Dari kantor Jeffrey, Fabian melipir ke Mega. Baru jam 5, tentu saja Mega belum buka. Dua petugas yang harusnya stand by juga belum menampakkan diri dan pintu Mega masih dalam keadaan terkunci.
Fabian mengeluarkan ponsel dari saku jaket, segera menelepon Gerald supaya dia diberikan akses untuk masuk ke dalam Mega sebab kini dia tidak punya tempat lain untuk didatangi. Mbok Darmi pasti masih ada di rumah dan dia terlalu tidak ingin menerima pertanyaan apa pun dari wanita itu. Ia sudah lelah melihat raut wajah khawatir yang selalu Mbok Darmi tunjukkan untuk dirinya. Kasihan, wanita itu tidak boleh terlalu banyak pikiran.
“Halo, Bi? Ada apa?” Gerald menjawab panggilannya di dering ke-delapan. Suaranya menggema di tengah suara bising lain yang ada di sekitar.
“Gue di depan Mega. Boleh nggak lo kasih gue akses buat masuk?” tanyanya to the point. Dia tahu Gerald sudah menjadi orang sibuk sekarang, tidak boleh terlalu banyak waktunya disita.
“Oh, boleh. Sebentar lagi Queen ke sana buat beres-beres. Lo tunggu aja di depan dulu, ya, gue telepon Queen dulu biar lo nggak perlu jelasin apa-apa ke dia nanti.”
“Oke, makasih, Ger.”
“Sama-sama, Bi. By the way, gue masih ada satu meeting lagi sama klien, mungkin jam 7 atau 8 baru bisa nyusul ke Mega. Nggak apa-apa, kan?”
“No problem, beresin aja kerjaan lo dulu, gue rencana mau di sini sampai malam.”
“Oke. Kalau lo butuh apa-apa, minta aja sama Queen, ya. Dia emang agak galak, tapi aslinya baik dan profesional kok.”
“Iya, thanks lagi.”
“No prob. Ya udah, gue tutup ya, Bi. See you there.”
Sambungan telepon pun terputus. Fabian menyimpan kembali ponselnya, lalu berderap turun dari mobil dan berjalan mendekati pintu masuk.
Selagi menunggu kedatangan Queen seperti instruksi yang diberikan oleh Gerald, sebungkus rokok Fabian keluarkan dari dalam saku celana. Satu batang rokok dia keluarkan, segera diselipkan ke bibir lalu hendak dinyalakan. Namun sayang, ketika dia merogoh saku yang satunya tempat dia menyimpan pemantik legend miliknya, ternyata benda itu tidak ada di sana.
“Ah, sialan.” Fabian mendengus sebal. Rokok yang terselip di bibir hendak dia tarik kembali ketika sebuah pemantik tahu-tahu tersuguh di depannya. Dan ketika dia mendongak untuk mencari tahu siapa gerangan yang sudah menyodorkan pemantik itu kepadanya, Fabian dibuat membeku selama beberapa detik.
Seorang perempuan berambut pendek sebahu dalam balutan hoodie tebal kebesaran dan celana training berdiri di hadapannya. Tingginya yang mungkin hanya sekitar 156 senti membuat perempuan itu terlihat kecil untuk dirinya yang setinggi 177 senti. Wajah perempuan itu terlihat bersih dari pulasan make up. Sementara bibir tebal itu sepertinya memang sudah berwarna pink alami tanpa bubuhan lipstik.
“Mau pakai atau nggak?” tanya perempuan itu dengan suara yang... Oh! Suaranya tidak asing! Tunggu, biar dia mengingat-ingat di mana kira-kira dia pernah mendengar suara itu.
“Halo? Temannya Bos Gerald? Kenapa malah melamun? Anda mau pakai pemantiknya atau nggak?”
Temannya Bos Gerald... Ah! Fabian ingat sekarang! Suara tidak asing itu adalah milik Queen, si bartender perempuan yang dia temui pertama kali di Mega kemarin malam.
Tapi, kenapa penampilannya berbeda sekali?
“Ha—“”
“Thanks,” Fabian menyambar pemantik yang Queen sodorkan, namun ia tidak segera menggunakannya untuk menyalakan rokok. “Gue boleh ngerokok di dalam aja?”
Queen tidak mengiyakan, namun tidak juga menolak. Perempuan itu malah ngeloyor seraya mengeluarkan kunci dari saku hoodie lantas menggunakannya untuk membuka pintu.
“Anda mau nunggu Bos Gerald di meja bar atau di ruang VVIP?” tanya Queen setelah berhasil membuka pintu Mega lebar-lebar.
“Ruang VVIP.” Jawab Fabian.
Queen mengangguk, lantas melangkah masuk lebih dulu tanpa mempersilakan Fabian untuk ikut bersamanya. Fabian sih bodo amat, dia tidak pernah ambil pusing pada perlakuan orang lain terhadapnya. Asal tidak sampai mengganggu dan melukai, dia tidak akan peduli. Dengan langkah lebar, ia mengekori Queen.
“Anda butuh apa selama di ruang VVIP? Biar saya siapin sekarang. Soalnya nanti saya sibuk beres-beres, nggak bisa kalau harus mondar-mandir nyiapin apa yang anda mau.” Tidak ada keramahan sama sekali dari nada suara Queen.
“Gue nggak butuh apa-apa.” Dan begitu juga cara Fabian menjawab pertanyaan Queen, terkesan dingin dan tidak bersahabat. “Gue pinjam aja pemantik lo, nanti gue balikin kalau udah selesai.” Lalu Fabian berlalu meninggalkan Queen menuju ke lantai dua.
Sesampainya di ruang VVIP, Fabian langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa. Rokok dan pemantik dia geletakkan begitu saja di atas meja kaca, sudah tidak bersisa lagi nafsunya untuk merokok.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.
Tidak ada yang Fabian lakukan selain berbaring seraya melabuhkan tatapannya ke langit-langit yang dihiasi lampu temaram. Sampai kemudian, kantuk tiba-tiba saja menyerang.
Itu adalah hal langka, malah bisa dibilang akhir-akhir ini dia kembali mengalami kesulitan tidur. Jadi mumpung kantuk itu datang tanpa diundang, Fabian tidak akan menolaknya. Ia memejamkan mata, membiarkan lelahnya sedikit rebah untuk kemudian menghantam lebih parah.
...🍂🍂🍂🍂🍂...
Entah sudah berapa kali Queen mendapatkan notifikasi pesan ke ponselnya sejak si teman bosnya itu datang ke Mega di sore yang masih terang benderang. Bos yang katanya sedang sibuk meeting itu terus-menerus mengirimkan pesan, meminta ini itu, request supaya temannya dilayani dengan baik dan supaya dia tidak bersikap kasar kepada lelaki itu.
Untuk permintaan menyediakan minuman dan camilan, Queen sama sekali tidak keberatan. Toh memang dia bekerja di sini untuk melayani pelanggan. Tapi kalau soal permintaan untuk bersikap manis madu, mohon maaf saja, Queen tidak bisa. Itu memang sudah menjadi ciri khasnya, semacam self branding sebagai upaya agar para tamu tidak ada yang berani berbuat macam-macam kepadanya karena dia galak.
Usai memastikan seluruh area bar bersih dari debu, Queen berjalan menuju gudang penyimpanan di bagian belakang. Satu botol wine dia ambil, lalu dia beralih menuju lemari tempat di mana berbagai macam camilan disimpan. Ia mengambil beberapa jenis, lalu dengan tangannya yang kecil itu Queen membawa camilan dan botol wine ke ruang VVIP untuk disuguhkan kepada teman bosnya supaya si Bos Gerald tidak cerewet lagi.
Sudah jam 6 lewat, Queen juga harus buru-buru berdandan dan berganti pakaian sebelum Mega dibuka pukul 7 nanti. Jadi menurutnya, lebih cepat dia memenuhi segala kebutuhan teman bosnya, itu akan lebih baik.
Sampai di depan pintu VVIP, Queen mengetuk sebanyak 6 kali. Namun dari keenam ketukan itu, tidak satu pun yang mendapatkan sahutan.
Bukannya tidak sopan, tapi Queen paling anti kalau harus buang-buang waktu. Bahkan jika itu adalah Gerald sekalipun, dia tidak akan segan untuk marah-marah kalau lelaki itu membuang terlalu banyak waktu.
Maka dengan gerakan yang sedikit sewot dan hati yang dongkol, Queen mendorong pintu ruang VVIP yang lumayan berat. Hanya untuk disuguhi sebuah pemandangan di mana teman bosnya itu ternyata sedang terkapar di atas sofa dengan posisi terlentang. Lengan kirinya ada di atas perut, sedangkan lengan kanannya berada di kening.
Queen berjalan mendekat. Segala barang bawaan dia letakkan di atas meja kaca, lalu dia terdiam sejenak memandangi si teman bos yang terlelap. Dalam keadaan memejamkan mata seperti ini, lelaki yang masih belum dia ketahui siapa namanya itu terlihat jauh berbeda. Tidak ada aura dingin yang menguar dari tubuhnya, yang ada Queen malah bisa menangkap aura kesepian yang begitu kentara.
Yeah, orang-orang yang datang ke Mega memang bukan golongan manusia yang hidupnya baik-baik saja. Tapi untuk beberapa alasan, Queen selalu bisa menangkap keberadaan orang-orang yang kadar permasalahan hidupnya sama seperti dirinya. Rumit dan runyam, terlalu sulit untuk diselesaikan.
“Nggak sopan ngelihatin orang yang lagi tidur sampai segitunya.”
Queen tersentak kala suara laki-laki yang sedang dia pandangi itu tiba-tiba mengudara. Perlahan-lahan ia juga melihat lelaki itu membuka matanya, lalu merubah posisinya menjadi duduk.
“Saya cuma mau memastikan kalau anda masih hidup. Nggak lucu, kan, kalau ternyata anda udah mati dan matinya pas posisi cuma ada saya di sini?”
Si lelaki terkekeh, seperti meledek. “Tenang aja, gue nggak akan mati segampang itu. Udah sering gue minta sama Tuhan buat mati, tapi nggak pernah dikabulin. Kalaupun harus mati, caranya pasti nggak akan sesederhana gue lagi tidur terus kena serangan jantung dan bablas.”
Tidak peduli. Queen ingin mengatakan itu, tetapi yang terjadi malah dia mengatakan hal lain. “Wine dan camilan. Bos Gerald minta saya untuk antar itu ke sini. Setelah ini, saya harus siap-siap buat kerja, jadi tolong jangan minta apa pun ke saya sampai nanti Bos Gerald datang.” Selesai bicara, Queen putar balik dan berjalan cepat keluar meninggalkan ruang VVIP.
Yang Queen tidak tahu, hanya sedetik setelah punggungnya menghilang ditelan pintu, si lelaki di atas sofa itu bergumam pelan. “Menarik.” Seraya menerbitkan senyum yang hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu apa maknanya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Zenun
menarik
2023-08-05
1