Kumandang azan yang bersahutan di masjid membuatku terjaga. Rasanya baru saja aku memejamkan mata setelah solat malam dan mencurahkan semua pada sang pemilik semesta. Kepala ini berdenyut nyeri karena terlalu lama menangis. Menangisi takdir yang tak mau berpihak kepadaku. Menjadikan Faizah menikah dengan orang lain.
Aku memang belum sepenuhnya bisa menerima takdir ini. Setiap hari aku selalu protes kepada Tuhan yang pernah mempertemukanku dengan Faizah. Meminta Faizah untuk dikembalikan lagi kepadaku. Tapi entah sampai kapan hal itu akan terwujud. Yang pasti aku belum lelah untuk meminta lagi dan terus meminta.
Jika ada yang berfikir aku egois, ya aku memang egois. Aku hanya ingin Faizah jadi milikku seutuhnya. Jika ada yang berfikir aku dibutakan cinta. Ya, aku memang dibutakan oleh cinta yang begitu besar di dadaku. Sampai sampai aku tak mau menerima kenyataan yang ada bahwa Faizah telah dinikahi orang lain. Jika di luar sana orang bilang cinta tak harus memiliki, itu hanya omong kosong. Hatiku sakit ketika tak memiliki orang yang aku cinta. Aku sedih menerima kenyataan bahwa kita tak lagi bersama. Sampai kapanpun aku tetap mencintai Faizah dan mengharapkan dia yang menjadi bidadari surgaku. Yang menemaniku menjalani hidup didunia ini.
Suara azan telah berganti menjadi solawat. Ku paksa tubuh ini bangun dari pembaringan untuk segera melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi untuk berwudhu. Ku basuh muka ini dengan harapan tak ada lagi sisa air mata yang masih menempel. Setelahnya aku menuju masjid untuk melakukan sholat subuh berjamaah.
...****************...
Matahari masih malu malu menampakkan cahayanya. Hawa dingin juga masih menyelimuti tubuh ini. Ku rebahkan lagi tubuh ini di atas kasur yang selalu menemani tidurku. Berharap bisa beristirahat dan menghilangkan sedikit rasa pusing di kepala.
Ku pejamkan mata sambil menikmati semilir angin yang berhembus dari jendela kamar yang sengaja ku buka. Membuat bayang bayang Faizah lagi lagi muncul di fikiranku. Faizah, aku merindukanmu. Aku merindukan hari libur yang ku habiskan bersamamu. Menikmati segarnya udara pagi dengan berjalan bersama dan bercerita tentang hal hal receh dalam hidup kita. Faizah, aku merindukan sikap manjamu yang selalu meminta waktu berdua di hari libur seperti ini. Rasanya baru kemarin kita menikmati indahnya pagi di pantai. Berjalan bersama, menginjakkan kaki dipasir yang basah dan sesekali dihantam ombak. Tapi kenapa sekarang kau tak bisa lagi aku jangkau. Tuhan, kenapa rasa ini tak bisa sedikitpun luntur dari hatiku jika kau tak pernah menjodohkan kami. Mereka bilang aku akan mendapatkan pengantinya. Tapi aku tetap bilang bahwa tak ada satupun wanita yang bisa menggantikan posisi Faizah dihatiku.
Tok...
Tok...
Tok...
Ketukan pintu kamar membuatku tersadar dari lamunanku. Segera ku hapus air mata yang tak sengaja jatuh ketika ku memikirkan Faizah. Entah sampai kapan aku begini. Menangisi Faizah yang telah dimiliki orang lain. Aku berusaha melupakan, tapi rasanya tak ada satupun tempat yang tak mengingatkanku pada Faizah. Terlalu lama kebersamaan ini membuatku sulit menerima kenyataan bahwa aku tak berhak atas dirinya lagi.
Aku bangun, melangkahkan kaki menuju pintu kamar. Membukanya, dan menemukan ibuku berdiri didepan pintu.
"Iz, tolong anterin sarapan ini ke rumah sakit buat pakdemu. Ibu mau ke pasar dulu. Ada pesenan buat hari ini"
Ibuku memberikan rantang susun tiga yang bergambar bunga. Aku menerimanya lalu melangkah keluar menuju meja dapur. Meletakkan rantang yang berisi nasi, sayur dan lauk.
"Tempatnya di ruang apa buk?" tanyaku kemudian.
"Di ruang bugenvil nomor 3. Nanti telpon saja kalau sampe sana. Biar gampang" Jawab ibukku yang sudah siap berangkat ke pasar.
"Ya sudah ibu berangkat dulu. Jangan lupa sarapan. Lauknya ibu simpan di rak."
Sepeninggal ibu aku kembali ke kamar. Mengambil jaket lalu memakainya. Tak lupa ku cari totebag yang ada di almari untuk wadah rantang agar mudah membawanya. Ku masukkan rantang kedalam totebag lalu mencari air mineral. Namun sepertinya ibuku lupa membelikannya. Ya sudah lah biar nanti mampir warung dulu untuk membeli minuman dan camilan. Aku tahu betapa jenuh dan capeknya berada di rumah sakit. Walau hanya menunggu orang sakit rasanya tubuh ikut sakit sendiri.
"Mau kemana Iz?" Tanya bapakku yang baru muncul dari belakang. Sepertinya beliau sedang berolah raga ringan sambil bercocok tanam di kebun belakang.
"Mau nganterin makanan buat pakde ke rumah sakit pak" Jawabku.
"Ooo ya sudah. Bapak baru aja mau kasih tau"
...****************...
Suasana rumah sakit sepi. Hanya terlihat beberapa orang yang masih tertidur di bangku luar. Sepertinya mereka lebih memilih tidur di dekat ruang pasien dibandingkan pergi ke ruang penunggu yang sudah di sediakan pihak rumah sakit.
Ku langkahkan kaki menyusuri lorong lorong ruangan. Mencari letak kamar Bugenvil seperti yang dikatakan ibu. Langkahku sedikit melambat ketika melihat dua orang bertubuh gemuk duduk di bangku taman. Memangku nasi berbungkus kertas minyak yang telah di buka. Ingatanku kembali tertuju pada Faizah. Aku masih ingat, dulu ketika mengantar makan sore untuk Faizah yang menunggu kakeknya sakit. Kami duduk di bangku taman. Ia menikmati nasi rames yang aku belikan sambil bercerita.
"Katanya mbah bayar pakai umum kok di ruangan ini?" tanyaku pada Faizah yang sudah mulai menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Ya mas. Soalnya ruangan lainnya penuh. Yang ada cuman ini. Itupun harus nunggu dari pagi sampai siang." Jawabnya
"Nyaman gak nungguin di ruangan kayak gitu? Kan satu ruangan bisa sampe 10 pasien" Tanyaku lagi sambil memandangi wajah ayunya.
"Sebenernya sih gak nyaman. Tapi mau gimana lagi"
"Yang di samping brangkar mbah malah keluarga besar lho mas" lanjut Faizah.
"Maksudnya keluarganya banyak gitu?" Tanyaku
"Gak gitu. Tapi tubuhnya gede gede. Hehehe" Ia sedikit tersenyum ketika mengatakan itu. Aku pun ikut tertawa dengan candaannya
"Eh mas orangnya lewat" Kata Faizah dengan berbisik, begitu melihat dua orang bertubuh gemuk lewat di samping kami. Akupun spontan tertawa melihat ekspresi Faizah yang sedikit rikuh kepada orang tersebut. Rupanya orang itu adalah orang yang barusan Faizah ceritain. Akupun menjailinya, berkata seolah olah memberi tahu orang tersebut.
"Pak, ini lho pean dirasani " Kataku yang membuat Faizah langsung berreaksi. Ia menepuk pahaku dengan mata yang melebar. Mengingat kejadian itu membuatku tersenyum senyum sendiri.
Tak terasa langkah kakiku sudah sampai pada kamar yang kutuju. Ku buka pintunya dan melihat Diana terbaring di brangkar dengan pakde dan bude yang menunggui di sampingnya. Ku ucapkan salam sebagai do'a keselamatan kepada mereka. Lalu ku raih tangan orang yang menjadi kakak dari ibuku itu. Ku cium tangan itu sebagai sebuah penghormatan kepada orang yang lebih tua.
"Pakde, bude, ini sarapan dari ibu. Maaf ibu belum bisa jenguk mbak Diana soalnya harus buka lapak dulu di pasar. Ada pesenan untuk hari ini." Kataku yang duduk lesehan di tikar yang mereka gelar di depan brangkar.
"Ya Iz, gak apa apa. Terima kasih ya sarapannya. Malah ngrepotin" kata bude Salimah yang mulai membuka rantang yang ku bawa.
"nggeh de. Sama sama. Sama sekali gak ngrepotin kok" jawabku dengan kepala yang ku anggukkan.
"Bagaimana keadaan mbak Diana de?" tanyaku setelahnya.
"Kalau dari hasil rongsen kemarin katanya mbakmu kena usus buntu. Hari ini di suruh puasa dulu. Besok operasinya." jawab bude Salimah. Terlihat mereka berdua malas makan, mungkin karena fikiran mereka tak tenang melihat anaknya sakit. Ditambah lagi mereka harus menyaksikan anak yang baru berumur 12 tahun itu menjalani operasi.
Diana memang baru berumur 12 tahun. Jauh di bawahku. Tetapi aku tetap memanggilnya mbak. Karena dia anak dari pakde ku. Ya, begitulah keluargaku. Harus memanggil seseorang berdasarkan silsilah keluarga. Bukan asal panggil nama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments