“Namanya Baskara.”
“Baskara?” Queen mengerutkan kening. Keheranan dengan pemilihan nama untuk kucing kecil yang akhirnya dibawa pulang oleh Fabian. Ia hanya penasaran, kenapa Baskara? Kenapa bukan nama lain yang umum untuk diberikan kepada hewan peliharaan? Si Manis, Si Hitam, Si Kecil. Misalnya nama-nama yang seperti itu. “Kenapa Baskara?”
“He’s my friend now,” tapi, itu tidak menjawab pertanyaan Queen. “I love the name, nggak usah banyak tanya.” Dan yeah, mulai muncul lagi sisi menyebalkan Fabian yang akhirnya membuat Queen memutar bola mata jengah.
“Lo emang ngeselin gini ya orangnya?” Queen bertanya dengan tatapan tertuju pada si Baskara yang sedang tidur di ranjang yang hangat. Yup, mereka sekarang ada di rumah Fabian, dan Queen sendiri tidak mengerti kenapa dia iya-iya saja saat Fabian memintanya ikut pulang. Dan, oh, ia juga menurut saja ketika Fabian menyuruhnya untuk bicara santai, jangan lagi menggunakan sebutan ‘saya’ dan ‘anda’ karena kesannya terlalu kaku.
Fabian terkekeh mendengar pertanyaan itu, mengingatkannya pada seseorang di masa lalu yang juga gemar sekali melemparkan pertanyaan sarkas semacam itu. “I am. Cuma orang-orang sabar yang mau temenan sama gue.”
“Poor Baskara.” Tiba-tiba, Queen nyeletuk begitu. Dramatisnya, perempuan itu menatap nanar sosok Baskara yang terlelap, seakan sedang meratapi nasib bocah bulu itu ke depannya. “He could’ve have a better friend.”
“No one can treat him better than me, I guarantee.” Tutur Fabian begitu percaya dirinya.
Queen berdecak malas. Kantuk yang mulai datang menyerang di sepanjang perjalanan pulang dari pet shop mendadak hilang lagi. Apalagi, setelah dia mendengar begitu banyak omong kosong dari laki-laki yang kini telah merubah penampilannya menjadi hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana kolor warna hitam.
“Non, kamarnya udah Mbok siapain, silakan dipakai.”
Queen dan Fabian serempak menoleh pada Mbok Darmi yang barusan muncul dari lantai atas, berjalan pelan menuju ruang tengah dengan sebuah kemoceng bulu-bulu di tangan.
“Saya?” Queen menunjuk dirinya sendiri, Mbok Darmi mengangguk. “Saya mau pulang habis ini.”
Mendengar itu, Mbok Darmi melirik ke arah Fabian. Bukankah ia diminta untuk membereskan kamar tamu supaya Queen bisa menggunakannya? “Aden,” panggilnya pelan, meminta penjelasan.
Fabian nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala. “Saya belum nanya sama Queen, apa dia mau tidur di sini atau nggak.”
Tidak seperti Mbok Darmi yang geleng-geleng kepala dengan air muka yang masih kalem, Queen sontak menoleh kembali ke arah Fabian seraya mendelik. “Gue mau pulang,” tegasnya. “Dari awal gue setuju ikut lo ke sini Cuma buat mastiin kalau Baskara udah lo kasih tempat yang layak.”
“Gue males nganterin lo.”
“Bisa pulang sendiri.” Queen bersungut-sungut. Sudah bersiap-siap ia hendak bangkit dari posisi lesehan di lantai ketika lengannya dicekal oleh Fabian.
“Nggak bisa gitu, anjir. Yang ada gue diomelin sama Gerald.”
“Apa hubungannya sama Bos Gerald, sih?”
“Jelas ada, lah.” Setelah melepaskan cekalan di lengan Queen, Fabian beralih menyambar ponsel dari atas meja lalu men-dial nomor Gerald dengan gerakan secepat kilat.
“Ngapain, sih?”
Tuttt... Tuttt... Tuttt
“Duh, di mana sih manusia ini.” Fabian mendumal.
“Lo nelepon siapa, sih?” si Queen makin cerewet. Fabian hanya melirik sekilas, memberi tanda agar Queen diam dengan menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya.
Sayangnya, percobaan pertama dalam menelepon Gerald gagal total. Si tengik itu tidak menjawab telepon. Namun, Fabian tidak menyerah. Dia terus mencoba sampai akhirnya Gerald mengangkat teleponnya di percobaan keenam.
