Hari berlalu ku jalani tanpa Faizah. Walau hidup ini terasa sepi namun aku tetap mencoba bertahan mewujudkan semua mimpi-mimpiku. Aku tetap berharap keajaiban datang menyatukanku dengan Faizah entah dengan cara apa. Walaupun begitu tak pernah terbesit dikepalaku untuk mengganggu rumah tangga mereka. Biarlah semua mengalir apa adanya.
Suara dering HP membuyarkan konsentrasiku yang sedang sibuk menginput nilai rapot anak didikku. Terlihat foto mbak Uma yang adalah kakak sepupuku dari pihak ibu.
"Hallo mbak. Assalamualaikum" Sapaku setelah menggeser tombol hijau dilayar handphonku.
"Wa'alaikumsalam. Mbak ganggu gak Iz?" Tanya mbakku. Sepertinya ada hal penting yang mau disampaikan kepadaku.
"Gak sih mbak. Cuman ini lagi nginput nilai aja" Jawabku jujur
"Iz, kamu tau gak. Tadi aku ketemu mantanmu di pengadilan agama lho"
Deek. Jantung ini serasa berhenti sejenak. Apa mungkin begini caranya Tuhan menyatukan kami. Tapi bukankah ini sangat singkat untuk sebuah usia pernikahan yang baru berjalan dalam hitungan bulan saja. Ah tidak. Rasanya tidak mungkin. Aku berusaha menutupi kegundahan hatiku dengan cara bersikap biasa saja.
"Terus maksud mbak laporan sama Faiz apa?" Tanyaku sok tak perduli.
"Gak usah sok gak perduli deh Iz. Mbak tau sebenernya kamu juga kepo kan? Pasti dalam hati seneng mbak kasih tau kabar ini. Ini kan yang kamu nantiin" Tebak mbak Uma yang memang benar danya. Andai bisa, aku pasti akan segera meluncur mencarinya. Mencari tahu sendiri tentang apa yang terjadi. Namun semua itu tak mungkin mengingat hubungan kita yang begitu rumit.
"Buat apa ngepoin urusan orang sih mbak. Kan mbak tahu sendiri kalau aku sama Faizah sudah gak ada harapan menyatu lagi. Kecuali salah satu dari kita berrekarnasi" Ceplosku asal. Andai hidup ini seperti drama yang ada di TV, mungkin aku akan setia menunggunya sampai ia berrekarnasi.
"Kamu do'ain dia cepet mati Iz? Tega banget sih kamu" Kata mbak Uma yang membuatku menggelengkan kepala.
"Ati ati kalau ngomong mbak. Lagian mbak ini mikirnya kejauhan. Pengadilan agama kan tempat umum. Bisa saja dia lagi jadi saksi peceraian seseorang." Jawabku kembali ke topik awal.
"Ya gak tau juga sih Iz. Yang jelas akhir-akhir ini mbak lihat storynya galau melulu. Mungkin dia lagi ada masalah. Cuman tiap kali mbak tanya dia bilangnya cuman asal nulis. Emangnya kamu gak lihat storynya Faizah Iz? Katanya cinta sehidup semati. Baru ditinggal nikah aja udah jauh jauhan" Mbak Uma memang sudah akrab dengan Faizah sejak lama. Bahkan sebelum berpacaran denganku. Mereka merupakan teman organisasi yang sama dikampus dulu. Wajar jika mereka saling mengsave nomor dan sesekali berkirim pesan.
"Faiz gak pernah lihat storynya Faizah udah lama mbak. Mungkin nomor Faiz udah dihapus atau malah udah di blokir" Jawabku jujur. Aku memang tak pernah menghapus nomornya atau berniat mengganti nomorku dengan nomor yang baru. Tapi mungkin saja Faizah memblokir nomorku untuk menghargai suaminya. Atau bisa saja dia sudah mengganti nomor. Aku tak pernah mempermasalahkan hal itu. Asal ia bisa hidup bahagia bersama suaminya aku rela memendam cinta ini sendiri. Aku sadar siapa diriku. Seberapa besar rasa cintaku padanya. Seberapa tulus kasih sayangku tetap saja tak bisa mengubah kenyataan bahwa aku hanyalah mantan. Mantan yang menjadi kenangan. Mantan yang sekarang harus dilupakan.
"Lagian mbak ngapin malah ngajak bahas mantan sih. Katanya suruh move on." Kataku yang tak ingin berlarut-larut terbawa perasaan.
"Kali aja kamu masih ngarep Iz. Soalnya yang mbak lihat kamu gak pernah deket cewek lain sampai sekarang. Itu tandanya dihatimu masih ada dia dan belum bisa menerima yang lain" Aku hanya terdiam tak menaggapi perkataan mbak Uma. Bercuma dia bilang suruh move on kalau nyatanya masih sering memberi tahuku tentang Faizah. Sama saja mengingatkan memoriku bersama Faizah. Walau pada kenyataannya memang tak ada sedikitpun moment tentangnya yang terlupakan dari ingatanku.
"Hallo Iz. Kenapa diem? Masih disitu kan" Tanya mbak Uma saat aku tak menanggapi perkataannya.
"Masih mbak. Udah ah. Faiz sibuk" Kataku tak mau berlama lama mengobrol dengan emak-emak yang jago gosip seperti mbakku itu. Yang ada nanti aku termakan omongannya.
"Bentaar. Masih ada yang mau mbak omongin" Kata mbak Uma yang tak mengizinkanku menutup telponnya.
"Kata bapakmu kamu nolak Eny yang ngajar disekolahmu itu ya? Kenapa sih Iz? Padahal udah cocok. Sama-sama satu profesi. Cantik juga walau sedikit mungil. Yah walaupun kalau dilihat lihat masih cantikan Faizah sih" Pertanyaan mbak Uma sungguh membuatku muak. Kenapa dia harus bertanya sesuatu yang sudah pasti jawabannya.
"Mbak ini sebenarnya memihak siapa sih? Muji Eny apa ngledek? Dibilang cantik kok mungil. Lagian ngapain sih mbak buang-buang waktu ngurusin masalah orang. Gak usah dijodoh-jodohin sama ini itu. Ntar kalau jodoh juga naik pelaminan. Kayak Faiz gak laku aja" Candaku. Aku tak mau menunjukkan kepada keluargaku bahwa aku masih mengharapkan Faizah walaupun dari perilakuku sudah terlihat jelas bahwa aku menutup hati untuk perempuan lain.
"Emang gak laku kan. Nyatanya sampai sekarang masih jomblo aja" Ledek mbak Uma.
"Tu kan malah diledek. Udah ah Faiz mau lanjut kerja. Assalamu'alaikum" Kataku yang tanpa menunggu jawaban langsung mematikan sambungan teleponnya.
Setelah mengobrol dengan mbak Uma aku jadi penasaran. Apa benar Faizah ada masalah dengan suaminya dan pergi ke pengadilan agama untuk meminta keadilan. Ah kenapa jiwa ingin tahuku meronta ronta ingin mencari tahu kebenarannya. Untung saja aku punya teman yang sekarang bekerja disana.
[Zam sibuk gak? Ntar malem nongkrong yuk] pesanku ku kirim pada Nizam yang merupakan pegawai pengadilan agama. Dulu waktu kuliah kami memang bernaung di universitas yang sama. Hanya saja ia di jurusan hukum sedangkan aku di jurusan pendidikan. Biarpun begitu kami tetap akrab mengurus organisasi kemahasiswaan bersama hingga menjadi pengurus BEM.
[Gak terlalu sih. Mau nongkrong dimana] tanyanya dalam pesan.
[Ditempat biasa. Habis isya' ya] Balasku cepat. Aku ingin mencari tahu sendiri tentang kebenaran yang disampaikan mbak Uma. Aku tak mau hatiku dipenuhi rasa khawatir dengan masalah yang belum tentu pasti. Walaupun pada kenyataannya aku dan Faizah sudah tidak ada hubungan apa-apa.
Aku memang mencintai Faizah dan mengharapkan dia menjadi istriku. Tiap malam aku tetap berusaha merayu Tuhanku dalam sepertiga malamku. Aku tetap meminta agar Faizah kembali disisiku. Bukannya aku egois. Tapi aku tahu Faizah juga sama sepertiku. Kita masih memiliki rasa yang sama. Kita masih ingin bersatu. Hanya saja saat ini Tuhan masih memainkan skenarionya. Memisahkan aku dan Faizah. Bisa jadi ini adalah ujian untuk mengetahui seberapa besar dan kuatnya cinta kami. Jika tiba waktunya, pasti kita akan menemui bahagia dengan cara yang indah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments