Rasanya asing. Sudah sejak lama Queen tidak mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari orang-orang sekitar setelah ibunya meninggal. Bahkan ayah yang seharusnya melindungi dirinya pun malah sering berbuat kekerasan sampai tega untuk menjualnya ke rumah bordil tempat para pria hidung belang mencari kepuasan. Maka ketika Mbok Darmi berkali-kali memindahkan lauk ke atas piring miliknya, Queen justru mematung dengan dada yang terasa sesak. Matanya berkabut, sebab air mata telah menggenang dan siap untuk tumpah jika ia izinkan.
Sementara di seberang meja sana, Queen tidak tahu bahwa Fabian sama sekali tidak melepaskan tatapan sejak pertama kali mereka duduk di meja makan. Lelaki itu terus menatap Queen, meneliti setiap pergerakan yang dilakukan oleh Queen, bahkan yang terkecil sekalipun.
“Makan yang banyak, Non.” Ujar Mbok Darmi, entah sudah yang ke-berapa kali.
Queen masih tidak menyahut. Semakin lama, kabut di matanya semakin menumpuk dan bodohnya, dia malah menunduk. Maka jebol sudah pertahanannya. Air mata yang dia simpan rapat sendirian, akhirnya tumpah juga. Banjir melanda wajahnya. Getaran hebat yang muncul akibat usahanya menahan isakan pun tidak dapat dihindarkan, membuatnya seketika menjadi pusat perhatian bagi dua orang di sana.
Sungguh, Queen tidak ingin merusak suasana. Tapi perasaannya begitu sulit untuk dikendalikan dan ia malah menangis makin hebat ketika tangannya menyeka buliran air mata yang menggenang di pipi.
Melihat kondisi Queen yang seperti itu, selera makan Fabian seketika hilang. Ia meletakkan kembali sendoknya, urung memasukkan sesuap lagi nasi ke dalam mulut lalu menyambar gelas dan meneguk air di dalamnya sampai tandas.
“Mau makan di kamar aja?” tawarnya kemudian. Sebagai seseorang yang pernah juga merasakan betapa asingnya suasana di meja makan, Fabian bisa memaklumi perasaan Queen saat ini. Di dalam dada perempuan itu pasti sedang berkecamuk banyak hal, tumpang-tindih hingga membuatnya sesak bukan main.
“Ayo, ke kamar aja. Gue bawain makanan lo ke sana.” Fabian bangkit, lalu diraihnya lengan Queen lembut agar perempuan itu turut bangkit bersamanya.
Tidak ada penolakan. Queen menurut kala ia menggandeng lengannya untuk naik ke lantai dua, meski kepala perempuan itu masih terus menunduk dan getaran di bahunya tak kunjung mereda.
Sampai di depan kamar tamu, Fabian membukakan pintu, mempersilakan Queen masuk lalu segera meninggalkan perempuan itu untuk mengangkut makan malam agar bisa dinikmati di dalam kamar.
“Saya anterin makanan Queen dulu, nanti kita lanjutin makannya.” Ujar Fabian kepada Mbok Darmi yang tampak kebingungan. Perempuan itu hanya mengangguk, lalu Fabian kembali berlalu dengan membawa piring dan gelas berisi air minum milik Queen.
Dari ambang pintu, sebelum dia benar-benar masuk ke dalam kamar tamu, suara isakan Queen kedengaran lebih jujur. Tidak ada lagi usaha untuk meredamnya, entah karena dia sudah pasrah atau memang tidak lagi punya daya.
Pemandangan seperti itu mengingatkan Fabian pada dirinya sendiri dari masa lima tahun silam. Itu adalah masa di mana dia pertama kali menyantap masakan ibunya, yang tidak pernah dia duga akan sangat dia rindukan bertahun-tahun kemudian. Queen yang menangis tersedu-sedu di depannya itu adalah wujud lain dari dirinya di masa lalu. Versi dirinya yang datang dalam bentuk lain, namun dengan luka yang kurang lebih hampir sama.
Cukup lama Fabian berdiri di ambang pintu, menyaksikan Queen tenggelam dalam tangis seorang diri. Sampai akhirnya dia kembali mengayunkan langkah, menghampiri Queen yang terduduk di tepian ranjang.
“Kalau udah capek nangis, buruan makan, ya. You know, nangis itu nguras banyak banget energi.” Ia berkata setelah meletakkan piring dan gelas ke atas nakas.
Queen tidak menyahut dengan kalimat, namun perempuan itu mengangkat kepala, menyuguhkan pemandangan wajah sembab dan hidung merah yang berair.
“Jelek banget muka lo,” Fabian meledek, diselingi kekehan ringan ketika telapak tangannya yang besar tanpa permisi mengusap jejak air mata di pipi Queen. “Nah, gini lebih cantik.”
Malu dan salah tingkah, Queen menepis tangan Fabian kasar lalu memalingkan wajahnya. Air matanya sudah berhenti mengalir, sesak di dadanya juga sudah berangsur membaik.
Fabian terkekeh lagi. Lalu, ia meraih piring, meletakkannya di atas pangkuan Queen. “Makan, habisin. Gue mau turun buat nemenin Mbok Darmi makan. Nanti gue ke sini lagi, kita ngobrol, oke?” meski Queen tidak menyahut, Fabian yakin perempuan itu mendengar titahnya dan akan menurut. Maka setelah mengatakan itu, Fabian berlalu, memberikan waktu untuk Queen menikmati makanannya tanpa gangguan.
...🍂🍂🍂🍂🍂...
Gudang penyimpanan bir milik Raya yang sudah lama tidak dijamah akhirnya kembali mendapatkan tamu. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus.
Usai menghabiskan makan malam bersama Mbok Darmi di dapur, Fabian naik untuk memeriksa kondisi Queen. Syukurlah makanan di piring sudah habis dan kondisi perempuan itu terlihat lebih baik. Lalu daripada tidak tahu harus mengobrolkan soal apa di kamar, Fabian mengusulkan agar mereka pergi ke gudang penyimpanan bir dan mengobrol di sana.
“Lo punya segini banyak koleksi minuman keras, tapi masih lebih milih datang ke Mega yang berisik?” Queen bertanya sembari mengedarkan pandangan ke seluruh gudang yang berisi berbagai jenis alkohol. Minimnya pencahayaan tidak menghalangi Queen untuk mengenali mereka satu persatu.
“Ini semua bukan punya gue.” Saat menjawab, Fabian sambil mencomot satu botol red wine yang umurnya paling tua, membawanya ke meja bundar tempat di mana ibunya biasa minum-minum dulu. “Nyokap gue punya, dan gue nggak pernah berani minta.” Sambungnya setelah duduk di salah satu kursi.
Queen membalikkan badan, sebelah alisnya naik. “Tapi sekarang lo berani ambil salah satu koleksi yang paling tua?” tanyanya dengan tatapan tertuju pada botol red wine di atas meja. “Lo yakin nyokap lo nggak akan marah?”
“Dia udah mati,” Fabian menjawab santai. Tidak ada kesedihan yang terdengar dari nada suaranya sama sekali. Padahal kalau mau menilik lebih dalam ke hatinya, ia sedang menangis. Mengingat Raya dan bagaimana hidup perempuan itu berakhir selalu membuat Fabian ingin menangis. Hanya ego dan kekeraskepalaannya saja yang membantu air mata itu tidak luruh. “Kalau dia masih hidup, gue nggak akan berani masuk ke sini.”
Daripada menunjukkan rasa simpati, Queen malah berjalan mendekat dengan raut wajah datar. “Di akhirat sana, nyokap lo pasti lagi ngutuk lo karena udah lancang ngambil milik dia yang berharga.” Lalu perempuan itu mendudukkan bokongnya di kursi yang lain.
Fabian hanya terkekeh. Kemudian, dia membuka penutup botol red wine lalu menuangkan cairan berwarna merah itu ke dalam gelas tinggi, menyodorkannya ke arah Queen. “Cobain,” ujarnya.
Queen menurunkan pandangan sekilas, menatap red wine yang menampilkan warna merah menggoda di dalam gelas. “Gue belum pernah minum alkohol.” Jujurnya kemudian. Mungkin kedengaran konyol, seorang bartender yang bekerja menyajikan minum untuk banyak orang belum pernah menyentuh minuman racikannya sendiri. Tapi memang begitulah kenyataannya. Queen memang tidak pernah minum alkohol, dan sebisa mungkin juga dia ingin menjauhinya.
“Really?” Fabian terkejut, tapi reaksinya tetap kalem-kalem saja, tidak heboh seperti kebanyakan orang yang baru pertama kali tahu kalau Queen tidak minum alkohol. “Kenapa?”
“Gue nggak mau barang haram itu ngontrol gue. Kalau gue minum dan kesadaran gue habis, gue bisa rentan ngelakuin hal-hal bodoh yang mungkin bakal ngerugiin diri gue sendiri.”
“Misal?”
“Have a one night stand with stranger, terus hamil dan ditinggalin. Berantakan.” Queen mendorong kembali gelas di hadapannya ke arah Fabian. “No, thanks. Tanpa itu pun, hidup gue udah berantakan.”
“Good decision,” Fabian memuji dan itu jujur. “Selagi belum, emang sebaiknya nggak usah. Barang haram ini emang cocoknya Cuma buat manusia-manusia bajingan kayak gue.”
“But you’re not.”
“Huh?” Fabian urung menyesap wine, lantas memaku tatap dengan Queen. “Bukan apa?”
“Bukan bajingan.”
Fabian tertawa keras. Bahunya terguncang hebat seiring dengan tawa yang kian lepas. “Tahu dari mana kalau gue bukan bajingan?” tanyanya seraya mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat wajahnya hanya berjarak satu jengkal di depan wajah Queen. “Lo baru ketemu gue beberapa kali, terlalu dini buat menilai.”
Meski punya banyak kalimat untuk dia ucapkan sebagai jawaban, Queen memilih untuk tetap diam. Sekali lagi fokusnya tertuju pada helaian bulu mata lentik milik Fabian. Ia penasaran, apakah itu didapatkan secara alami, atau lelaki itu telah melakukan serangkaian perawatan untuk mendapatnya?
“Bulu mata lo itu asli?” sebuah pertanyaan yang seketika membuat tawa tenyah Fabian mereda. Ia merasa dejavu. Tanpa alasan yang jelas, Queen terus-menerus membuatnya teringat pada hal-hal yang terjadi di masa lalu.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Zenun
lah kan udah bertahun-tahun lamanya, emang gak basi expired?
2023-08-06
0