Terminal kedatangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta sore itu terlihat ramai. Orang-orang berkerumun, berjalan seraya menggeret koper masing-masing menghampiri sanak saudara yang telah menunggu dengan senyum yang terkembang lebar sampai ke telinga. Keceriaan terpancar di mana-mana, luapan perasaan rindu mengharu biru, membuat siapa saja yang melihatnya akan turut tenggelam di dalam perayaan rindu itu.
Akan tetapi, di antara banyaknya orang yang tengah merayakan pertemuan setelah sekian lama itu, ada satu orang yang justru tampak kesepian. Dia adalah Fabian. Setelah kabur selama lima tahun, dia memutuskan untuk pulang, hanya untuk ditampar fakta bahwa tak peduli berapa lama pun ia pergi, tetap tidak akan ada yang datang untuk menyambut kepulangannya. Ia sendirian, selalu.
Fabian menghentikan langkahnya tepat sebelum mencapai pintu keluar. Tatapannya berlarian, mengelilingi setiap sudut di mana dia bisa menemukan banyak sekali aroma kerinduan yang menguar di mana-mana. Dan sialnya, tak satupun dari mereka yang berlarian ke arahnya. Kerinduan itu tidak ditujukan untuk dirinya, jadi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum miris meratapi nasibnya sendiri.
Kemudian, Fabian melanjutkan langkah dan menggeret kembali kopernya. Berusaha mengabaikan racauan yang terdengar tumpang-tindih di sekitarnya, ia membuka pintu taksi bandara yang sudah menunggu di antrean. Yah, setidaknya, masih ada si sopir taksi yang mau menyunggingkan senyum ramah kepadanya walaupun ia tahu senyum itu akan tersuguh untuk siapa saja yang mau menggunakan jasanya. Tidak apa-apa. Untuk Fabian yang sudah tidak memiliki apa pun, itu sudah cukup.
Taksi lalu membawanya melaju menyusuri jalanan kota Jakarta yang macetnya masih sama seperti lima tahun lalu sebelum dia tinggalkan. Di trotoar, masih banyak pedagang yang menggelar dagangannya seakan tidak peduli lagi bahwa sewaktu-waktu, mereka bisa diusir dari sana ketika petugas satpol PP datang merazia. Tak Cuma pedagang, Fabian juga beberapa kali menemukan pengendara sepeda motor melajukan kendaraannya di atas trotoar, merampas hak pejalan kaki yang justru mengalah dengan berjalan di pinggiran jalan—menanggung risiko terserempet pengendara ugal-ugalan.
Pelanggaran seperti ini sudah biasa ditemukan di mana saja, bukan Cuma di Indonesia. Hanya bentuk pelanggarannya saja yang berbeda, intinya tetap sama, bahwa peraturan yang dibuat tidak ditaati sebagaimana mestinya. Miris, tapi memang begitu kenyataannya. Akan selalu ada kelompok manusia yang berpegang pada satu kalimat “Aturan dibuat untuk dilanggar” dan Fabian tidak bisa berbuat apa pun tentang hal itu.
"Habis liburan ya Mas?" Fabian menoleh ke depan, si sopir taksi terlihat menatapnya lewat kaca spion tengah.
Fabian tersenyum tipis, kemudian menganggukkan kepala. Tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa dia baru saja kembali dari sebuah pelarian panjang, kan? Lagi pula, sopir taksi itu tidak akan benar-benar peduli.
"Liburan di mana kalau boleh tahu? Eropa? Atau masih sekitar Asia?" tanya si sopir taksi lagi.
"Kanada." Jawab Fabian.
"Wah, asyik, ya. Saya juga lagi nabung nih, Mas, buat ajak anak istri saya liburan ke luar negeri juga." Celoteh di sopir taksi dengan riangnya.
"Semoga cepat terkumpul uangnya." Sahut Fabian. Lalu, percakapan mereka terputus di sana. Si sopir kembali fokus melajukan taksi, sementara Fabian kembali melayangkan pandangan ke luar jendela.
Semakin jauh taksi melaju, Fabian semakin merasa bahwa dia benar-benar telah kembali ke tempat di mana dia berasal. Atmosfer yang dia temui di sepanjang jalan membuatnya bernostalgia, mengingat kembali hal-hal di masa lalu, baik yang indah maupun yang menyedihkan. Semuanya tumpah ruah menjadi satu, memenuhi benak Fabian hingga membuatnya tenggelam di dalam dunianya sendiri.
...🍂🍂🍂🍂🍂...
Cukup lama Fabian berdiri di depan sebuah bangunan yang masih terlihat terawat dengan baik meskipun sudah lama dia tinggalkan. Pagar besi yang berdiri menjulang masih tampak kokoh, tak terlihat karat sedikit pun menempel di setiap bagiannya. Cat berwarna abu-abu masih terasa baru, seperti seseorang sengaja membalurkannya kembali karena tahu sang Tuan rumah akan kembali dalam waktu dekat.
Dari posisinya berdiri, Fabian juga bisa melihat keberadaan pot-pot tanaman dengan bunga warna-warni tertata rapi di sisi kiri teras, sesuatu yang baru karena dulu rumah ini hanya dikelilingi warna kelabu.
Dari dalam rumah, setelah Fabian memutuskan untuk menerobos gerbang, muncul seorang wanita paruh baya dalam balutan daster bunga-bunga berwarna biru muda. Wanita yang kini menggelung rambut hitamnya itu dengan asal tampak tersenyum pada Fabian, matanya sedikit berair, tapi ia tidak kelihatan hendak menangis.
“Selamat datang kembali, Den.” Ucap wanita itu menyambut Fabian seraya merentangkan tangannya lebar-lebar.
Fabian melepaskan tangannya dari gagang koper, segera membalas pelukan yang ditawarkan oleh wanita itu sebelum waktu berlalu dan dia kehilangan kesempatan. “Terima kasih.” Adalah kalimat pertanya yang Fabian ucapkan selagi ia menyandarkan kepalanya begitu nyaman di bahu sang wanita.
Mbok Darmi, wanita berusia 50-an itu mengangguk sebagai sebuah jawaban, meski dia tahu Fabian mungkin tidak akan menangkap pergerakannya tersebut.
Pelukan hangat nan tulus itu berlangsung cukup lama, sampai kemudian Fabian menarik diri lebih dulu, lantas menatap Mbok Darmi dengan tatapan paling teduh yang dia miliki setelah sekian lama. Ia tidak berkata apa-apa, hanya terus menatap wanita paruh baya itu dengan cara yang sama.
Mbok Darmi adalah seseorang yang dia temui tanpa sengaja, tepat satu bulan sebelum ia kehilangan ibunya. Malam itu, dia baru kembali dari Mega. Dalam keadaan setengah mabuk, dia mengendarai motornya, sedikit ugal-ugalan sehingga membuatnya tergelincir dan jatuh mengenaskan di atas semak-semak. Tidak ada yang tahu soal peristiwa itu, karena dia memang tidak menceritakannya kepada siapa pun.
Di tengah gelapnya malam yang semakin pekat dan sepinya jalanan yang licin setelah hujan, Fabian memasrahkan dirinya di atas rerumputan. Dia tidak menderita luka yang cukup parah, hanya sedikit tergores di bagian lengan karena malam itu dia kebetulan hanya mengenakan kaus lengan pendek.
Tapi anehnya, dia seakan tidak memiliki daya untuk bangkit dari posisinya. Fabian terlentang di atas rerumputan untuk waktu yang cukup lama, membiarkan sekumpulan nyamuk berpesta pora menikmati darahnya yang terhidang secara Cuma-Cuma.
Lalu, datanglah Mbok Darmi. Wanita paruh baya itu berjalan mengendap-endap ke arah semak-semak di mana ia terkapar sendirian. Takut-takut, Mbok Darmi berbicara, mengecek kondisinya untuk memastikan apakah dia masih hidup atau justru sudah menjadi mayat.
Malam itu, Mbok Darmi merawatnya, mengobati luka kecil yang dia derita dan memberikannya tempat menginap walaupun sederhana. Ternyata, Mbok Darmi adalah seorang janda yang tinggal sendirian setelah satu persatu anak yang dia besarkan dengan jerih payahnya sendiri menikah dan tinggal dengan keluarga mereka masing-masing.
Wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai penyapu jalanan itu menjalani kehidupan sederhananya dengan hati yang begitu lapang, membuat Fabian seakan ditampar berkali-kali dan diingatkan bahwa hidupnya masih tidak seberapa menyedihkan.
Begitu saja, Fabian berhasil membuat Mbok Darmi menjadi salah satu orang yang dia percaya. Beberapa kali setelah pertemuan pertama mereka, dia berkunjung ke rumah Mbok Darmi untuk sekadar menyapa dan membawakan beberapa barang kebutuhan sebagai hadiah. Lalu saat ia memutuskan pergi ke Kanada, ia meminta kepada Mbok Darmi untuk membantunya menjaga rumah ini.
Dan yah, bisa dilihat betapa tulusnya wanita itu melakukan tugasnya selama lima tahun. Rumah yang dulunya suram, kini tampak jauh lebih asri.
