They Named Her; Queen

Penghujung Desember, angin dingin mulai sering berembus. Hujan sering tandang dalam waktu-waktu yang tidak terduga. Bisa jadi ia turun di sore hari, setelah sepanjang hari matahari bersinar begitu terik di atas kepala. Bisa jadi, ia turun tengah malam, ketika orang-orang sedang terlelap dan tidak sadar bahwa langit tengah menumpahkan tangisnya. Mereka baru akan sadar keesokan harinya ketika menemukan pekarangan mereka basah.

Gerald menghabiskan lebih banyak waktu di Mega pada penghujung bulan Desember itu, kalang kabut membagi waktu untuk mengurus Mega sekaligus mulai merintis bisnis baru yang ayahnya kehendaki untuk segera dijalankan sebelum si tua bangka itu mati.

Lelah, letih, lesu. Komplet sudah semua itu Gerald rasakan. Badannya remuk, kepalanya penuh, jam tidurnya berantakan dan dia nyaris kehilangan kewarasan.

Malam itu, seperti biasa, setelah membereskan beberapa hal di Mega, Gerald beranjak keluar. Hujan sedang turun begitu deras, angin berembus kencang hingga membuat beberapa ranting rapuh dari pepohonan yang ditanam di sekitar Mega berguguran, ikut terbang terbawa angin sampai akhirnya menghantam beberapa sisi Mega yang terbuat dari kaca.

Seraya merapatkan coat bulu-bulu berwarna cokelat tua, Gerald membuka payung hitam yang dia curi dari loker karyawan. Entah itu milik siapa, dia tidak peduli. Palingan besok akan ada yang berkoar-koar telah kehilangan dan dia tinggal mengembalikan payung itu—atau menawarkan ganti rugi.

Meski kecil kemungkinannya untuk Mega disambangi perampok, Gerald tetap memastikan bahwa pintu masuk Mega telah dikunci dengan benar. Hanya dengan begitu, dia bisa pulang dengan tenang.

Melirik jam di pergelangan tangan, sudah pukul 04:45 subuh. Ia harus bergegas jika masih ingin mendapatkan waktu tidur yang layak sebelum akhirnya harus bangun lagi besok sebelum pukul 8 pagi.

Namun, langkah terburu-buru yang Gerald ambil untuk segera sampai ke mobilnya malah terhenti mendadak kala ia menemukan keberadaan seseorang yang terduduk di bawah guyuran hujan di area parkir khusus pelanggan.

Kondisinya gelap, hanya ada pencahayaan dari sinar rembulan yang mengintip sedikit dari balik gumpalan awan hitam. Jadi Gerald tidak bisa memastikan apakah sosok itu adalah laki-laki atau perempuan. Yang jelas, Gerald tahu itu adalah manusia. Sebab dia tidak percaya hantu.

Tanpa takut, Gerald berjalan mendekati sosok itu. Tetap memasang sikap waspada kalau-kalau orang yang sedang dia hampiri itu berniat jahat atau bahkan sampai membawa senjata.

“Excuse me,” ia menyapa. Suara beratnya yang serak membuat sosok itu menoleh, mendongakkan kepala sehingga Gerald bisa beradu tatap dengan manik kelam yang sinarnya lebih pekat ketimbang langit mendung hari ini. “Who are you? What are you doing here?” tanya Gerald lagi. Ia tetap berusaha mendekat, namun si sosok yang dia yakini adalah perempuan itu malah bergerak mundur dengan gelisah.

“Hei, don’t be afraid. I just want to know if you need a help or something.” Gerald masih berusaha berkomunikasi. Suara beratnya dia lembut-lembutkan, pun dengan tatapan matanya demi membuat gadis itu tidak ketakutan.

Tubuh gadis itu semakin terlihat bergetar, maka Gerald berinisiatif untuk berjongkok demi menyetarakan tinggi tubuh mereka. Saat ia hendak mengulurkan tangan, tiba-tiba saja terdengar suara debaman keras yang berasal dari arah jalanan yang lengang nan gelap.

Gerald tersentak, bukan hanya karena suara debaman keras itu, tetapi juga karena gadis yang sedang berusaha dia ajak bicara tadi tiba-tiba saja menarik lengannya, lalu bersembunyi di balik tubuh tegapnya.

“Help me. Dia datang, dia ingin membawaku pergi.” Lirih gadis itu dengan suara napas yang payah.

Gerald masih tidak mengerti apa maksud perkataan gadis itu, tapi ketika dia melihat dua orang pria bertubuh tinggi tegap berderap mendekat dari arah jalanan, ia secara refleks bangkit dan langsung menarik gadis itu untuk ikut bersamanya. Ia membawa gadis itu menuju bagian belakang Mega, menyusup masuk ke dalam bangunan melalui pintu rahasia yang untungnya dia buat agar bisa diakses dari dua arah, dalam dan luar.

“It’s oke. Kamu aman di sini.” Ucap Gerald berusaha menenangkan setelah mereka berdua berhasil bersembunyi.

Melalui jendela kaca kecil yang ada di dekat pintu, Gerald mengintip dua orang pria tadi yang berjalan beriringan mengitari setiap sudut bagian Mega. Gerald memang tidak mengerti ada masalah apa, tapi dari gerak-gerik yang ditunjukkan oleh dua pria itu, ia yakin mereka bukan orang baik.

Selama bermenit-menit, mereka terdiam di sana, masih dalam kondisi gelap gulita karena menyalakan lampu secara tiba-tiba hanya akan menarik perhatian dua pria yang masih berkeliaran di sekitar sana.

Lalu setelah dirasa cukup aman, barulah Gerald menggiring gadis itu menuju bagian tengah Mega, membawanya duduk di meja bar dengan menyalakan satu lampu kemuning untuk sekadar bisa melihat wajah satu sama lain dengan benar.

Dan, alangkah terkejutnya Gerald kala menemukan wajah gadis yang dia bawa itu babak belur. Ada luka sobek di kedua sudut bibirnya, mata sebelah kiri lebam parah, hidungnya membiru (Gerald menduga ada bagian tulangnya yang patah), dan ada luka goresan lebar di pelipis kirinya.

Seumur-umur, baru kali ini Gerald melihat langsung seseorang yang babak belur. Biasanya Cuma di film-film, di mana dia tahu segala luka yang ada hanyalah efek make up semata.

“Hei, what happened?” Gerald refleks, hendak menyentuh sudut bibir gadis itu, namun si gadis langsung memundurkan kepala sehingga Gerald urung meneruskan keinginannya. “I’m sorry. I’m just worried.”

Si gadis tidak bicara apa-apa. Tubuhnya masih gemetar, entah karena menahan dingin karena tubuhnya yang basah kuyup, atau justru karena masih ketakutan karena kedatangan dua laki-laki tak dikenal tadi.

Setelahnya, tidak ada percakapan yang terjadi. Gerald pun tidak keberatan. Dia hanya terus berusaha mengajak bicara gadis itu sembari membantu kondisi gadis itu agar lebih baik. Mulai dari mencarikan baju ganti (untungnya ada milik karyawan yang sengaja ditinggal, jadi dia bisa pinjam) sampai menyediakan minuman hangat.

“It’s oke. Kamu aman di sini. Tell me everything when you're ready. Sekarang, kamu tenangin diri kamu dulu.”

Gerald memang bukan orang baik, tapi malam itu, dia mengupayakan segala yang dia bisa untuk membantu gadis itu.

Dua tahun berlalu, gadis itu kini menjelma menjadi sosok yang jauh lebih tangguh. Ya, gadis itu adalah Queen, yang sekarang ini sedang sibuk beradu argumen dengan seorang pelanggan yang mencoba menyentuhnya dengan iming-iming imbalan uang lembaran seratus dolar.

Mereka—ia dan Fabian—sedang dalam pembahasan soal Baskara, ketika tiba-tiba saja Fabian bertanya soal Queen kepadanya. Lelaki itu bertanya di mana dia bertemu Queen, dan bagaimana bisa dia mempercayakan Mega kepada perempuan itu.

“Jadi, nama Queen itu pemberian dari orang-orang?”

Gerald menggerakkan kepalanya naik turun, membenarkan. “Sampai sekarang, gue pun nggak tahu siapa nama asli dia.”

“Menarik.” Fabian kembali menggumamkan kata itu, dengan tatapan yang tertuju lurus pada sosok Queen yang telah berhasil mengusir di laki-laki hidung belang yang semula merayunya. Detik itu juga, Fabian sadar bahwa dia telah tertarik pada perempuan berambut sebahu itu.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Helmi Sintya Junaedi

Helmi Sintya Junaedi

hemmmm...... menarik... 🤔

2023-06-05

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!