BAB 17

POV Faizah

Aku terbangun dan mendapati ibu duduk di sampingku dengan membawa minyak angin ditangannya. Aku berusaha mengingat kembali kejadian yang membuatku syok dan tak sadarkan diri. Tak terasa air mata ini menetes dengan sendirinya. Hatiku sedih mendapati kenyataan bahwa aku dan kak Faiz tak bisa bersatu. Andai perpisahan ini terjadi sejak awal, mungkin hatiku tak akan sesakit ini. Tapi kini disaat kedua keluarga sudah saling mengenal. Disaat dua keluarga sudah saling merestui. Disaat aku sudah berharap banyak dengan hubungan ini. Kenapa kita harus terpisah? Haruskah aku meninggalkan keluargaku hanya untuk hidup berdua dengan kak Faiz? Kenapa pilihan ini begitu sulit bagiku?

"Udah ndok jangan nangis lagi. Nanti kita cari solusinya bareng-bareng. Kalaupun pada akhirnya harus ada yang meninggalkan dan ditinggalkan maka kamu harus ikhlas. Mungkin jodohmu dengan nak Faiz hanya sampai sini. Kalau kamu ikhlas pasti gusti Allah bakal ganti dengan yang lebih baik" kata ibu memberi wejangan. Aku tak menjawab apa-apa. Kqrena rasanya dada ini begitu sesak hanya untuk sekedar mengucap satu kata.

"Ya sudah kamu tenangin diri dulu dikamar. Ibu mau keluar dulu. Masih ada keluarganya nak Faiz diluar" Ibu keluar kamar membiarkanku menangis sejadi jadinya. Hingga tak berapa lama pintu kamarku diketuk seseorang dari luar.

"Dek.. Mas pulang dulu ya." Kata kak Faiz dari luar. Dia masih memanggilku dengan panggilan kesayangannya. Membuatku yang tadinya sedikit bisa mereda tangis kini mulai menangis lagi. Aku tak bisa berkata-kata. Karena tangis ini semakin keras. Aku tak tahu bagaimana hancurnya hati kak Faiz saat ini. Mungkinkah dia masih bisa tegar menghadapai kenyataan bahwa hari pernikahan yang kita impikan sekarang pupus menjadi kenyataan pahit.

"Dek... Kamu baik baik aja kan?" Suara kak Faiz lagi yang masih setia menungguku diluar pintu.

"Faizah belum mau keluar ya?" Terdengar suara ibu yang menghampiri kak Faiz.

"Belum bu" Jawaban kak Faiz terdengar lirih. Mungkin ia juga sama hancurnya dengan diriku. Hanya saja ia masih sanggup menyembunyikannya dari orang lain.

"Kasih waktu Faizah buat sendiri dulu ya nak. Biarkan hatinya tenang dulu. Nak Faiz yang sabar. Nanti kita cari solusinya bareng-bareng. Semoga masih ada cara agar kalian bisa bersatu" Kata ibu yang masih bisa ku dengar dengan jelas. Namun tak ada niat dihatiku untuk keluar menemui kak Faiz.

"Ya bu. Faiz sama keluarga pamit dulu ya bu. Tolong ibu jaga Faizah." Terdengar obrolan mereka semakin lirih. Itu artinya mereka semakin menjauh dari kamarku. Sepeninggal mereka aku masih menangis. Hingga tak terasa mata ini terpejam dengan sendirinya karena lelah.

...****************...

Pagi harinya aku terbangun. Menjalankan rutinitas pagiku walau dengan keadaan mata yang sayu. Ku ambil air wudlu untuk menyegarkan tubuhku. Mensucikan diri yang terasa hina ini. Tak lupa ku jalankan 2 rakaat sebagai kewajibanku pada Tuhanku. Setelahnya aku kembali menangis. Meluapkan semua yang kurasa agar tak ada lagi sesak didada. Tanpa terasa mata ini terpejam lagi diatas sajadah hingga ibu membangunkanku.

"bangun nduk. Ayo sarapan. Bapak mau bicara sama kamu" ibu menggoyangkan tubuhku membuatku membuka mata.

"Izza gak lapar buk. Bapak sama ibu kalau mau sarapan, sarapan aja." Aku bangun. Melepas mukena yang masih menempel ditubuhku lalu mengantungnya. Setelahnya aku kembali merebahkan diri dikasur. Hingga tak berapa lama ibu datang lagi dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya.

"Bapak sudah ketemu beberapa orang pintar. Tapi hitungan mereka sama. Kamu sama Faiz itu gak jodoh. Tibo pati. Kalau kamu masih mau lanjutin ya monggo. Ibu cuman bisa mendo'akan semoga kalian berdua bahagia, selamet. Sebab kalau kamu milih Faiz itu artinya kamu harus nglepas orang tuamu. Ibu sama bapak gak apa-apa kalau seandainya yang mati itu kami. Wong kami juga udah tua kan. Sudah waktunya mati. Entah itu cepat atau lambat. Tapi kalau yang mati rizki kalian. Atau salah satu dari kalian? Apa gak rugi? Sudah melepas orang tua masih kehilangan pasangan. Ibu pengen kamu bisa ambil keputusan yang terbaik. Biar sama-sama ikhlas. Sudah banyak contohnya yang gak cocok hitungan weton dipaksa juga akhirnya pisah" Perkataan ibu seolah-olah mengatakan untukku mengikhlaskan saja hubungan ini.

...****************...

Waktu demi waktu kulalui sendiri. Aku memutuskan untuk menjauh saja dari kak Faiz. Karena jika masih bersamanya maka sulit bagiku untuk mengikhlaskan. Hingga beberapa bulan dari gagalnya rencana pernikahanku ada laki-laki datang kerumah melamarku. Namanya Habib. Awalnya aku tak mau menerimanya karena nyatanya dihatiku masih ada kak Faiz. Tapi ibu dan bapak mendorongku untuk menerimanya. Ia malu jadi gunjingan tetangga yang mengataiku perawan tua. Dengan terpaksa aku menerimanya dan kita menikah.

Awal pernikahan semua berjalan dengan lancar. Aku diboyong Habib kerumah yang sudah disiapkan kedua orang tuanya. Secara finansial ia memang lebih mapan dari Faiz. Orang tuanya kaya. Dia juga pekerja kantoran dengan bayaran yang lumayan tinggi. Dia juga begitu royal memanjakanku. Tanpa aku minta dia sudah memberikan semua hakku. Semua kebutuhan pribadiku ia tanggung bahkan andaikan aku tak bekerja sekalipun uang yang diberikan Habib sudah cukup bahkan lebih untuk mencukupi kebutuhan pribadiku. Mungkin jika dibanding kak Faiz secara ekonomi memang jauh berbeda. Kak Faiz hanya guru honorer yang gajinya tak seberapa. Namun cinta tak melihat itu. Nyatanya hatiku masih begitu mencintai kak Faiz.

Awal pernikahan aku mengenal Habib merupakan sosok yang baik. Ia bisa menerima masa laluku. Namun petaka mulai muncul disaat pernikahan kami berjalan beberapa bulan saja. Aku yang tak bisa melayani kebutuhan biologisnya membuat Habib murka. Ia selalu marah-marah hingga berani melayangkan tangannya. Pukulan demi pukulan sering aku terima. Tapi itu tak mengubah keadaan untukku bisa melayaninya. Bukan aku tak mau memberikan haknya. Hanya saja setiap kali Habib mau melakukannya bagian intimku terasa begitu sakit. Hingga ia berfikir bahwa aku masih mengharapkan kak Faiz. Tapi sebenarnya tidak. Aku sekuat tenaga berusaha melupakan kak Faiz yang sekarang hanya menjadi kenanganku. Aku tetap berusaha melayani kebutuhannya. Mempersiapkan pakaiannya. Menyiapkan makan dan minumnya. Bahkan mengambilkan makanan dipiringnya. Aku berusaha menjadi istri yang berbakti. Walau nyatanya dihati ini belum muncul rasa cinta. Namun untuk melayani kubutuhan biologisnya, entah mengapa tubuhku selalu menolaknya. Rasa sakit yang tak tertahan membuatku merintih kesakitan. Membuat Habib tak tega melakukannya kepadaku. Walau pada akhirnya justru ia menjadi uring-uringan karena hasratnya yang tak tersalurkan. Kemarahan itulah yang memicu Habib mulai berbicara dengan nada tinggi. Membentak, menyindir bahkan sampai tega melukai tubuhku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!