Do You Miss Me?

Pukul 3 lewat 18 dini hari, Queen terbangun. Terheran-heran ia kala menemukan seonggok jaket jeans di atas paha mulusnya yang semula terekspos. Setelah dia endus baunya, ia yakin itu adalah milik Fabian. Yang itu artinya...

“Dia di sini!” Queen memekik heboh, bagai baru saja memenangkan undian berhadiah yang akan bisa dia gunakan untuk memperbaiki hidupnya yang berantakan. Jaket jeans tadi dia lemparkan ke sofa, lalu ia berlarian menuju pintu dengan maksud untuk turun mencari keberadaan laki-laki yang telah membuat duduknya tidak tenang selama empat hari terakhir.

Melupakan soal cedera di pergelangan tangan kiri, Queen menggunakan tangan itu untuk menarik kenop pintu yang cukup berat, di mana ujung-ujungnya dia malah meringis kesakitan karena ngilu kembali terasa hingga menjalar ke mana-mana.

“Jangan manja, please...” rengeknya seraya menatap pergelangan tangannya yang ternyata sudah jauh lebih bengkak ketimbang malam tadi sebelum dia tidur.

Sedang meratapi kondisi tangannya, Queen dibuat tersentak kala pintu di hadapannya terbuka, memunculkan sosok Fabian yang berdiri dengan tampang polos tanpa dosa.

“Ngapain lo di situ?” tanya lelaki itu, kemudian tanpa basa-basi menerobos masuk, lantas menutup pintu dan menguncinya. Iya, dikunci, dan Queen tidak sempat menyadarinya karena terlalu fokus memandangi wajah yang dia ekhem, rindukan selama empat hari ini.

Tak mendapatkan jawaban, Fabian semakin dibuat keheranan. “Gerald bilang cuma tangan lo yang luka, bibir lo mah sehat-sehat aja, jadi seharusnya nggak ada alasan buat lo nggak jawab pertanyaan gue, benar?” sarkasnya.

Queen yang baru saja mendapatkan kembali kesadarannya langsung berdecak. “Gue masih syok karena lo tiba-tiba masuk tanpa permisi. Bayangin kalau gue masih tidur, nggak sadarkan diri, apa sopan lo main masuk begitu aja?”

“Nggak usah heboh, gue juga tadi masuk ke sini, tapi nggak ada yang terjadi kan sama lo? Gue malah baik banget tuh mau kasih pinjem jaket gue buat nutupin paha lo yang ke mana-mana.” Cerocos Fabian. Ia lalu berjalan menuju sofa, duduk di sana dengan gaya angkuh—kedua lengannya merentang lebar di sandaran sofa, satu kakinya disilangkan, bertumpu pada kakinya yang lain.

Mendengar soal ‘paha’, pipi Queen seketika memanas. Harusnya, dia merasa kesal karena ucapan Fabian barusan bisa saja dia anggap sebagai sebuah bentuk pelecehan. Namun yang ada, ia malah merasa malu. Malu karena membiarkan dirinya tidur dalam posisi sembarangan sehingga paha mulusnya bisa dilihat oleh orang lain yang tidak dia kehendaki.

“Malah ngelamun!” Fabian protes lagi. Posisi duduknya seketika berubah, dengan tubuh lebih condong ke depan dan kedua lengan yang kini bertumpu di atas paha, membiarkan jemari tangannya saling bertaut satu sama lain. “Sini, buruan, gue mau lihat kondisi tangan lo.” Titahnya.

Queen mengentakkan kaki, namun tetap berjalan ke arah sofa lalu mengambil posisi duduk yang agak jauh dengan Fabian.

“Tangan.” Pinta Fabian lagi seraya menengadahkan satu tangan.

Tanpa ragu, Queen menyodorkan tangan kirinya, membiarkan Fabian melihatnya sampai puas.

Fabian meraih tangan Queen, memastikan genggamannya tidak akan membuat gadis itu semakin kesakitan. Seketika, ia ngilu sendiri saat melihat bengkak yang ada sudah semakin besar dari malam tadi ketika dia pertama kali melihatnya.

“Bengkaknya bisa sampai parah gini tuh gimana ceritanya, sih?” tanyanya, namun tatapannya masih tak beralih dari pergelangan tangan Queen. Jemarinya juga bahkan bergerak pelan, mengusap benjolan cukup besar yang dilihat sekilas saja sudah bisa ikut terbayang seperti apa sakitnya.

Tidak ada sahutan. Queen juga tidak tahu dia harus menjelaskan kronologinya seperti apa karena sejujurnya, dia pun tidak terlalu ingat. Pikirannya tidak terlalu bisa fokus akhir-akhir ini, dan dia sendiri tidak tahu apakah itu karena absennya Fabian atau dasarnya dia saja yang memang sedang dalam kondisi lelah.

“Lo tuh segitu kangennya sama gue, ya?”

Queen nyaris tersedak air liurnya sendiri saat Fabian menyeletuk demikian. Sontak saja, ia menoleh cepat ke arah lelaki itu, melotot tak percaya.

“Gerald bilang, lo bisa sampai kayak gini karena nggak fokus.” Ucap Fabian, menyampaikan informasi yang dia terima dari Gerald sebelumnya sekaligus untuk memastikan kebenarannya. “Baru juga empat hari, Queen. Gimana coba kalau gue perginya lama? Apa yang bakal lo patahin? Kaki? Leher? Tulang punggung?”

“Nggak usah ngelantur!” Queen menarik tangannya secepat kilat. “Ini insiden yang nggak bisa dihindari, even konsentrasi gue lagi full sekalipun.” Dalihnya.

“Tapi lo beneran kangen, kan, sama gue? Ya, walaupun itu bukan satu-satunya alasan kenapa lo bisa sampai terluka, sih.”

Ralat. Queen rasa, dia sudah salah sangka. Sepertinya lebih baik jika Fabian tidak datang. Sebab apa yang lelaki itu lakukan ketika datang ke Mega hanya selalu mengganggu dirinya. Menggoda, meledek, mencerca. Semua yang buruk-buruk!

“Sekali lagi lo ngelantur, gue patahin leher lo.” Queen mengancam, namun hal itu malah membuat Fabian terkekeh dan ia sendiri tidak tahu mengapa lelaki itu melakukannya.

“Tinggal bilang iya aja kenapa, sih? Nggak usah sok-sokan gengsi, nanti nyesel.” Habis bicara begitu, Fabian mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu benda pipih itu ia letakkan di atas meja. “Gue mau tidur di sini malam ini.” Tuturnya setelah kembali menatap Queen.

“Ya silakan, nggak ada yang ngelarang.” Queen menjawab acuh tak acuh. Lagi pula, kenapa juga dia harus tahu soal informasi ini? Mau menginap atau pun tidak, apa hubungannya dengan dirinya?

“Sama lo.” Kata Fabian lagi.

Dirasa makin tidak jelas omongannya, Queen pun memutuskan untuk tidak menanggapi. Ia kemudian bangkit, berjalan cepat menuju pintu dan memastikan menggunakan tangan kanan untuk meraih kenop. Namun, sebesar apa pun usaha yang dia kerahkan untuk menariknya, pintu itu tidak bergerak sama sekali. Stuck, pintunya tidak bisa dibuka.

Suara tawa yang muncul dari arah di mana Fabian duduk membuat Queen memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam guna meredam kekesalan yang berbondong-bondong datang menyerang dalam kurun waktu yang teramat singkat. Sudahlah tangannya sedang sakit, si Fabian malah mencari gara-gara. Kenapa sih harus iseng di saat seperti ini?

“Buka.” Pinta Queen setelah dia membalikkan tubuhnya. Ia menatap sengit, berharap nyali lelaki itu sedikit ciut.

“Nggak mau.” Fabian menggeleng cepat, senyum jahilnya merembet sampai lebar sekali.

Kesal, Queen berjalan cepat ke arah sofa. Langkahnya yang menggebu-gebu membuatnya tak memperhitungkan keseimbangan tubuhnya dengan baik, sehingga terjadilah drama picisan di mana ia tersandung dan wala! Jatuhlah tubuh kecil itu ke atas pangkuan Fabian, dengan sangat memalukan.

“S—sorry.” Queen tergagap, buru-buru dia bangkit, memisahkan diri dari pelukan dadakan yang terjadi. Namun, belum sempat kakinya ditarik mundur, Fabian sudah lebih dulu menarik lengannya sehingga ia kembali jatuh ke atas pangkuan lelaki itu.

“So, you really miss me that much, huh?” bisik Fabian persis di depan wajah Queen. Satu tangannya bergerak liar, merambat ke pinggang Queen lalu bersemayam di sana tanpa sedikit pun rasa canggung.

Normalnya, Queen akan berteriak kesetanan. Ia juga bisa saja menendang tulang kering Fabian agar lelaki itu segera melepaskan dirinya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Queen malah tidak mampu memberikan perlawanan, pasrah saja ketika jarak di antara wajah mereka semakin menipis. Terus menipis hingga akhirnya, hidung mereka saling bertemu.

Mati-matian Queen menahan napas, menghalau aroma asap rokok yang menguar dari sela-sela bibir Fabian yang terbuka ketika lelaki itu dengan bebasnya bernapas di depan wajahnya. Dengan jarak yang sedekat ini, apa yang bisa Queen usahakan selain merawat kewarasannya sendiri?

“I know you miss me, honey.” Lalu, saat sebuah kecupan mendadak mendarat di ujung hidungnya hanya sedetik setelah Fabian menjauhkan diri, Queen merasa separuh nyawanya ditarik pergi. Ia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhnya dipindahkan dari atas pangkuan Fabian, ke atas sofa.

“Gue ke bawah bentar ambil air dingin buat kompres luka lo, jangan ke mana-mana.” Begitu yang dikatakan oleh Fabian sebelum lelaki itu pergi meninggalkan ruang VVIP. Sedangkan Queen, tak bisa merespons karena dirinya masih terbang di awang-awang, terlampau sulit untuk menjejakkan kakinya kembali ke atas tanah.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Raudatul zahra

Raudatul zahra

ini sisi baru Bian ?? apa emang dia begini dari dulu?? kayaknya sama Biru nggak gini dehh

2023-12-02

1

Zenun

Zenun

baru di cium hidungnya udah melayang-layang ya Queen

2023-08-11

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!