Hiraeth : He'S Coming To His Home
Terminal kedatangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta sore itu terlihat ramai. Orang-orang berkerumun, berjalan seraya menggeret koper masing-masing menghampiri sanak saudara yang telah menunggu dengan senyum yang terkembang lebar sampai ke telinga. Keceriaan terpancar di mana-mana, luapan perasaan rindu mengharu biru, membuat siapa saja yang melihatnya akan turut tenggelam di dalam perayaan rindu itu.
Akan tetapi, di antara banyaknya orang yang tengah merayakan pertemuan setelah sekian lama itu, ada satu orang yang justru tampak kesepian. Dia adalah Fabian. Setelah kabur selama lima tahun, dia memutuskan untuk pulang, hanya untuk ditampar fakta bahwa tak peduli berapa lama pun ia pergi, tetap tidak akan ada yang datang untuk menyambut kepulangannya. Ia sendirian, selalu.
Fabian menghentikan langkahnya tepat sebelum mencapai pintu keluar. Tatapannya berlarian, mengelilingi setiap sudut di mana dia bisa menemukan banyak sekali aroma kerinduan yang menguar di mana-mana. Dan sialnya, tak satupun dari mereka yang berlarian ke arahnya. Kerinduan itu tidak ditujukan untuk dirinya, jadi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum miris meratapi nasibnya sendiri.
Kemudian, Fabian melanjutkan langkah dan menggeret kembali kopernya. Berusaha mengabaikan racauan yang terdengar tumpang-tindih di sekitarnya, ia membuka pintu taksi bandara yang sudah menunggu di antrean. Yah, setidaknya, masih ada si sopir taksi yang mau menyunggingkan senyum ramah kepadanya walaupun ia tahu senyum itu akan tersuguh untuk siapa saja yang mau menggunakan jasanya. Tidak apa-apa. Untuk Fabian yang sudah tidak memiliki apa pun, itu sudah cukup.
Taksi lalu membawanya melaju menyusuri jalanan kota Jakarta yang macetnya masih sama seperti lima tahun lalu sebelum dia tinggalkan. Di trotoar, masih banyak pedagang yang menggelar dagangannya seakan tidak peduli lagi bahwa sewaktu-waktu, mereka bisa diusir dari sana ketika petugas satpol PP datang merazia. Tak Cuma pedagang, Fabian juga beberapa kali menemukan pengendara sepeda motor melajukan kendaraannya di atas trotoar, merampas hak pejalan kaki yang justru mengalah dengan berjalan di pinggiran jalan—menanggung risiko terserempet pengendara ugal-ugalan.
Pelanggaran seperti ini sudah biasa ditemukan di mana saja, bukan Cuma di Indonesia. Hanya bentuk pelanggarannya saja yang berbeda, intinya tetap sama, bahwa peraturan yang dibuat tidak ditaati sebagaimana mestinya. Miris, tapi memang begitu kenyataannya. Akan selalu ada kelompok manusia yang berpegang pada satu kalimat “Aturan dibuat untuk dilanggar” dan Fabian tidak bisa berbuat apa pun tentang hal itu.
"Habis liburan ya Mas?" Fabian menoleh ke depan, si sopir taksi terlihat menatapnya lewat kaca spion tengah.
Fabian tersenyum tipis, kemudian menganggukkan kepala. Tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa dia baru saja kembali dari sebuah pelarian panjang, kan? Lagi pula, sopir taksi itu tidak akan benar-benar peduli.
"Liburan di mana kalau boleh tahu? Eropa? Atau masih sekitar Asia?" tanya si sopir taksi lagi.
"Kanada." Jawab Fabian.
"Wah, asyik, ya. Saya juga lagi nabung nih, Mas, buat ajak anak istri saya liburan ke luar negeri juga." Celoteh di sopir taksi dengan riangnya.
"Semoga cepat terkumpul uangnya." Sahut Fabian. Lalu, percakapan mereka terputus di sana. Si sopir kembali fokus melajukan taksi, sementara Fabian kembali melayangkan pandangan ke luar jendela.
Semakin jauh taksi melaju, Fabian semakin merasa bahwa dia benar-benar telah kembali ke tempat di mana dia berasal. Atmosfer yang dia temui di sepanjang jalan membuatnya bernostalgia, mengingat kembali hal-hal di masa lalu, baik yang indah maupun yang menyedihkan. Semuanya tumpah ruah menjadi satu, memenuhi benak Fabian hingga membuatnya tenggelam di dalam dunianya sendiri.
...🍂🍂🍂🍂🍂...
Cukup lama Fabian berdiri di depan sebuah bangunan yang masih terlihat terawat dengan baik meskipun sudah lama dia tinggalkan. Pagar besi yang berdiri menjulang masih tampak kokoh, tak terlihat karat sedikit pun menempel di setiap bagiannya. Cat berwarna abu-abu masih terasa baru, seperti seseorang sengaja membalurkannya kembali karena tahu sang Tuan rumah akan kembali dalam waktu dekat.
Dari posisinya berdiri, Fabian juga bisa melihat keberadaan pot-pot tanaman dengan bunga warna-warni tertata rapi di sisi kiri teras, sesuatu yang baru karena dulu rumah ini hanya dikelilingi warna kelabu.
