Another Friend

Queen sepenuhnya menyadari bahwa pergerakannya selalu diawasi. Sejak ia masuk ke Mega, berganti pakaian lalu sibuk meracik minuman, ada empat pasang mata yang tak kunjung lepas dari tempat di mana dia berada. Empat pasang mata yang seakan ingin memastikan bahwa ia tidak ke mana-mana, tidak membuat keributan apa pun yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan untuk semua pengunjung yang datang. Sayangnya, jarak antara tempat duduk mereka dengan meja bar cukup jauh sehingga Queen tidak bisa mendengar apa sekiranya yang sedang mereka bicarakan tentang dirinya.

“Your boyfriend?” Queen menoleh, pada seorang laki-laki berusia akhir 20-an yang setengah jam lalu duduk di depan meja bar, minta dibuatkan minuman paling mahal seraya meletakkan selembar American Express. Mata sipit lelaki itu memandang ke arah di mana Fabian dan Gerald duduk memperhatikan dirinya.

“My Bos’s friend.” Queen menjawab sekenanya, kemudian meletakkan gelas yang barusan dia isi ulang.

Laki-laki berambut blonde yang panjangnya menyentuh leher itu kembali menatap Queen. Bibirnya yang semerah darah tampak bergerak, membentuk sebuah lengkungan samar yang masih bisa Queen tangkap dengan jelas.

“So, you’re single?” tanya lelaki itu lagi, senyumnya kian merekah, lebih-lebih setelah ia menyesap alkoholnya sedikit sambil menunggu jawaban dari Queen.

“Nah, I’m dating myself.” Itu kali pertama Queen mau menanggapi pertanyaan dari tamu yang notabene masih asing. Biasanya, dia akan langsung memasang sikap antipati, membangun tembok begitu tinggi hingga tak satu pun dari mereka bisa membangun relasi.

Laki-laki blonde itu terkekeh. Alkohol miliknya dia tenggak sekali habis, lalu dia sepenuhnya mencurahkan perhatian pada gadis di hadapannya. “Mark.” Ucapnya, merujuk pada momen perkenalan diri tanpa diiringi uluran tangan.

Queen terpaku pada laki-laki yang menyebutkan namanya sebagai Mark tersebut, kemudian ragu-ragu dia membalas. “You can call me Queen.” Kemudian kembali melayangkan pandangan ke arah Gerald dan Fabian.

“Aight, Queen, let’s be friends.” Mark kembali bersuara. Dan ajakan pertamanan itu membuat sebelah alis Queen terangkat. Kepribadiannya yang waspada menangkap ajakan pertemanan itu sebagai sesuatu yang mencurigakan, seperti gerbang awal menuju masalah baru.

“Gue nggak tertarik punya teman.” Dan itu adalah jawaban yang Queen berikan, lagi-lagi membuat Mark tertawa. Diperhatikan, Mark memang sepertinya tipikal yang receh, menertawakan hal-hal kecil yang bahkan tidak kedengaran lucu sama sekali.

“Gue maunya jadi pacar lo, at first, tapi lo bilang you’ve already dating yourself, so I offer you that friendship.” Mark bicara enteng sekali, lalu kembali menarik ujung bibirnya cukup tinggi.

Queen menatap Mark cukup lama, lantas menghela napas rendah setelahnya. “Gue benar-benar nggak berminat nyari teman, Mark. You know kelab bukanlah tempat buat menemukan teman. Di sini tempat orang mabuk, tempat orang berbuat maksiat. Teman macam apa yang lo harap bisa dapat di tempat kayak gini?”

Mark tersenyum tipis, “Kalau gitu, ayo kita ketemu di luar Mega. Let’s meet as a different person.” Ia masih kekeuh pada tawaran pertemanannya.

Menyadari bahwa Mark ternyata bukan lawan yang mudah, Queen pun menyerah. “Terserahlah, Mark. Do whatever you wanted to, but don’t you dare to ever touch me. Seujung kuku sekalipun.” Ia memperingatkan.

Mark mengangguk-anggukkan kepala. Dalam kacamatanya, Queen memang berbeda. Sejak kali pertama dia menemukan eksistensi gadis itu di Mega beberapa bulan sebelumnya, Mark sudah tahu dia menginginkan relasi yang cukup dekat dengannya. Sebuah pertemanan bukan ide buruk, sebab dari sana, jenjang-jenjang lain biasanya akan lebih mudah untuk dituju. Malam ini adalah kali pertama dia muncul secara langsung ke hadapan gadis itu, dan dia tidak ingin membuang waktu untuk basa-basi sialan yang hanya akan berakhir sia-sia.

...🍂🍂🍂🍂🍂...

“Lama-lama lo kayak homeless.” Queen mengomel sambil meletakkan gelas berisi cokelat panas yang dipesan oleh Fabian. Bukannya pulang, laki-laki itu malah pergi ke ruang VVIP, rebahan di sofa sambil menonton serial thriller yang sedang menjadi nomor satu di Netflix. Si anak bulu, Baskara, juga turut melingkarkan tubuh di dekat perut sang babu, mata bulatnya yang lucu menatap serius pada layar televisi, seolah-olah dia mengerti apa yang sedang ditayangkan di sana.

“Mega juga adalah rumah gue.” Fabian menjawab tanpa sedikit pun menoleh. Yang mana hal itu kembali membuat Queen mendesah kesal.

Pukul 2, kelab sedang ramai-ramainya, tapi si teman bos yang tidak tahu diri ini malah memanggilnya untuk datang membawakan segelas cokelat panas. Queen sendiri tidak habis pikir kenapa Gerald bahkan rela menggantikan dirinya di belakang meja bar, meracik minuman untuk orang-orang yang uangnya belum tentu lebih banyak ketimbang miliknya sendiri. Hanya demi seorang teman yang... entahlah, Queen sudah kehabisan stok kosakata untuk menghina Fabian.

“Geser.” Pada akhirnya, Queen memilih untuk turut bergabung. Tak hanya mengantarkan cokelat panas, Fabian juga menyuruhnya untuk stay di sini hingga setidaknya satu jam ke depan. Entah apa tujuannya, tetapi ide itu telah disetujui oleh Gerald sehingga dia tidak memiliki opsi selain menurut.

Fabian bergerak pelan mendudukkan diri, tak ingin posisi nyaman Baskara terganggu hanya demi dirinya bisa memberikan ruang yang cukup agar Queen bisa ikut duduk. Dan di sepanjang kegiatan itu, Fabian masih terus fokus pada layar televisi.

Queen duduk di ujung sofa, menumpukan dagu pada lengan yang dia letakkan dia atas sofa. Meskipun tidak terlalu menyukai film dengan genre thriller, ia tetap ikut menonton. Sesekali harus memejamkan mata ketika muncul adegan yang menurutnya terlalu sadis untuk bisa dilihat oleh mata manusia.

Sementara di posisinya, Fabian sudah tidak lagi peduli pada apa yang dipertontonkan melalui layar televisi di depan mereka. Sejak Queen duduk di sebelahnya, fokus Fabian sepenuhnya tertuju pada gadis itu. Dengan saksama ia mengamati bagaimana Queen memejamkan mata sesekali, bagaimana gadis itu menggigit bibir bawahnya sambil mengepalkan satu tangan yang berada di atas pangkuan, juga saat gadis itu menghela nafas lega—entah karena apa.

“Yang ngobrol sama lo tadi siapa?” tanyanya, tepat ketika layar televisi telah menampilkan kredit yang berarti film yang mereka tonton telah selesai.

Queen menoleh dengan kening mengerut, “Siapa yang lo maksud?” tanyanya balik.

“Cowok blonde yang kayaknya blasteran itu.”

Terlihat berpikir sebentar, Queen kemudian berkata, “Mark?” dengan tanda tanya diujung sebab ia pun tidak yakin apakah memang Mark yang dimaksud oleh Fabian.

“Namanya Mark?” Fabian bertanya lagi. “Sound like a loser.” Cibirnya kemudian.

Queen mendelik, bukan karena Fabian baru saja mengatai Mark, tetapi karena dia menemukan lelaki di sampingnya itu menunjukkan raut wajah yang menyebalkan.

“Loser or not, apa hubungannya sama lo?” tanya Queen sinis.

“Just don’t like him. Auranya aneh.”

“You’re the weirdest, don’t you know?” Queen balik menyerang.

Fabian merapatkan bibirnya, terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya membuang napas keras-keras. “Lo minum tuh cokelat panas, abis itu rebahan aja di sini sampai satu jam lo habis. Gue sama Baskara mau balik.” Dan alih-alih membela diri, lelaki itu malah meraih tubuh Baskara, memeluknya lalu berdiri.

“Are you kidding me? Lo minta gue buat bikinin cokelat panas, yang mana itu sama sekali nggak ada di daftar menu, cuma buat lo tinggalin gitu aja?” Queen ikutan berdiri, menatap nyalang pada Fabian yang dia pikir sedang mengerjai dirinya untuk kesenangan lelaki itu sendirian. “Keterlaluan!”

“Gue minta lo bikinin cokelat panas itu emang buat diri lo sendiri.” Fabian menanggapi dengan santai. Matanya menatap lurus ke arah Queen, sementara tangannya mulai bergerak membelai bulu-bulu halus Baskara. “Lo capek, dan gue cuma mau kasih kesempatan buat lo istirahat. Jadi daripada lo marah-marah, mending duduk lagi, minum cokelatnya terus gunain waktu istirahat lo dengan baik.”

“Gue nggak butuh—“

“Badan lo butuh.” Fabian memotong. “That body isn’t yours. Dia punya hak buat istirahat, sekalipun lo pikir lo nggak membutuhkannya.”

“Gue sama Baskara balik, mungkin gue nggak akan ke sini buat beberapa hari ke depan. Informasi aja sih, takutnya lo kangen.” Lalu setelah menyeletuk begitu, Fabian keluar dari ruang VVIP.

Seiring dengan punggung Fabian yang semakin mengecil dan akhirnya hilang di balik pintu, Queen menahan diri untuk tidak berlari menerjang tubuh lelaki itu. Ia kesal, karena sekalipun dia tidak ingin melakukan apa yang Fabian katakan, dia tetap berakhir tidak punya pilihan.

“Inilah kenapa gue nggak pernah berniat membangun relasi dengan manusia mana pun.” Gerutunya, namun tak urung kembali duduk di sofa, menenggak cokelat panas bikinannya sendiri hingga benar-benar tandas—menyebabkan perutnya kembung karena minum terlalu terburu-buru.

Ini baru satu. Baru si Fabian yang punya koneksi baik dengan bosnya, Gerald. Belum si blonde Mark yang dilihat sekilas saja sudah pasti bukan orang sembarangan. Coba bayangkan jika dua ‘teman’ itu mulai melakukan hal-hal yang tak bisa ia bantah seperti yang sekarang ini, akan betapa pusingnya Queen nanti?

Mungkin memang paling benar dia hidup sendiri di sebuah pulau tak berpenghuni. Agar ia memiliki kontrol atas dirinya sendiri, tanpa peduli pada ‘teman’ yang suka bertingkah aneh bin ajaib seperti Fabian dan Mark si blonde.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Zenun

Zenun

takut di tinggalkan?

2023-08-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!