Meski tak banyak yang bisa dia lakukan selama di makam, nyatanya Fabian tetap menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Berbicara dengan gundukan tanah bisu walaupun dia tahu tidak satu pun dari ucapannya yang mendapat balasan. Dia hanya terus berbicara sebagai bentuk pengungkapan rindu, berbekal rasa percaya bahwa sejauh apa pun jarak antara dirinya dengan sang ibu, apa pun yang dia katakan masih akan sampai pada perempuan itu.
Walaupun tidak ada jawaban yang secara langsung dia dengar, Fabian percaya rindunya berbalas melalui hal-hal lain di sekitar. Bisa jadi kelopak bunga Kamboja yang tahu-tahu jatuh di atas pusara Raya, angin yang berembus lebih lembut seakan membelai kepalanya, atau bisa jadi malah melalui rintik-rintik hujan yang turun meski langit di atasnya sama sekali tidak mendung.
Fabian tahu, sebanyak apa pun rindu itu dia curahkan, sebanyak itu juga yang masih akan dia miliki di dalam dada. Sebab Raya sudah kadung hidup abadi di dalam hati dan kepala. Bahkan sebelum dia menemukan sisi lain ibunya yang diam-diam mencintai untuk membuatnya tidak terluka lebih banyak, ia sudah menempatkan perempuan itu di posisi pertama.
Hari menjelang sore ketika Fabian kembali ke mobilnya. Ketika dia menilik jam melalui ponsel, itu sudah menunjukkan pukul 14:45. Ternyata, memang sudah selama itu dia bersimpuh di dekat pusara sang ibunda. Titik gerimis yang datang di tengah terik matahari sudah berhenti, seperti ia merasa tidak percaya diri dan tak sanggup melawan kekeraskepalaan sang surya untuk tetap bertakhta dengan lagak jemawa.
Mobil Fabian lantas dilajukan kembali. Kali ini, dengan kecepatan sedang sebab dia ingin sekalian bernostalgia lebih banyak. Setiap kali dia melewati jalan atau tempat yang sering ia dan teman Pain Killer datangi, ia akan memelankan laju mobil untuk sekadar menyapa bayangan mereka yang hadir. Ini hari Minggu, jalanan cenderung sepi sehingga tidak akan ada yang melayangkan protes sekalipun ia mengemudi dengan kecepatan seperti orang yang baru belajar.
Matahari semakin bergerak ke sisi peraduan seiring dengan lebih jauhnya mobil Fabian melaju. Bukannya buru-buru agar bisa sampai rumah lebih cepat, dia malah menepikan mobilnya di dekat sebuah JPO yang masih aktif. Di bawahnya, ada halte busway yang beroperasi meski penumpang yang menggunakan jasanya tidak terlalu banyak. Wajar saja, halte itu letaknya bukan di lokasi dekat dengan area pelayanan umum seperti rumah sakit, bank, supermarket ataupun kampus maupun sekolah. Orang-orang yang menggunakannya kemungkinan hanya warga yang bermukim di sekitar.
Seraya menenteng kamera digital yang tadinya dia simpan di atas kursi penumpang depan, Fabian turun dari mobil. Tali kamera dia kalungkan di leher, lalu dia berjalan pelan-pelan menaiki satu persatu anak tangga untuk sampai di bagian atas JPO.
Sesampainya di atas, dia bergerak mendekat ke arah pagar pembatas setinggi dada. Ia terdiam sebentar, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru yang bisa dia tangkap dengan matanya. Jajaran gedung tinggi yang terlihat kosong, jalanan yang lengang, pohon-pohon tinggi yang ditanam di pinggir jalan untuk sekadar membantu meredam panas yang datang dari matahari di atas, juga hamparan langit luas di atas sana yang masih didominasi warna putih dan biru dari kumpulan awan-awan.
Sudah tahu apa yang akan dia lakukan, Fabian pun mengangkat kameranya, mulai membidik satu persatu objek yang menurutnya menarik. Satu demi satu foto mulai diambil, masuk ke dalam kartu memori di dalam kamera yang sudah menemaninya sejak berada di Kanada.
