Bab 11

Aku duduk disamping brangkar mbak Diana yang sesekali mengeluh kesakitan. Ku berikan air hangat dalam botol untuk mengompres perutnya agar sedikit meredam rasa sakit. Aku sengaja tinggal di rumah sakit lebih lama untuk ikut jaga mbakku itu.

"Pakde, bude kalau mau istirahat, mandi atau pulang monggo. Biar saya yang nungguin mbak Diana" Kataku ketika mereka masih menikmati sarapan yang aku bawa.

"Memangnya kamu gak ngajar?" Tanya pakde padaku.

"mboten de. Sekolah liburan panjang kenaikan kelas" jawabku.

"Kalau begitu pakde pulang bentar ya. Lihat ternak dirumah. Tolong kamu temanin budemu disini sampai kak Denis sama istrinya datang" jelas pakde. Selesai sarapan bude menata beberapa pakaian kotor yang akan dibawa suaminya pulang. Sementara aku masih duduk termenung menunggui mbakku yang terbaring sakit.

...****************...

Waktu berlalu. Banyak orang yang berlalu lalang diluar ruangan. Ada yang datang menenteng plastik hitam dan air mineral. Ada yang berjalan dengan handuk dipundak. Ada juga petugas kebersihan yang menyapu dan mengepel lantai rumah sakit. Sekilas memang tak ada yang menarik. Hingga beberapa menit kemudian terlihat seorang perempuan setengah baya yang berlari menuju ruang jaga sambil menangis. Setelahnya ia kembali bersama seorang perawat yang membuntutinya. Terdengar tangisan pilu dari ruang sebelah, menandakan hal yang buruk terjadi. Akupun beranjak dari tempat dudukku. Keluar ruangan dan berjalan menuju ruangan sebelah. Terlihat seorang perawat sedang melepas infus dan juga oksigen dari tubuh pasien yang sudah menutup mata itu. Tangis keluarga pecah mendapati orang yang mereka sayangi telah pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.

Aku berjalan kembali ke ruangan mbak Diana setelah menyalami keluarga pasien yang meninggal. Aku duduk di kursi plastik di ssmping budeku yang masih setia menemani anak perempuannya.

"Kok rame rame ada apa Iz?" tanya bude.

"Mbah mbah di kamar sebelah meninggal de" jawabku.

"Innalillahi wa inna ilahi rojiun. Kalau sudah takdir mau gimana lagi? Mungkin memang itu yang terbaik. Umurnya sudah tua, ditambah lagi beliau sakit jantung. Jodoh, rejeki, pati itu kan sudah jadi rahasia Allah. Kita manusia cuman bisa menjalani" kata bude

"Seperti halnya kamu Iz. Bude tau kamu masih sedih dengan gagalnya rencana pernikahanmu. Tapi kamu jangan putus asa dan menyalahkan gusti Allah. Mungkin Faizah memang bukan jodohmu. Kamu boleh berencana ini dan itu tapi gusti Allah kuoso. Hal yang kamu rancang sekian tahun bisa gagal seketika karena Allah belum ridho. Tapi sebaliknya jika Allah menghendaki sesuatu yang gak mungkin bisa aja terjadi. Jadi kamu yang sabar. Dijaga imannya biar tetep dekat Allah" Budeku menasehatiku panjang lebar dan aku hanya mengangguk membenarkan. Memang keluarga besarku sudah tau kejadian yang menimpaku dan Faizah. Karena dulu aku mengajak mereka waktu meminang Faizah. Mereka terlihat mengasihaniku setiap kali bertemu. Tapi aku tak mau terlihat sedih didepan mereka. Aku masih berpura pura tegar dan tersenyum walau pada kenyataan hatiku hancur dan rasanya tak ingin lagi hidup.

Malu sudah pasti ada. Aku malu karena lama menjalin hubungan dengan Faizah namun tak berakhir di pelaminan. Kedekatanku dengan Faizah memang sudah diketahui keluarga. Apalagi setelah kami bertunangan. Aku dengan bangganya memperkenalkan Faizah kepada keluarga saat ada acara tertentu sebagai calon istriku. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak bisa menghindari takdir ini. Karena pada kenyataannya aku jatuh terguling dari tebing impianku yang tinggi. Terperosok kedalam jurang dan tertimbun tanah kepedihan yang aku ciptakan sendiri. Tersiksa, merana dan putus asa sudah pasti. Namun aku tak mau terjebak dalam keadaan ini. Aku akan tetap bertahan hidup untuk menjaga seseorang yang sangat aku cinta. Faizah bagaimanapun statusmu sekarang aku akan tetap mencintaimu.

...****************...

Di luar sana matahari sedang bersinar dengan terangnya. Namun hatiku masih gelap gulita tanpa ada secercah cahaya cinta yang ku impikan. Mencinta tanpa dicinta memang begitu menyakitkan. Namun setidaknya aku pernah merasakan indahnya dicintai bahkan pernah dijadikan orang yang spesial di hati Faizah. Biarpun sekarang ia bukan milikku tapi aku tak sepenuhnya yakin jika dihatinya tak lagi ada namaku. Aku tetap berharap suatu hari nanti aku bisa kembali bersamanya. Menyatukan cinta yang pernah kita rajut bersama dalam indahnya bahtera rumah tangga.

Tinggal di rumah sakit dan melihat adanya kematian membuatku lagi lagi teringat Faizah. Aku masih ingat tangisnya yang meraung raung menyaksikan kematian mbahnya. Orang yang dalam beberapa bulan terakhir selalu ia temani sampai melalaikan kewajibannya sebagai mahasiswa. Ia dengan cekatan menunggui mbahnya yang terbaring dirumah sakit. Menyuapinya makanan walau tak ada makanan lain selain bubur yang bisa masuk keorgan pencernaannya. Menawarinya ini itu hanya untuk membangkitkan selera makannya. Kesana kemari mencari sesuatu yang diminta walau akhirnya hanya dicicipi sesuap saja. Pernah suatu ketika ia menelphoku tengah hari hanya untuk mencari kedai yang menjual es teler.

"Hallo mas. Didekat rumah sakit ada yang jualan es teler gak?" Tanyanya waktu itu.

"Kenapa dek. Ngidam?" jawabku dengan candaan.

"Ini lebih urgent dari ngidam. Mbah yang pengen. Katanya pengen makan es alpukat yang alpukatnya masih kerasa. Potongannya yang besar besar. Berarti kan es teler ya mas?" Jelasnya.

"Padahal seumur umur belum pernah makan es teler lho. Kok tiba tiba minta. Padahal tau bentuknya aja mesti gak" Imbuhnya lagi. Dia begitu terampil bercerita ini itu. Padahal dulu waktu aku bertemu Faizah orangnya pendiam. Tapi setelah kenal dekat ternyata orangnya asyik. Hanya saja jika kepada orang yang belum kenal ia terkesan cuek dan tertutup.

Aku mengubah panggilan telepon menjadi video untuk melihat wajahnya. Berhari hari tak bertemu dengannya membuatku rindu. Walau pada kenyataannya aku selalu berkomunikasi dengannya. Pada saat itu aku memang masih menjadi mahasiswa semester akhir. Masih sering bertemu dikampus. Kadang juga sengaja janjian untuk sekedar makan bareng di kantin kampus.

"Ngapain video call segala sih mas" tanyanya begitu panggilan sudah beralih ke video.

"Kangen dek. Mau nyusul kesitu gak boleh sih" jawabku manja.

"Kapan kapan aja ya mas kalau momentnya pas. Sekarang biar aku ngurus mbah sampai sembuh dulu" jawabnya. Terlihat ia sedang duduk disebuah bangku yang terletak di lorong luar ruang kamar pasien.

"Ya ya. Tadi kamu tanya apa dek? Es teler?" Tanyaku lagi setelah berbasa basi dengannya.

"Ya mas. Ada gak di daerah deket rumah sakit?"

"Kalau dideket rumah sakit mas gak tau. Tapi kalau didaerah sini malah ada. Tempatnya disebelah minimarket coret biru itu." jelasku. Aku tak begitu faham daerah sekitar rumah sakit karena alhamdulillah sampai detik ini tak pernah ada keluarga dekat yang dirawat disana.

"Kalau mau biar mas beliin. Ntar mas anterin" Tawarku. Terlihat Faizah masih menimbang-nimbang tawaranku. Hingga akhirnya ia mengangguk pasrah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!