Dari dalam rumah, setelah Fabian memutuskan untuk menerobos gerbang, muncul seorang wanita paruh baya dalam balutan daster bunga-bunga berwarna biru muda. Wanita yang kini menggelung rambut hitamnya itu dengan asal tampak tersenyum pada Fabian, matanya sedikit berair, tapi ia tidak kelihatan hendak menangis.
“Selamat datang kembali, Den.” Ucap wanita itu menyambut Fabian seraya merentangkan tangannya lebar-lebar.
Fabian melepaskan tangannya dari gagang koper, segera membalas pelukan yang ditawarkan oleh wanita itu sebelum waktu berlalu dan dia kehilangan kesempatan. “Terima kasih.” Adalah kalimat pertanya yang Fabian ucapkan selagi ia menyandarkan kepalanya begitu nyaman di bahu sang wanita.
Mbok Darmi, wanita berusia 50-an itu mengangguk sebagai sebuah jawaban, meski dia tahu Fabian mungkin tidak akan menangkap pergerakannya tersebut.
Pelukan hangat nan tulus itu berlangsung cukup lama, sampai kemudian Fabian menarik diri lebih dulu, lantas menatap Mbok Darmi dengan tatapan paling teduh yang dia miliki setelah sekian lama. Ia tidak berkata apa-apa, hanya terus menatap wanita paruh baya itu dengan cara yang sama.
Mbok Darmi adalah seseorang yang dia temui tanpa sengaja, tepat satu bulan sebelum ia kehilangan ibunya. Malam itu, dia baru kembali dari Mega. Dalam keadaan setengah mabuk, dia mengendarai motornya, sedikit ugal-ugalan sehingga membuatnya tergelincir dan jatuh mengenaskan di atas semak-semak. Tidak ada yang tahu soal peristiwa itu, karena dia memang tidak menceritakannya kepada siapa pun.
Di tengah gelapnya malam yang semakin pekat dan sepinya jalanan yang licin setelah hujan, Fabian memasrahkan dirinya di atas rerumputan. Dia tidak menderita luka yang cukup parah, hanya sedikit tergores di bagian lengan karena malam itu dia kebetulan hanya mengenakan kaus lengan pendek.
Tapi anehnya, dia seakan tidak memiliki daya untuk bangkit dari posisinya. Fabian terlentang di atas rerumputan untuk waktu yang cukup lama, membiarkan sekumpulan nyamuk berpesta pora menikmati darahnya yang terhidang secara Cuma-Cuma.
Lalu, datanglah Mbok Darmi. Wanita paruh baya itu berjalan mengendap-endap ke arah semak-semak di mana ia terkapar sendirian. Takut-takut, Mbok Darmi berbicara, mengecek kondisinya untuk memastikan apakah dia masih hidup atau justru sudah menjadi mayat.
Malam itu, Mbok Darmi merawatnya, mengobati luka kecil yang dia derita dan memberikannya tempat menginap walaupun sederhana. Ternyata, Mbok Darmi adalah seorang janda yang tinggal sendirian setelah satu persatu anak yang dia besarkan dengan jerih payahnya sendiri menikah dan tinggal dengan keluarga mereka masing-masing.
Wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai penyapu jalanan itu menjalani kehidupan sederhananya dengan hati yang begitu lapang, membuat Fabian seakan ditampar berkali-kali dan diingatkan bahwa hidupnya masih tidak seberapa menyedihkan.
Begitu saja, Fabian berhasil membuat Mbok Darmi menjadi salah satu orang yang dia percaya. Beberapa kali setelah pertemuan pertama mereka, dia berkunjung ke rumah Mbok Darmi untuk sekadar menyapa dan membawakan beberapa barang kebutuhan sebagai hadiah. Lalu saat ia memutuskan pergi ke Kanada, ia meminta kepada Mbok Darmi untuk membantunya menjaga rumah ini.
Dan yah, bisa dilihat betapa tulusnya wanita itu melakukan tugasnya selama lima tahun. Rumah yang dulunya suram, kini tampak jauh lebih asri.
“Den Bian sehat?” tanya Mbok Darmi setelah mereka hanya terdiam cukup lama dalam adu pandang yang terasa seperti tak memiliki ujung. “Gimana Kanada? Indah?”
Fabian kembali mengulaskan senyum. “Saya sehat, Kanada juga cantik. Tapi, di sana, ada banyak hal yang nggak bisa saya temui. Itu sebabnya saya kembali.”
Mbok Darmi ikut tersenyum, lantas meraih tangan Fabian dan menepuk-nepuknya beberapa kali. “Di sini memang rumah Den Bian, sudah seharusnya Aden ada di sini, alih-alih tempat lain. Terima kasih sudah mau kembali, ya, Den.”
“Terima kasih juga karena sudah mau menunggu saya untuk pulang.” Lalu kembali Fabian peluk tubuh Mbok Darmi sebelum dia membawa wanita itu masuk ke dalam rumah.
Bertepatan dengan keduanya yang menghilang di balik pintu rumah, matahari sepenuhnya tenggelam.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Raudatul zahra
mamak turut bahagia Bi,, hidup bahagia yaa sama mbok Darmi, sebagai sepasang ibu-anak🤗🤗🤗
2023-11-25
0
Aerik_chan
Baru baca nih...dah seru aja....
2023-09-30
2
Zenun
kasihan
2023-07-09
1