Cahaya matahari menelusup masuk melalui celah gorden yang terbuka, merambatkan kehangatan kepada Fabian yang masih tergolek di atas pembaringan, membuat lelaki itu akhirnya menggeliat pelan seraya mengerjapkan matanya pelan untuk menyesuaikan dengan cahaya di sekitar.
Usai mendapatkan kesadarannya secara penuh, Fabian turun dari ranjang. Kaki telanjangnya lalu diseret menuju kamar mandi. Di sana, dia duduk di atas closet, merenung sebentar sebelum meraih sikat gigi dan odol untuk membersihkan giginya sebagai rutinitas di pagi hari.
Seraya menggerakkan sikat gigi dengan gerakan memutar, memastikan setiap celah di giginya tersapu oleh bulu-bulu lembut sikat gigi, Fabian mulai menyusun rencana di dalam kepala.
Ini soal pencariannya terhadap teman-teman Pain Killer. Ia sedang mempertimbangkan harus ke mana dulu dia mencari keberadaan mereka. Haruskah ia pergi ke Neosantara, atau malah pergi ke Mega?
Tak terasa, busa dari odol sudah memenuhi mulutnya, membuatnya menghentikan adegan menyikat gigi dan segera membasuh mulutnya menggunakan air dari keran wastafel. Setelah itu, dia melepaskan pakaiannya satu persatu, membiarkan mereka jatuh teronggok di atas lantai kamar mandi yang masih kering lalu berjalan menuju bath ub yang belum terisi.
Keran dinyalakan. Ia tidak menunggu sampai bath ub penuh, langsung saja masuk ke dalamnya dan membiarkan kucuran air dari keran menyentuh punggungnya yang telanjang.
Kurang lebih 25 menit Fabian menghabiskan waktu untuk berendam di sana, membiarkan air dingin mengompres seluruh bagian tubuhnya hingga membuat kesadarannya terkumpul semakin banyak. Setelah puas, dia berjalan menuju shower, membilas tubuhnya juga dengan air dingin.
Kemudian, setelah dirasa bersih, dia bergerak meraih handuk yang tergantung, mengelap setiap inci bagian tubuhnya lalu membalutkan benda lembut berwarna putih itu untuk menutupi bagian bawah tubuhnya saja.
Dengan bertelanjang dada, Fabian kembali ke dalam kamar. Tidak langsung berpakaian, dia malah mendudukkan dirinya di tepian ranjang, dalam sekejap fokus pada layar ponsel yang kini menampilkan foto ia dan tiga temannya.
Sejak memutuskan pergi, ia memutuskan untuk menggunakan foto tersebut sebagai wallpaper di ponselnya, hitung-hitung sebagai pengingat bahwa dia pernah memiliki teman-teman yang berharga, sekaligus sebagai obat ketika rindu datang mendera.
Sampai tubuhnya kering sempurna, Fabian masih tidak beranjak dari posisinya. Bukan hanya menatapi wallpaper di layar ponsel, kini dia juga menjelajah ke dalam akun sosial media yang baru dibuatnya. Dia buka satu persatu, mulai dari Instagram, Twitter sampai TikTok pun dia buka, hanya untuk menemukan kehampaan sebab akun milik teman-temannya yang dia cari sudah tidak ada di sana. Seakan mereka sedang berkomplot untuk menghilang dari jangkauan dirinya.
Itu adalah kesalahannya, jadi Fabian tidak akan melayangkan protes. Dia yang lebih dulu memutus kontak. Mengganti nomor telepon dan menghapus semua akun media sosial yang dia miliki. Ia terlalu fokus untuk menyembuhkan diri, sampai lupa untuk peduli bahwa teman-temannya juga sedang terluka, sama seperti dirinya.
Sadar pencariannya tidak akan berjalan mudah, Fabian meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas. Ia lalu berjalan menuju lemari, memungut satu kaus polos pas badan berwarna navy dan celana jeans sobek-sobek warna serupa. Segera ia kenakan setelan itu, lantas mematut dirinya di depan cermin—hanya untuk menyadari bahwa sejauh apa pun dia pergi, tidak ada yang berubah dari dirinya.
Setelah menyisir helaian rambut menggunakan jemari panjangnya, Fabian bergegas menyambar ponsel dan dompet. Ia lalu berlarian keluar dari dalam kamar, menuruni tangga menuju dapur, di mana Mbok Darmi tampak sedang sibuk berkutat dengan berbagai peralatan masak.
“Mbok Darmi masak apa?” tanyanya, seraya menarik kursi lalu duduk di atasnya. Dia juga menyambar teko beling berisi air putih, menuangkan air ke dalam gelas yang sudah tersedia di atas meja makan lalu menenggaknya dengan rakus.
Mbok Darmi membalikkan badan, tersenyum tipis pada sosok Fabian yang kini menatap menanti jawaban. “Nasi goreng seafood plus telor ceplok setangah matang.” Ucap wanita itu riang. “Sebentar lagi matang, tunggu ya, Den.”
