Mega dan Keriuhan yang Sama

Neosantara sudah terlalu asing untuk Fabian datangi. Meskipun pada kenyataannya ia adalah tempat di mana Pain Killer pertama kali berdiri, Fabian tidak yakin dia bisa menemukan banyak informasi tentang keberadaan teman-temannya dari orang-orang yang tersisa di sana.

Maka, Mega kemudian menjadi satu-satunya pilihan yang Fabian rasa paling tepat. Segera setelah dia melepas penat dan membiasakan diri dengan kehidupan di Jakarta, Fabian datang me kelab favorit mereka itu.

Fabian menjejakkan kaki, keluar dari mobil yang terparkir di depan bangunan Mega yang megah. Setelah sekian lama tidak menginjakkan kaki di sana, Mega masih terlihat sama. Yang berbeda hanyalah fakta bahwa malam ini dia datang sebagai tamu reguler, yang harus dan wajib menunjukkan kartu identitas serta melewati serangkaian pemeriksaan keamanan untuk bisa masuk ke dalam bangunan megah yang menawarkan kesenangan duniawi dengan harga jutaan itu. Dia bukan lagi pelanggan VIP yang bisa bebas masuk sesuka hati, bahkan hanya dengan menampakkan batang hidungnya kepada dua penjaga yang sudah menjadi bestie dengannya dulu.

Usai melewati serangkaian proses pemeriksaan, Fabian akhirnya diperbolehkan masuk. Ia pun segera mengayunkan langkah menerobos pintu besar nan berat yang dibukakan oleh dua penjaga bertubuh kekar.

Gemerlap lampu yang menyilaukan, berpadu dengan suara musik yang berdentam-dentam menjadi hal pertama yang menyambut kedatangan Fabian dengan begitu meriahnya. Beberapa orang berkerumun di lantai dansa, berlenggak-lenggok seperti hanya mereka penghuni dunia. Beberapa yang lain duduk diam di kursi masing-masing, menikmati minuman yang dibawakan oleh waitress sambil sesekali menggodanya dengan iming-iming lembaran uang ratusan ribu. Tentu, juga ada beberapa yang memilih kursi bagian pojok, agar bisa bercumbu dengan perempuan bayaran yang mereka bawa dari luar.

Fabian melanjutkan langkah, semakin ke dalam bagian Mega hingga tiba di depan meja bar di mana Gerald biasa berjaga di sana.

Namun, sejauh mata memandang, tak ditemukannya eksistensi lelaki itu di sana. Yang ada, dia malah menemukan seorang perempuan sekitar awal 20-an yang berdiri di tempat Gerald biasa berada.

Perempuan dengan pakaian seksi serba hitam yang menampakkan belahan dada dan make up tebal itu tampak begitu lihai meracik minuman untuk seorang laki-laki tua yang duduk di stool bar. Dari pakaiannya, lelaki itu sepertinya bukan orang sembarangan. Keberadaan jam tangan merek mahal dan selembar American Express yang teronggok di atas meja bar juga semakin menguatkan dugaannya. Paling tidak, lelaki itu adalah seorang eksekutif di sebuah perusahaan besar.

"Mau minum? Atau cuma mau bengong?" suara jernih sang perempuan membuyarkan lamunan Fabian. Ia mengangkat kepala, menemukan dirinya sudah menjadi pusat perhatian bagi lelaki tua yang sedari tadi dia perhatikan, dan si perempuan bartender, tentu saja.

"I'm looking for someone." Kata Fabian berusaha mengabaikan tatapan menghakimi dari laki-laki tua di hadapan.

"Excuse me, ini kelab malam, bukan pusat informasi." Si perempuan menjawab ketus.

Fabian tidak tersinggung, tidak sama sekali. Modelan seperti itu sudah sering dia temukan, terutama di kelab-kelab murahan yang mempekerjakan perempuan sekaligus untuk dijadikan pel*cur.

