Ke kelab malam membawa kitten. Mungkin, hanya seorang Arkafabian Syailendra yang akan kepikiran begitu. Ya, sepertinya memang hanya dia. Di saat orang-orang datang untuk mabuk-mabukan dan bercumbu dengan perempuan bayaran yang dibawa dari luar, Fabian malah mengasingkan diri di bangku pojok, membiarkan dirinya ‘dijamah’ oleh Baskara yang tidak bisa diam. Kaki bocil bulu itu masih terluka, tapi hal tersebut sama sekali tidak menghalangi gerakan lincahnya. Memanjat sampai ke leher Fabian, petakilan di atas pangkuan, sampai-sampai Fabian hampir kehilangan Baskara ketika bocah itu melompat turun dan berlarian menembus kegelapan.
“Itu kucing yang lo bilang kemarin?” si bos besar, Gerald, muncul dari lantai dua dalam keadaan rambut yang basah. Lelaki itu baru kembali dari mengurusi bisnis halalnya, memutuskan untuk naik dan mandi lebih dulu sebelum menyambut tamu istimewa bersama dengan kucing kecil banyak tingkah itu.
“Yup,” Fabian mengangguk. Dipungutnya lagi Baskara yang sedang menggigiti jemari kakinya yang terbalut sendal rumahan. “Namanya Baskara.”
Rahang Gerald jatuh dengan dramatis mendengar penuturan Fabian. Oke, dia tahu tidak ada satu pun di antara anggota Pain Killer yang masih bisa dikatakan waras. Tapi untuk kasus Fabian, yang sampai harus menamai kucing jalanan dengan nama temannya yang sedang ‘hilang’ agaknya terlalu berlebihan.
“Gue ada kenalan psikiater yang oke, mau coba konsul?” Gerald menawarkan. Prihatin sekali dia pada kondisi satu-satunya anggota Pain Killer yang tersisa itu. Kesepian dan hidup sebatang kara sepertinya membuatnya hampir gila betulan.
“Nope. Terakhir kali gue ke psikiater, gue malah hampir dibikin gila karena ternyata obat yang diresepin ke gue itu ilegal.” Fabian tersenyum miris tatkala bayangan wajah Abraham muncul di kepalanya. Menyesal sekali dia pernah berpikir bahwa Abraham adalah malaikat tanpa sayap yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan dirinya yang nyaris sekarat. Umh, mungkin Abraham memang malaikat. Malaikat kematian.
“Dia sih nggak cocok disebut psikiater, tapi psikopat!” Gerald ikut-ikutan geram. Memang tidak banyak yang dia tahu soal Abraham. Dia hanya menerima sedikit bocoran dari Reno soal perkembangan kasus pembunuhan Raya sebelum pemuda mungil itu seutuhnya menghilang. “Masih ada di penjara kan dia sekarang?”
Fabian mengendikkan bahu. Setahu Fabian, memang masih. Orang kepercayaan yang dia mintai tolong untuk mendampingi jalannya persidangan kasus pembunuhan Raya selama ia berada di Kanada mengatakan hanya Sera yang dipindahkan ke rumah sakit jiwa karena sudah mulai tidak waras. Sedangkan Abraham, lelaki itu masih mendekam di sel tahanan bersama narapidana kasus berat lainnya. Dia belum sempat mengecek secara langsung, baik kondisi Abraham maupun Sera, belum ada waktu. Nanti, kalau dia sudah tidak terlalu mumet, dia akan berkunjung ke tempat di mana dua kriminal itu berada.
“Harusnya masih sih. Kalau sampai dia keluar, berarti polisinya yang gila.” Fabian tidak mengangguk setuju, namun ia juga tidak menyanggahnya. Ia hanya terlalu sangsi untuk mengabarkan kepada Gerald bahwa Sera yang merupakan pelaku utama justru sudah lolos dari penjara. Dipikir-pikir, sepertinya tidak perlu terlalu jauh juga untuk mengorek kembali luka yang sudah dia usahakan agar jauh dari hal-hal yang bisa membuatnya kembali basah.
“By the way,” Gerald menuangkan whiski ke dalam gelas yang kosong, mengendusnya sebentar sebelum menenggaknya sampai habis. “Lo beneran nggak ngapa-ngapain Queen, kan? Gue lihat matanya sembab.” Tanyanya dengan sorot menyelidik.
Pertanyaan itu tidak hanya membuat fokus Fabian yang semula tertuju pada layar ponsel langsung beralih kepada Gerald, tetapi juga bahkan membuat Baskara si bocah bulu yang sedang berusaha memanjat ke leher Fabian lagi sontak berhenti dan turut menatap ke arah Gerald, seakan kucing kecil itu mengerti bahwa situasinya sedang cukup serius dan ia seharusnya tidak banyak tingkah.
"Lo nggak jahatin dia, kan, Bi?” Gerald mendesak.
Daripada langsung menjawab, Fabian malah melayangkan pandangan jauh ke seberang, pada sosok Queen yang sudah kembali merubah penampilannya menjadi mode kerja. Malam ini, ia tampak seksi mengenakan dress berwarna merah yang panjangnya tidak pernah mencapai lutut. Belahan dada rendah juga selalu menjadi poin. Make up tebalnya yang tidak kelihatan norak juga selalu menjadi highlight, mendukung penampilannya agar semakin cetar membahana menembus khatulistiwa.
Hanya satu yang kemudian Fabian bawa ketika ia kembali menoleh ke arah Gerald, yaitu keheranan yang begitu besar sebab dilihat dari sudut mana pun, ia yakin mata Queen tidak kelihatan sembab. Dia yang menjadi saksi bahwa Queen memang menangis begitu hebat, tapi untuk orang lain yang bahkan tidak melihatnya secara langsung, bagaimana Gerald bisa tahu?
“Did something happen?”
“First of all, gue mau nanya sesuatu sama lo.” Fabian masih menolak menjawab. Ia harus memastikan sesuatu lebih dulu.
Alis kanan Gerald terangkat, namun ia tetap mengangguk. “Go ahead.”
“Kok bisa lo sedetail itu merhatiin soal Queen? Naksir?” tebaknya.
Normalnya, seseorang akan langsung terlihat terkejut, atau bahkan sampai menunjukkan reaksi berlebihan jika dituduhkan sesuatu yang tidak benar. Tapi Gerald, lelaki itu malah dengan tenang menuangkan kembali whiski ke dalam gelas miliknya, meski cairan itu berakhir tidak dia sentuh karena harus menjawab pertanyaan Fabian.
“Nope.” Masih begitu tenang, Gerald menjawab. Queen menjadi fokus utamanya kemudian, sementara Fabian juga ikut kembali melayangkan pandangan. “Jadi saksi gimana hancurnya di malam itu kayaknya udah bikin gue jadi over peka.”
“You sure? Lo mungkin naksir, tapi nggak sadar.” Tiba-tiba, Gerald terkekeh. Orang-orang yang melihat betapa baik ia memperlakukan Queen juga mengatakan hal yang sama. Mereka sibuk berasumsi, berpikir bahwa Gerald hanya sedang tidak mau mengakui perasaannya sendiri. Tapi Gerald bukan tipikal yang seperti itu. Dari dulu, dari hal-hal paling simpel di dalam hidupnya sekalipun, Gerald bisa menjamin bahwa ia yang paling tahu tentang apa yang dia inginkan. He’s the type of person yang akan selalu straight to the point, tidak berbasa-basi apalagi jika itu menyangkut perasaannya sendiri.
Maka semua tuduhan itu sama sekali tidak valid. Gerald tahu dia tidak menyukai Queen in a romantic way. Dia hanya merasa Queen adalah seseorang yang harus dia lindungi. Sebagaimana para anggota Pain Killer yang bersedia melakukan apa pun untuk melindungi satu sama lain, begitu pula ia dengan Queen.
“She’s just like a little sister to me. Dia bikin gue ingat sama Lova.”
Hanaria Lova. Sudah lama Fabian tidak mendengar nama itu di-mention lagi oleh Gerald. Memang tidak ada satu pun kesamaan antara Queen dengan Lova. Jadi Fabian sama sekali tidak menyangka bahwa kehadiran Queen justru membuat Gerald teringat pada sosok ‘adik’ tercintanya itu.
Fabian mengangguk paham, “Got it.” ujarnya.
“So, did something happen?” tanya Gerald lagi, menagih jawaban yang belum kunjung dia terima. “Lo nggak jahatin dia, kan?”
“She cried,” Fabian memulai jawabannya. M
Dan malam itu, obrolan mereka soal Queen berlanjut lebih lama. Dari A sampai Z. Dari hal-hal sederhana yang terlihat kasat mata, sampai hal-hal yang mereka simpulkan sendiri berdasarkan pengamatan mereka selama ini.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments