempangkan di bahu itu. Lalu segera menempelkannya ke telinga.
"Ada apa lagi sih mas?" tanyanya kesal. Namun aku tak menjawab.
"Mas.. Suaramu gak kedengeran. Aku masih nunggu perang obor ini." katanya kemudian.
"Coba noleh kebelakang" kataku yang masih asyik melihat Faizah yang clingukan mencariku. Ketika ia mendapati keberadaanku ia pun segera berpindah di sampingku.
"Ngapain kesini sih mas. Kan aku udah bilang gak usah nyusulin. Ntar dikira aku ngajak mas janjian disini lagi. Gak enak sama temen-temen" sewotnya.
"Ya udah kalau gitu adek pura-pura gak kenal mas aja. Terus nikmatin acaranya. Seolah mas gak ada di sini. Gampang kan." jawabku.
"Tapi nanti ...." belum selesai ia berbicara aku sudah memberi isyarat untuk diam. Acara telah di mulai. Terlihat ada beberapa orang dari 4 penjuru yang berbeda berteriak "serang" sambil berlari membawa obor yang menyala. Perkelahian pun di mulai. Mereka saling menyerang menggunakan obor dengan nyala api besar sebagai senjata mereka. Luka bakar pasti ada. Membuat Faizah meringis tak tega.
"Ya Allah mas. Kasian itu mas kena api tangannya. Mas.. Tolongin kenapa.. Mas.. Mas.. Itu pasti tetangga kamu kan mas.. Mas.." Rengek Faizah kepadaku. Akupun hanya tersenyum kepadanya. Membuat ia tanpa sadar menarik narik tanganku yang berdiri disampingnya. Aku pun tak menyianyiakan kesempatan itu. Aku genggam tangan kekasihku itu dengan penuh kehangatan. Kapan lagi bisa kontak fisik gini. Apalagi di depan umum. Kalau Faizah sadar pasti sudah ngamuk ngamuk dia.
"Mas awaaas.." teriak Faizah panik. Membuatku yang sedang memandang wajahnya kaget.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments