Ke Suatu Tempat

Seharusnya, Queen tidak pernah mencoba untuk dekat dengan siapa pun juga selain Gerald. Sebab di dunia yang fana ini, dia mungkin adalah yang paling mengerti bahwa orang-orang yang datang ke dalam hidupnya tidak akan pernah menetap. Namun, ketika Fabian datang dengan segala keanehan dan tingkahnya yang anti-mainstream, Queen tak kuasa menolak kehadiran lelaki itu. Sedetik saja hilang, ia sudah seperti anak itik yang kehilangan jejak sang induk—linglung.

Bahkan setelah mendaratnya sebuah kecupan di pucuk hidungnya yang membuat wajahnya merah padam, Queen malah semakin merasa dirinya tak bisa berada jauh dari lelaki yang kini tertidur pulas di sofa ruang tamu rumahnya itu. Suaranya, tatapannya, segala tingkah polahnya yang memusingkan, senantiasa terbayang jelas di kepala Queen, seperti ia telah mengenal lelaki itu untuk waktu yang cukup lama.

Queen sendiri tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ketika kepada Gerald yang telah menyelamatkan nyawa sekalipun, ia membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk mengakrabkan diri, hal itu tidak berlalu untuk Fabian. Queen merasa, dirinya seperti sudah disihir.

“Ini gila.” Bisiknya pelan. Tatapannya lantas jatuh pada tangan kirinya yang dibebat perban. Sepulang dari Mega, Fabian membelokkan kemudi ke arah rumah sakit, alih-alih langsung pulang ke rumah seperti yang telah mereka sepakati sebelumnya. Dengan raut wajah datarnya, lelaki itu menggelandangnya menuju IGD, meminta kepada perawat untuk segera menangani lukanya yang terlambat mendapatkan pertolongan.

Kemudian, Queen kembali menatap Fabian yang terlelap.

“Tiga hari. Nggak boleh kurang, kalau mau lebih malah nggak masalah.” Itu yang Fabian katakan ketika mereka dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Tiga hari yang lelaki itu maksud adalah lamanya waktu istirahat total yang harus dia ambil. Katanya, sih, sesuai dengan arahan dokter, tetapi Queen agak tidak percaya karena sebetulnya, ia merasa luka di pergelangan tangannya tidak terlalu parah.

Queen ingin berontak, sebab tiga hari mengambil jeda hanya akan membuatnya semakin gila. Bayangkan saja, dia harus berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa pun, lalu di sela-sela waktu itu, dia pasti akan kembali kepikiran soal Fabian dan kecupan yang mendarat seenak jidat di pucuk hidungnya semalam. Akan tetapi, penolakan itu tak sanggup keluar dari bibirnya. Bak kerbau yang dicolok hidungnya, dia menurut saja. Bahkan ketika Fabian meminta untuk numpang tidur karena semalaman sama sekali tidak memejamkan mata, ia pun membiarkannya begitu saja.

“Gue tahu gue ganteng, tapi bisa nggak lo biasa aja ngeliatinnya? Kalau gue salting, lo emangnya mau tanggung jawab?” ucapan itu disusul terbukanya kedua kelopak mata Fabian secara perlahan.

Sontak saja, Queen berdecak malas. “Bagus deh lo bangun, gue kira lo mati.” Ketusnya, lalu ia menyurukkan kantong plastik berisi nasi uduk yang dia beli hampir satu jam yang lalu. “Makan tuh, seadanya aja, nggak usah manja.”

“Gue nggak ada komen apa-apa, ya.” Fabian bangkit dari tidurnya dengan gerakan cepat. Matanya memicing, tak terima pada tuduhan Queen soal ia yang manja perihal makanan, padahal kenyataannya dia tidak pernah masalah bahkan jika harus makan hanya dengan lauk garam. Brandingannya sebagai anak tunggal kaya raya sepertinya telah membuat Queen salah paham.

Queen tak menanggapi protes yang Fabian layangkan, hanya memutar bola mata malas lalu beranjak dari duduknya. “Habisin, gue mau tidur dulu sebentar, puyeng kepala gue.” Tuturnya. Sebab jawaban Fabian tidak penting-penting amat, Queen pun tidak menunggu sampai lelaki itu membuka mulutnya. Langsung saja dia ngeloyor, masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Ditinggal begitu, Fabian tidak ambil pusing. Ia hanya menghela napas rendah, kemudian mulai melahap nasi uduk yang sudah dingin—sedingin sikap Queen bahkan setelah ia membubuhkan ramuan cinta ke pucuk hidung perempuan itu semalam.

Hahaha ramuan cinta apanya! Fabian terkekeh geli ketika hal itu terlintas di kepalanya. Tidak ada waktu untuk memikirkan soal cinta sekarang, sebab dia harus lebih dulu menemukan di mana keberadaan teman-temannya.

...🍂🍂🍂🍂🍂...

“God... apa susahnya ngetuk pintu? Kenapa harus spam chat segala, sih?” Queen menggerutu saat ponselnya tak berhenti berdenting karena ulah Fabian.

Hari sudah menjelang sore ketika dia membuka mata tadi tidur siang yang lumayan, dan yang menyambutnya pertama kali adalah rentetan pesan yang dikirimkan oleh Fabian.

Mau tahu apa isinya?

P. Iya, hanya hurup P, dikirim berkali-kali, jika Queen teliti menghitung, jumlahnya genap 17 biji.

Rentetan pesan itu tak ia gubris. Malahan, ponsel tak berdosa itu dia lemparkan asal hingga membentur headboard ranjang, lalu dia melesat keluar untuk memeriksa, apa sebentar yang diperlukan oleh tamu dadakannya itu.

“Kenapa?!” tanyanya sewot dengan hanya sebagian tubuhnya saja yang menyembul dari pintu.

Fabian yang semula khidmat menatapi layar ponsel lantas mengangkat kepala. Lalu bukannya menjawab, lelaki itu malah mengantongi ponselnya, kemudian berjalan cepat menghampiri Queen.

“Temenin gue.” Lelaki itu sekonyong-konyong meminta.

“Ke mana?” Queen memasang sikap waspada. Mundur selangkah ia ketika merasa jarak Fabian terlalu dekat. Tak ingin apa yang terjadi semalam terulang kembali.

“Ke suatu tempat. Please? Gue nggak bisa ke sana sendirian.” Fabian memohon.

Krena tak mendapatkan jawaban yang jelas, Queen kembali berdecak kesal. “Ya ke mana dulu? Gue harus tahu dong lo mau minta ditemenin ke mana. Ya kali kalau lo mau ke neraka, gue harus anterin.”

Kali ini, malah giliran Fabian yang berdecak. “Nanti lo juga tahu. Udah, ayo, temenin gue.” Seenak jidatnya Fabian meraih tangan Queen, menggeret perempuan itu di saat mata sepakat belum terucap.

Queen berusaha melepaskan diri, namun eratnya genggaman Fabian membuatnya mau tak mau tetap mengayunkan langkah mengikuti ke mana kaki lelaki itu pergi.

“Gue baru bangun, astaga! Belum mandi, belum ganti baju! At least biarin gue ambil hape gue dulu! Ya! Fabian!”

Ocehan Queen berakhir sia-sia karena Fabian tahu-tahu sudah membuka pintu mobil, dan dalam sekejap tubuh Queen didorong masuk, didudukkan ke kursi kemudi. “Duduk yang anteng, gue mau ngebut soalnya.” Begitu kata Fabian sembari memasangkan seatbelt. Lalu lelaki itu berlarian ke sisi mobil yang lain, melompat naik ke kursi kemudi dan langsung tancap gas tanpa basa-basi.

Seperti perkataannya, mobil benar-benar dilajukan dengan kecepatan penuh. Queen sampai harus memegang hand grip di atas kepalanya agar tubuhnya tidak terpelanting ke kanan dan ke kiri.

“LO KALAU MAU MATI JANGAN AJAK-AJAK GUE, FABIAN!!!”

Sayangnya, Fabian sudah memutuskan untuk menjadi tuli. Jadi tidak peduli seberapa keras Queen berteriak, dia tidak mengurangi kecepatan mobilnya sama sekali.

Persis ketika mereka masuk ke jalanan utama di mana orang-orang sedang berjuang menerobos kemacetan, cara Fabian menyetir mobil justru semakin menggila.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Zenun

Zenun

kemane si bang buru2 amat

2023-08-11

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!