Dengan tenang, Fabian berjalan lebih dekat, lalu duduk di atas stool bar lain yang masih kosong. "Gerald, di mana dia?" tanyanya to the point. Sepengetahuannya, Gerald begitu mencintai pekerjaan sebagai bartender, jauh lebih besar dari apa pun juga di dunia. Mustahil lelaki itu akan berhenti begitu saja, apalagi ini adalah Mega, kelab yang dia berperan besar di dalam perkembangannya.

Si perempuan berambut cokelat pendek sebahu itu menaikkan sebelah alisnya. "Anda siapa? Kenapa mencari Bos Gerald?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.

Bos Gerald? Fabian nyaris tersedak air liurnya sendiri mendengar sebutan itu tersemat untuk si Gerald Octariast. Sejak kapan lelaki itu menjadi bos?

Namun keterkejutannya itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang begitu familier berasal dari arah belakang tubuhnya.

"I'm here."

Gerald, yang dicari-cari sejak tadi, berdiri kokoh dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana bahan berwarna abu-abu tua.

Fabian menelan ludahnya sudah payah selagi menguliti penampilan Gerald yang tak biasa. Lelaki itu tampil dalam balutan setelan formal yang kelewat rapi. Seluruh kancing dari kemeja berwarna putih yang membalut tubuh atletisnya masih terpasang rapi, dasi berwarna abu-abu tua dengan motif garis-garis berwarna putih yang samar juga masih tergantung di lehernya, pun dengan jas berwarna abu-abu yang juga masih rapi membingkai tubuh tegapnya. Dan, oh, kacamata! Gerald juga mengenakan kacamata, yang membuatnya tampak seperti eksekutif muda dari perusahaan paling besar di nusantara.

"Gerald Octariast?" tanpa sadar, Fabian menggumamkan nama lengkap Gerald seraya bangkit dari kursi. "Really?"

"Bos kenal orang ini?" si bartender menyela.

Gerald melirik perempuan itu, lalu mengangguk. "My friend." Ucapnya, membuat perempuan di belakang meja bar itu mengangguk lalu kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya.

"Masih ingat sama gue?" tanya Gerald dengan nada sarkas. Wajar, Fabian pergi tanpa pamit seperti seseorang yang tidak tahu sopan santun, maka ia akan memaklumi jika kini Gerald terlihat kesal. "Gue kira lo udah mati, Bi."

"Gue sih maunya gitu." Sahut Fabian diakhiri kekehan ringan. "Tapi gimana, dong, Tuhan maunya gue masih hidup."

"Sialan." Gerald mendengus. Lalu, lelaki itu melepaskan jaket yang membalut tubuhnya, melemparkannya kepada bartender perempuan di belakang Fabian untuk minta disimpankan. "Dua vodka, Queen. Tolong antar ke VVIP." Titahnya kemudian.

Sang perempuan mengangguk paham, lalu mulai bergerak melaksanakan perintah sang bos.

"Kita ngobrol di dalam aja, di sini terlalu berisik." Ajak Gerald. Kemudian lelaki itu berjalan lebih dulu, menuntun Fabian menuju ruang VVIP yang terletak di lantai dua.

Fabian menurut, dia ekori ke mana saja langkah Gerald pergi. Tapi, sebelum benar-benar menghilang di balik belokan tangga, ia sempat mencuri pandang ke arah bartender perempuan tadi, yang kini masih sibuk menyiapkan minuman.

Entah kenapa, Fabian merasa perempuan itu tidak asing. Hanya saja dia tidak tahu di mana pernah melihat perempuan itu sebelumnya.

Bersambung.

Haloooo, cuma mau kasih tahu aja, buat yang baca cerita ini sambil baca Dum Spiro, Spero (ceritanya Baskara) tolong jangan bingung, ya.

Cerita ini setting waktunya di tahun ke-5, sedangkan bagian Baskara ada di tahun ke-4. Jadi nggak akan ada part yang cocok karena memang setting waktunya berbeda.

Sekian, terima kasih...

Salam sayang, Rain

Terpopuler

Comments

Raudatul zahra

Raudatul zahra

belum lanjut lagi yg cerita Babas thor.. nyelesain ini dulu aja

2023-11-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!