Fabian mengangguk patuh. Dia betulan menunggu sampai Mbok Darmi selesai menyiapkan semuanya. Dengan tenang, dengan sabar, sampai tiba-tiba dia seakan melihat sosok ibunya menggantikan eksistensi Mbok Darmi di belakang kompor.
Senyum yang tercetak di wajah tampan Fabian seketika pudar, sesak perlahan kembali datang kala bayangan sosok Raya mulai bergerak lebih banyak. Menatapnya, berbicara, bahkan melabuhkan usapan di punggung tangannya.
Ia tahu ini semua hanya halusinasi, tapi dia sama sekali tidak berniat untuk menepisnya. Kalaupun harus didiagnosis gila, dia juga tidak akan keberatan. Karena hanya dengan begini saja, dia bisa sedikit mengobati kerinduan akan kehadiran ibunya.
Selesai sarapan, Fabian pamit kepada Mbok Darmi untuk keluar sebentar. Ia berjalan menuju garasi, menilik mobilnya yang sudah lama tidak dipakai namun sama sekali tidak terlihat berdebu.
Kunci mobil yang semula disimpankan oleh Mbok Darmi kini sudah ada di tangannya, ia pun segera menggunakannya untuk membuka pintu mobil.
Ternyata, bukan hanya bagian luarnya saja yang tetap bersih, bagian dalam juga tidak luput dari ketelatenan Mbok Darmi. Aroma mawar menguar memenuhi seluruh isi mobil, berasal dari pengharum mobil yang tergantung dekat kaca spion depan.
Fabian mendudukkan dirinya di kursi kemudi, mulai menyalakan mesin dan menunggu sampai kondisi mesin mobil cukup panas untuk bisa dia ajak berkelana.
Dari dalam rumah, Mbok Darmi berlari kecil menghampiri gerbang, begitu pengertian menggeser gerbang besi itu agar mobil Fabian bisa keluar.
Fabian tersenyum. Kalau tidak ada Mbok Darmi, dia mungkin tidak memiliki cukup banyak kekuatan untuk kembali ke sini, memulai kembali pencariannya terhadap teman-teman yang sudah seperti rumah baginya.
Dirasa cukup, Fabian pun mulai menginjak pedal gas. Mobil melaju pelan-pelan, lalu berhenti tepat sebelum keluar dari gerbang. Ia menurunkan kaca mobil, menyapa Mbok Darmi yang masih setia berada di sisi pintu gerbang yang terbuka lebar.
“Makasih, cantik.” Ucapnya.
Mbok Darmi membalasnya dengan senyum dan kekehan ringan. Lalu Fabian melanjutkan perjalanannya, menerobos jalanan yang tampak gersang di bawah terpaan sinar matahari yang terik.
Mobil itu melaju, menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk akhirnya sampai di sebuah toko bunga yang seumur hidup baru pertama kali dia tandangi.
“Selamat pagi, ingin pesan bunga apa?” seorang florist yang masih nampak cukup muda buka suara. Dari penampilannya, mungkin baru berusia 19 atau 20-an tahun.
Fabian mengedarkan pandangannya sebentar untuk memeriksa begitu banyak jenis bunga yang ada di sana. Aroma dari masing-masing mereka saling bertubrukan, menimbulkan perpaduan wangi campur aduk yang anehnya tidak memusingkan sama sekali.
Lalu, pilihan Fabian jatuh pada bunga Lily berwarna putih yang terletak di tengah-tengah bebungaan lain dengan warna yang lebih cerah dan membara. Sama seperti Raya, si Lily yang manis itu seakan tidak perlu memamerkan banyak hal untuk bisa ditemukan.
“Tolong satu buket bunga Lily.” Ucapnya seraya menunjuk bunga Lily pilihannya.
Sang florist mengangguk, langas mencomot beberapa batang untuk nanti disusun ke dalam buket. “Untuk isi memonya?” tanya si florist lagi.
“Nggak usah pakai memo, saya mau kasih bunga itu untuk mendiang mama saya.” Ia mengatakan itu dengan senyum yang merekah, seakan pergi mengunjungi seseorang yang telah mati bukanlah sesuatu yang sedih.
Si florist tak bertanya lagi, hanya menganggukkan kepala dan segera membuatkan buket bunga yang Fabian pesan.
Tak lama, buket bunga itu telah jadi, diserahkan kepadanya dengan senyum si florist yang merekah secantik bunga-bunga yang ada di ruangan itu.
Fabian mengucapkan terima kasih, membayar untuk buket bunga cantik itu dan tak lupa memberikan tip untuk si florist. Kemudian, ia bergegas pergi. Tidak boleh terlalu lama dalam perjalanan. Selain karena semakin lama terik matahari akan semakin menjadi, ia juga sudah tidak sabar untuk bertemu ibunya lagi.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
jully
apa ga ada niat buat nyari di rumah orang tua mereka.
2023-06-02
2