Where'd You Go?

Mega tanpa Fabian terasa lain, seperti ada bagian yang hilang, persis susunan puzzle yang tak bisa diselesaikan sebab salah satu kepingannya menghilang. Queen benci untuk mengakuinya, tetapi memang begitulah yang dia rasakan setelah genap empat hari lelaki absurd itu tak menampakkan batang hidungnya. Selama kurun waktu itu pula, si blonde Mark juga tidak datang. Seakan pertemanan mereka yang baru diresmikan beberapa malam lalu menjadi kali pertama dan terakhir mereka bertemu.

Queen menarik kursi, mendudukkan bokongnya di sana kemudian bertopang dagu di atas meja bar. Pada keramaian yang terjadi di dance floor, ia berusaha mencari pengalihan. Semakin malam, orang-orang yang ada di sana akan semakin liar. Yang awalnya hanya berjoget mengikuti irama musik yang dimainkan oleh disc jockey, lama-kelamaan beberapa di antara mereka akan mulai berbuat rusuh. Tiba-tiba mencium pengunjung lain, sengaja menabrakkan diri untuk memulai keributan, sampai tahu-tahu menghilang di tengah lautan manusia karena mendadak pingsan ketika sedang asyik berjoget. Dua tahun bekerja di Mega, dance floor adalah satu-satunya area yang tidak pernah ingin Queen tapaki. Semua yang ada di sana terlalu bar-bar untuk dirinya.

“How’s your day, Queen?” seorang tamu VIP baru saja mengambil posisi duduk di depan Queen. Laki-laki berusia akhir 50-an yang merupakan salah satu pejabat kota. Namanya cukup terkenal, sering nampang di berbagai media. Sayangnya, bukan untuk berita yang baik, melainkan berita-berita penuh kontroversi yang membuatnya lebih dikenal sebagai si biang onar.

“Not your business.” Queen menjawab acuh, lalu kembali pada kegiatannya memandangi orang-orang yang sudah mulai bar-bar dalam menggerakkan anggota tubuhnya.

Zul, laki-laki tadi, tertawa. Suara tawanya yang renyah membuat Queen memutar bola mata malas. Setelah ini, dia tahu lelaki itu akan mulai bicara omong kosong. Soal jabatannya yang akan berakhir tahun ini, soal anak bungsunya yang gagal masuk universitas negeri, soal bisnis keluarga yang seret karena kekurangan subsidi, dan masih banyak lagi. Sama seperti tamu kebanyakan, Zul memang cenderung banyak bicara, dan bagi Queen itu sangat menyebalkan.

Selagi mendengarkan ocehan Zul yang tahu-tahu sudah sampai kepada topik tentang pertahanan negara, Queen mengedarkan pandangannya, menyapu setiap sisi Mega dengan saksama, berharap orang yang dia rindukan kehadirannya tahu-tahu muncul dari sudut yang tak terduga.

Lalu, dia terkekeh atas angan bodohnya tersebut setelah sadar bahwa dia sedang hidup di dunia nyata, bukannya di negeri dongeng di mana ia adalah Cinderella yang sudah pasti akan bertemu dengan Prince Charming ketika malam tiba.

Kekehan itu disalahpahami oleh Zul sebagai respons atas ceritanya, sehingga lelaki itu berhenti bicara dan menatap Queen dengan alis yang bertaut.

Sadar dirinya sedang diperhatikan, Queen cepat-cepat kembali ke model cool. Beberapa kali berdeham, ia pun menegakkan badan, mulai membawa dirinya kembali pada realita kehidupan yang tak seindah di drama-drama percintaan.

“Mau minum apa?” tanyanya dengan nada suaranya yang dingin seperti biasa.

Untuk ukuran tamu VIP, pelayanan yang Queen berikan memang tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Tetapi anehnya, baik Zul ataupun tamu yang lain, tidak pernah ada yang protes atas sikap Queen tersebut. Mereka cenderung biasa-biasa saja, malah menganggap sikap cool yang Queen tunjukkan sebagai angin segar di tengah banyaknya pekerja malam yang mudah sekali untuk didekati.

“Saya nggak mau minum malam ini, cuma mau kamu dengerin cerita saya aja.” Jawab Zul, dan tentu saja Queen langsung mendesah malas.

“Saya ini kerja sebagai bartender, tugas saya nyiapin minuman, bukan malah dengerin curhatan dari orang-orang yang hidupnya penuh problem kayak Anda.” Tanpa meminta persetujuan dari Zul, Queen menarik gelas kosong, meletakkannya ke hadapan Zul lalu langsung menuangkan Vodka ke dalam gelas pendek tersebut. “Mau pakai es atau nggak?” tawarnya.

Zul yang awalnya tidak berniat untuk minum akhirnya menghela napas pasrah. “Nggak usah, orang tua kayak saya ini udah nggak bisa minum es banyak-banyak.” Tuturnya, lalu Vodka di dalam gelas dia tenggak sekali tandas.

“Minum es nggak bisa, tapi minum Vodka bisa habis satu botol sendirian.” Queen tersenyum mengejek, namun tak urung tetap menuangkan Vodka ke dalam gelas milik Zul yang telah kosong.

“Ini karena kamu. Kamu yang selalu maksa saya buat minum setiap kali datang ke sini.” Zul beralasan.

Queen berdecak, “Nggak saya paksa pun Anda pastu akan minum dengan sukarela.” Ujarnya.

Kemudian, tak ada lagi obrolan. Queen membiarkan Zul menikmati Vodka sendirian, sambil sesekali membalas ocehan lelaki itu dengan sekenanya selagi pandangannya kembali berkeliaran. Kali ini, yang menjadi sasaran adalah spot di ujung nun jauh di sana, di mana dalam kegelapan, terdapat pasangan gay yang sedang memadu kasih bagai dunia hanya milik berdua.

Queen bukan orang yang usil. Dia tidak pernah peduli pada yang namanya orientasi seksual seseorang. Jadi, melihat pasangan gay bermesraan seperti itu sama sekali tidak mengganggu pikirannya. Malahan, Queen terkadang merasa itu kepada mereka. Sebab mereka berani mengambil risiko untuk jatuh cinta meski sudah tahu bahwa musuhnya adalah satu dunia. Sedangkan Queen sendiri, yang yakin bahwa dirinya masih 100 persen menyukai laki-laki, tidak pernah berani untuk jatuh cinta karena takut yang akan dia temui adalah laki-laki berengsek seperti ayahnya. Laki-laki bajingan yang sampai hati menjual darah dagingnya sendiri hanya demi memenuhi nafsu duniawi.

Ah, omong-omong soal ayahnya... Apa kabarnya laki-laki tua itu sekarang? Masih hidupkah? Atau sudah mati dihajar oleh para debt collector yang datang menagih hutang?

“Halo?!”

Queen mengerjap beberapa kali saat merasakan ada embusan angin yang cukup kencang di depan wajahnya. Karena sedari tadi dia hanya berdua saja dengan Zul, maka Queen tidak perlu repot-repot untuk mencari siapa pelakunya. Hanya saja, yang membuat Queen keheranan adalah respons Zul yang selanjutnya, ketika dia sudah sepenuhnya menaruh atensi kepada lelaki itu. Alih-alih menatapnya, Zul malah terus-menerus menatap ke arah belakang tubuhnya, dengan tatapan ngeri-ngeri sedap yang seketika membuat Queen juga ragu-ragu untuk menoleh dan memeriksa.

“Ada apa? Di belakang saya ada setan?” tanyanya kepada Zul dengan suara nyaris seperti berbisik.

“Devil.” Zul balas berbisik. Kengerian semakin terpancar jelas di wajah lelaki itu, hingga mau tak mau, Queen memberanikan diri menoleh sedikit.

“****.” Queen mengumpat, lalu malah mendekatkan tubuhnya ke arah Zul hingga kepala mereka nyaris bersentuhan. “Sejak kapan dia ada di sana?”

“Sejak kamu asyik ngeliatin para gay itu ciuman.” Zul mencicit.

Queen sudah membuka mulut, hendak bersuara, ketika sebuah suara lain sudah lebih dulu menyapa. Suaranya dekat sekali, persis di belakang telinganya. Dan karena Queen bukan orang idiot, dia tidak menolehkan kepala untuk memeriksa. Pergerakan Zul yang perlahan tapi pasti dalam menjauhkan diri adalah bukti bahwa devil yang tadi masih berdiri jauh di belakang kini sudah berada persis di belakangnya, siap untuk menelannya hidup-hidup.

“What are you doing, Queen? Didn’t I tell you to take your time in VVIP’s room?”

“You did.” Queen berbisik, masih enggan menoleh karena dia merasa Gerald bergerak semakin dekat.

Queen kira bosnya itu akan pergi untuk waktu yang cukup lama, jadi dia melompat turun dari sofa di ruang VVIP dan kembali duduk di belakang meja bar, melanggar perintah Gerald sebelumnya yang menyuruhnya untuk beristirahat di ruang VVIP dan membiarkan karyawan lain menghandle para tamu.

“Terus kenapa malah di sini?” ketika suara Gerald kedengaran menjauh, Queen baru berani menoleh. Tapi itu juga bukan kabar baik karena lelaki itu kini berdiri menjulang di hadapannya, berkacak pinggang.

“I’m bored. Lagi pula, tangan aku udah oke.” Ujarnya seraya menunjukkan tangan kirinya yang cedera di bagian pergelangan.

Itu terjadi kemarin, ketika dia sedang membereskan sisa-sisa kekacauan yang dibuat oleh salah satu tamu VVIP, dan dia malah berakhir melukai pergelangan tangannya sendiri. Itu juga yang membuat Gerald memintanya untuk beristirahat saja di ruang VVIP. Tadinya, lelaki itu malah memintanya untuk tidak usah masuk kerja, namun Queen menolak dengan dalih ia masih sanggup mengerjakan beberapa hal yang tidak membutuhkan terlalu banyak tenaga.

“If I told you to take a rest, then you should do that, instead of being stubborn like this.” Kecepatan mengomelnya masih standar, tetapi sorot matanya yang galak membuat Queen tidak berani memberikan bantahan. “Balik ke ruang VVIP, take a rest, ‘till I told you to get back to your job.”

Tak kuasa menolak, Queen pun bangkit dari kursi. Dengan langkah gontai ia berjalan meninggalkan meja bar yang sudah seperti separuh nyawanya sendiri, pergi ke ruang VVIP seperti apa yang Gerald perintahkan.

Sambil berjalan, ia kembali memandangi pergelangan tangan kirinya yang jika dilihat sekilas sama sekali tidak terlihat ada yang terluka. Namun ketika dia salah menggerakkannya sedikit, rasa ngilu yang timbul akan sangat luar biasa. Sampai bisa membuatnya meringis dan hampir-hampir mengeluarkan air mata.

Setibanya di ruang VVIP, Queen langsung merebahkan diri di sofa. Nelangsalah ia kala membayangkan betapa akan lebih baiknya jika ada Fabian di sini bersamanya. Setidaknya, ada teman untuk diajak adu mulut, sehingga dia tidak perlu hanya sekadar berbaring dan melamun seperti manusia paling tidak berguna di seluruh alam semesta.

Kira-kira, ke mana perginya lelaki itu sehingga tak kunjung menampakkan diri?

Bersambung

Terpopuler

Comments

Raudatul zahra

Raudatul zahra

queen rindu???

2023-12-02

0

Zenun

Zenun

ke hatimu

2023-08-07

1

Zenun

Zenun

waw, queen judes juga hhe

2023-08-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!