Di dalam kamera itu, tersimpan perjalanannya mengarungi hidup sendirian di negeri orang. Ia memotret banyak hal. Langit, laut, gedung-gedung tinggi, tempat-tempat bersejarah dan beberapa orang asing yang dia temui di jalanan Vancouver selagi dia menikmati sore dengan satu cup kopi.
Banyak hal baru yang dia temui di Kanada, hal-hal indah yang belum pernah dia temukan ketika di Jakarta. Tapi sekali lagi, tidak peduli seberapa indah dan cantiknya ia, Jakarta tetap menjadi pemenangnya. Sebab di sinilah dia meninggalkan begitu banyak kenangan yang berharga.
Bunyi shutter masih terus terdengar, pertanda masih banyak lagi gambar yang dia abadikan menggunakan kamera digital miliknya itu. Sampai kemudian, Fabian merasa perburuannya sudah cukup dan dia mulai menurunkan kameranya, berniat memeriksa hasil buruannya untuk dipilah mana yang layak disimpan dan mana yang boleh dibuang.
Well, sebenarnya, jarang sekali Fabian menghapus apa yang sudah dia bidik. Sebab menurutnya, setiap bidikan itu berharga. Momen di mana dia menekan tombol dan sebuah gambar diambil tidak akan terulang untuk kedua kalinya. Meski gambar yang dihasilkan untuk 2 kali bidikan tak jarang terlihat mirip, tetapi dia sadar bahwa keduanya memiliki perbedaan yang jelas. Baru-baru ini saja dia mulai memilah, sebab memori kameranya akan cepat habis jika dia terus memaksa untuk menyimpan semuanya.
Awalnya, setelah memeriksa satu persatu hasil bidikannya, Fabian berniat untuk pulang. Namun niat itu urung saat dia menemukan sebuah pemandangan yang cukup menarik perhatiannya di bawah sana, tepatnya di tepian jalan dekat zebra cross di area lampu lalu lintas.
Dilihatnya seorang wanita tua yang seluruh rambutnya sudah memutih kelihatan celingukan, ragu-ragu untuk mengayunkan kaki menyeberangi jalan karena sepertinya lampu lalu lintas yang ada di sana sedang tidak berfungsi dan kebanyakan pengendara yang lewat justru memanfaatkan hal itu untuk kebut-kebutan.
Fabian iba, terlebih saat dia melihat keberadaan tongkat yang membantu perjalanan si wanita dan satu kantong belanja berukuran besar di satu sisi tangannya yang lain. Ia ingin turun membantu, tetapi jarak antara tempatnya berdiri dengan si wanita tua itu cukup jauh. Tidak akan keburu meskipun dia berlarian ke sana.
Kemudian, ia bisa menghela napas lega saat matanya menangkap keberadaan seorang gadis yang berlarian dari arah belakang sang wanita tua. Gadis itu berhenti di sisi si wanita, merebut kantong belanja lantas mereka tampak berbincang, sepertinya si gadis muda sedang menawarkan bantuan untuk menyeberang.
Itu momen langka menurut Fabian. Karena di zaman sekarang ini, sudah jarang dia temukan orang-orang—khususnya anak muda—yang masih peduli pada keadaan di sekitar. Kebanyakan dari mereka sibuk dengan dunianya sendiri, asyik memainkan gadget tanpa mau melihat kondisi sekitar.
Maka, ia tidak ingin kehilangan momen itu. Kamera yang sudah diturunkan dia angkat kembali, buru-buru dia arahkan kepada dua orang yang sudah bersiap untuk menyeberang jalan itu. Tak ingin hanya mengambil dari jarak jauh, dia sampai mengaktifkan zoom, membuatnya bisa sampai membidik wajah dua wanita beda usia itu.
Bukan Cuma satu, Fabian mengambil beberapa gambar sekaligus, sekalian memastikan dua orang itu berhasil menyeberang dengan selamat.
Dengan begitu saja, senyum Fabian melebar. Adegan sesederhana itu saja berhasil membuat hatinya menghangat, membuatnya semakin percaya bahwa di dunia ini, tidak semua manusia adalah jahat.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments