Memories Bring Back You

Matahari bersinar begitu terik di luar sana, membuat Fabian mengurungkan niat untuk memulai pencariannya terhadap teman Pain Killer di hari ketiga dia di Jakarta. Rasanya, kalau dia nekat untuk tetap berkeliaran di luar, tubuhnya yang hanya sedikit lebih berisi ketimbang lima tahun lalu itu bisa meleleh, berubah menjadi cairan menjijikkan yang hanya akan mengotori tanah.

Oh, tidak. Itu tidak boleh terjadi. Dia harus tetap menjadi manusia agar bisa menemukan teman-temannya dan mereka berkumpul kembali.

Fabian beringsut dari pembaringan, berjalan menuju pintu balkon lantas menggeser pintu kaca itu hingga angin sepoi-sepoi langsung menerobos masuk, menerpa tubuhnya yang hanya berbalut kaus kutang dan celana pendek di atas lutut. Lumayan, setidaknya angin yang berembus itu bisa sedikit mengusir hawa panas yang sedari tadi menyelimuti meskipun air conditioner sudah dinyalakan dalam suhu paling rendah.

Ini juga sepertinya efek karena dia terlalu sering tinggal di negara 4 musim. Jadi ketika dia kembali harus merasakan panasnya kota Jakarta, tubuhnya mendadak kaget.

Belum lama, mungkin baru sekitar 15 menit yang lalu, Mbok Darmi pamit pulang. Salah satu anaknya yang perempuan, yang telah menikah dan menetap di Kalimantan bersama suaminya katanya baru pulang. Wanita itu tampak senang saat menceritakan kedatangan putri bungsunya itu, maka Fabian tidak punya hak untuk melarang Mbok Darmi pulang lebih cepat.

Biasanya, wanita itu memang baru akan pulang setelah jam 5 sore, setelah memastikan makan malam untuk Fabian siap dan rumah telah dalam keadaan bersih. Tapi terkhusus hari ini, Fabian tidak keberatan untuk memberikan kelonggaran.

Melihat Mbok Darmi senang, dia juga senang. Itu bukan hanya sekadar bualan. Karena memang begitu kenyataannya. Sedari dulu dia juga begitu. Setiap kali melihat riuh kebahagiaan di sekitar, dia pun akan turut merayakannya. Meskipun hidupnya sendiri jauh dari yang namanya kebahagiaan.

Seakan tidak puas hanya dengan semilir angin yang berembus, Fabian berjalan lebih dekat ke balkon. Kursi kayu yang ada di sana tidak dia jadikan pilihan, sebab dia lebih memilih untuk duduk gelesotan di atas lantai yang dingin. Kakinya berselonjor, kedua lengannya ditarik ke belakang untuk dijadikan tumpuan. Ia lalu mendongakkan kepala, hanya untuk mendumal karena sinar matahari yang mengenai matanya terlalu silau dan membuatnya sakit.

“Jangan galak-galak dong, Ri. Lo nggak perlu bersinar segalak ini buat bikin orang tahu kalau lo hebat.” Ocehnya, pada matahari di atas sana yang sama sekali tidak menjawab.

Random sekali, tapi memang begitulah dia. Bahkan setelah kabur ke negeri orang, menerima lebih banyak budaya dan kebiasaan dari orang-orang yang dia temui di sana, ia tetap kembali menjadi dirinya yang dulu ketika tiba di rumah. Yah, memang benar, hanya rumah satu-satunya yang bisa membuat dia menjadi diri sendiri.

Sesekali, Fabian masih mengajak bicara sang matahari. Sesekali ia juga dengan sewotnya mencaci angin yang berembus terlalu kencang hingga menerbangkan anak-anak rambutnya sampai menutupi mata.

Kegiatan itu berlangsung cukup lama, sampai tiba-tiba, dia menemukan langit cerah di atas sana berubah mendung. Titik hujan mulai turun, secepat itu tanpa sempat memberikan aba-aba. Matahari yang semula bersinar tinggi, tahu-tahu sudah hilang entah ke mana dan angin yang berembus tidak lagi membawa kesejukan, melainkan hawa dingin yang menusuk tulang.

Akan tetapi, keanehan itu tidak berhenti hanya di sana. Ia juga kemudian mendengar suara riuh dari arah halaman depan. Riuhnya berasal dari dua orang, yang tampaknya sedang beradu argumen meski sesekali juga terdengar suara gelak tawa yang bersahut-sahutan.

Merasa terpancing, Fabian pun bangkit. Dia berjalan menuju pembatas balkon, lantas dibuat mematung kala menemukan bayangan dirinya dan Baskara tengah berlarian di bawah hujan. Mereka berkejar-kejaran, saling menarik baju satu sama lain hingga akhirnya jatuh tersungkur bersama. Tidak ada cacian yang keluar ketika tubuh mereka menjadi kotor penuh lumpur dan air hujan, yang ada justru gelak tawa yang riangnya mampu meredam suara hujan yang berisik.

Pelukan hangat tercipta. Yang awalnya hanya Baskara sendiri yang memeluknya tanpa balasan, lama-kelamaan dia juga turut melingkarkan lengan ke tubuh lelaki itu. Hangat merambat, menepis dingin yang menyelimuti karena tetes air hujan masih terus menghujani tubuh mereka yang telah kuyup.

“Bi, kabur yuk, ke luar negeri.”

“Nanti, tunggu duit gue banyak dulu.”

“Duit lo udah banyak, anjir. Udah bisa bikin ruko Mixue 6 biji.”

“Ahaha, Mixue. Gue kebayang lo berubah jadi boneka salju yang ada di logo Mixue, terus nyanyiin mars Mixue sambil pantat lo geol-geol. Ahahaha...”

Bibir Fabian menipis kala sepotong percakapan dari masa lalu itu hadir kembali. Iya, dia sadar apa yang dia lihat dan dengar tidak lebih dari sekadar halusinasi. Sebab ketika dia mendapatkan kesadarannya kembali, langit di atasnya sudah kembali cerah, matahari masih bertakhta di tempat tertinggi, pun dengan angin sialan yang masih membuat anak rambutnya beterbangan semaunya sendiri.

“Mixue.” Ia bergumam. Hari itu, ketika Baskara menyeletuk soal Mixue, brand es krim itu memang sedang booming. Tidak sulit untuk menemukan gerainya yang didominasi warna merah dan putih, sebab ia tersebar di hampir seluruh wilayah di Jakarta kala itu.

Sekarang, sudah lima tahun berlalu, ternyata brand itu masih cukup berjaya. Padahal tadinya Fabian pikir ia tidak akan bertahan lama karena sifatnya yang musiman. Ternyata dia salah. Tak peduli seberapa banyak ruko Mixue dibangun, tak peduli seberapa banyak orang yang telah datang berkunjung, tak peduli ada berapa brand-brand serupa yang muncul, ia tetap akan memiliki pelanggannya sendiri.

Pelanggan yang memang datang untuk satu cone es krim Mixue yang hanya bisa dibeli di gerai itu sendiri. Pelanggan yang tahu, bahwa meskipun bahan-bahan yang digunakan sama, tapi rasa yang akan didapatkan dari setiap lelehannya tidak akan pernah serupa.

Sama halnya seperti para pelanggan setia Mixue yang sadar mereka tidak akan bisa menemukan rasa yang sama dari brand es krim yang lain, Fabian pun paham betul bahwa dia juga tidak akan bisa menemukan pertemanan yang sama seperti yang dia bangun bersama Pain Killer. Mencari teman bukan perkara sulit, tapi untuk menemukan yang setulus mereka... Tidak. Tidak akan ada lagi yang seperti mereka di dalam kehidupan Fabian yang rumit ini.

“Fxck, I miss you so bad, guys.”

Bersambung

Terpopuler

Comments

Raudatul zahra

Raudatul zahra

Babas sama Biru belum kuat baca thor,, jadi kabur kesini dulu yaa

2023-11-25

0

Rohad™

Rohad™

Izin jejak thor. 😄
19-10-23 | 10.09

2023-10-29

1

jully

jully

ini yang kemaren sama kah...

2023-06-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!