“Ha—“
“Ger, gue mau ngomong, lo dengerin baik-baik.” Potongnya cepat. Terdengar suara hela napas dari seberang, namun Fabian tidak memiliki cukup waktu untuk peduli, jadi dia melanjutkan kalimatnya. “Ini si Queen lagi di rumah gue, as I said before, kita habis rescue anak kucing yang kecelakaan.”
“Terus?”
“Nah, the problem is, gue terlalu malas buat nganterin Queen pulang ke rumahnya sekarang. Jauh, anjir, dari ujung ke ujung.”
“Ya terus? Ah, to the point aja, sih. Belibet bener, heran.”
“Boleh nggak kalau gue suruh dia tidur aja di rumah gue? Besok baru gue anterin dia langsung ke Mega.”
“Anying! Jangan aneh-aneh deh lo! Itu anak orang—“
“Nggak akan gue apa-apain, elah. Lagian gue di rumah nggak sendirian, ada Mbok gue.”
“Tetap aja—“
“Please lah, daripada gue suruh pulang sendiri anaknya? Hayo, pilih mana?”
Queen hanya bisa menghela napas berkali-kali mendengar perdebatan antara Fabian dengan Gerald. Di sampingnya, Mbok Darmi yang masih berdiri pun hanya bisa turut mendengarkan tanpa berani untuk menyela. Lebih tepatnya, ia tidak punya alasan untuk ikut campur karena sampai detik itu pun, dia masih tidak mengerti apa hubungan Fabian dengan Queen.
Gerald terdengar mendengus sebelum akhirnya menjawab “Ya udah,” dengan mau tak mau. “Tapi lo harus pastiin Queen aman, ya? Kalau lecet sedikit aja, lo gue end.”
Fabian bisa membayangkan Gerald sedang memperagakan gerakan seperti menggorok lehernya sendiri ketika lelaki itu mewanti-wanti dirinya.
“Aman. Masa iya lo nggak percaya sama gue, sih?”
“Sialan. Kalau udah nggak ada yang mau lo omongin, gue tutup.” Lalu dengan begitu saja, telepon betulan ditutup.
Tak apa, Fabian tidak keberatan karena toh dia sudah mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Loud speaker yang sengaja dia nyalakan memang bertujuan untuk membiarkan Queen mendengar langsung jawaban Gerald, sehingga kini perempuan itu tidak bisa membantah lagi alias kicep.
“Mbok Darmi nginep di sini ya malam ini.” Pinta Fabian seraya mengeluarkan ekspresi wajah manis andalannya.
Kalau sudah begitu, Mbok Darmi tidak bisa menolak. Oh, rasanya, tidak ada siapa pun yang akan bisa menolak saat disuguhi raut wajah seperti itu.
“Kalau gitu, Mbok ke Dapur dulu siapin makan malam.” Ujar Mbok Darmi.
Fabian mengangguk seraya tersenyum lebar, sementara Queen masih tidak bisa mengenyahkan raut wajah kesal yang dia tujukan untuk Fabian.
Bahkan sampai mereka ditinggalkan hanya berdua—bertiga dengan Baskara—pun, Queen masih saja menatap tajam Fabian, persis seperti singa lapar yang hendak menerkam mangsanya untuk makan malam.
“Terakhir kali ada yang natap gue sampai segitunya, orangnya langsung jatuh cinta dan tergila-gila.” Celetukan itu membuat Queen semakin meradang. “Ya, Cuma ngingetin aja sih, takutnya lo jatuh cinta sama gue kan repot nantinya.”
Lalu setelah puas menggoda Queen hingga membuat dua tanduk berwarna merah muncul di kepala perempuan itu, Fabian mendekati Baskara. Perlahan, dia mengangkat kasur empuk milik bocah bulu itu, membawanya naik ke lantai atas dengan langkah yang terayun hati-hati agar Baskara tidak terbangun.
Sementara di tempatnya duduk, Queen kembali mengutuk apa saja yang tertangkap oleh matanya. Punggung Fabian, semut yang tidak sengaja lewat di kakinya, bahkan mengharum ruangan otomatis yang sedang menyemburkan cairannya. Pokoknya, semua hal jadi terlihat menjengkelkan di mata Queen sekarang.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Zenun
pilih di jemput Gerald aja
2023-08-06
2