“Den Bian sehat?” tanya Mbok Darmi setelah mereka hanya terdiam cukup lama dalam adu pandang yang terasa seperti tak memiliki ujung. “Gimana Kanada? Indah?”
Fabian kembali mengulaskan senyum. “Saya sehat, Kanada juga cantik. Tapi, di sana, ada banyak hal yang nggak bisa saya temui. Itu sebabnya saya kembali.”
Mbok Darmi ikut tersenyum, lantas meraih tangan Fabian dan menepuk-nepuknya beberapa kali. “Di sini memang rumah Den Bian, sudah seharusnya Aden ada di sini, alih-alih tempat lain. Terima kasih sudah mau kembali, ya, Den.”
“Terima kasih juga karena sudah mau menunggu saya untuk pulang.” Lalu kembali Fabian peluk tubuh Mbok Darmi sebelum dia membawa wanita itu masuk ke dalam rumah.
Bertepatan dengan keduanya yang menghilang di balik pintu rumah, matahari sepenuhnya tenggelam.
Bersambung
Setiap sudut di rumah itu memiliki cerita tersendiri bagi Fabian. Seperti meja makan, misalnya. Di sana adalah TKP di mana dia mendapatkan tikaman kejam dari sang ibu saat masih kecil dulu, namun di sana jugalah dia untuk pertama kalinya dibiarkan menyantap masakan sang ibu dengan perempuan itu yang menemaninya duduk di kursi seberang.
Banyak kenangan yang tertinggal, walaupun sebagian besarnya adalah kenangan buruk, namun Fabian tetap merasa tidak ada tempat lain yang lebih baik untuk dia tuju selain rumah ini. Ibaratnya, di sini lah dia berasal, dan di tempat ini pula lah dia ingin mengembuskan napas terakhirnya kelak.
Sudah hampir jam 3 dini hari ketika Fabian selesai menyambangi setiap ruangan di rumah ini, dan dia berakhir puas karena jejak dari masa lalu masih tertinggal begitu jelas tanpa ada seorang pun yang berusaha untuk memudarkannya. Berliter-liter cairan pembersih lantai pasti sudah dituangkan oleh Mbok Darmi setiap hari, tapi dari bagaimana ia menjejakkan kaki telanjangnya di sini, Fabian menemukan semuanya masih terasa sama.
Perjalanan Fabian akhirnya terhenti di ruang tamu, di mana yang bisa dia temukan di sana adalah kenangan terakhir ketika ia memeluk tubuh ibunya yang dingin dan bersimbah darah.
Ngilu, sudah tentu, tapi dia tidak akan menangis lagi. Entah apa yang sedang Tuhan rencanakan untuk hidupnya, tapi perjalanan kaburnya selama lima tahun telah membuatnya sadar bahwa apa pun itu, Tuhan jelas tahu yang terbaik.
Selama kabur, Fabian benar-benar menutup akses ke semua orang yang dia tinggalkan, termasuk Mbok Darmi. Dan sampai sekarang, dia pun masih belum mengetahui kabar dari teman-temannya. Dia tahu perjalanannya untuk menemukan mereka kembali tidak akan mudah, mengingat sudah terlalu lama dia pergi dan kemungkinan besar teman-temannya juga sudah tidak berada di tempat yang sama lagi.
Kira-kira, bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah kelakuan mereka masih sama seperti lima tahun yang lalu, berisik dan menyebalkan? Atau mereka mulai berubah sedikit demi sedikit menjadi sosok yang lebih baik? Sama seperti dirinya, yang mulai bisa menerima segala ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Tuhan untuk hidupnya?
“Clarissa, oh Clarissa ... mengapa engkau tinggalkan daku yang sungguh mencintaimu ini?!”
Fabian terkekeh saat samar-samar, ia seperti mendengar suara Reno yang merengek perihal keputusan Clarissa mengakhiri hubungan. Ia jadi penasaran, apakah kisah cinta dua anak manusia itu betul-betul sudah tidak bisa lagi diperjuangkan? Rasanya, sayang jika memang sudah tidak bisa.
Karena demi apa pun, Fabian bisa melihat betapa Reno menyayangi Clarissa. Memang kelihatannya saja berengsek, tapi Reno aslinya jauh lebih tulus daripada yang orang-orang kira. Banyak hal yang sudah pemuda itu lakukan untuk Clarissa, sesuatu yang mungkin tidak akan dilakukan kepada gadis lain di kemudian hari, saking spesialnya sosok Clarissa di mata pemuda itu.
“Dia terlalu subhanallah buat gue yang astaghfirullah, Bi.”
Keluhan lainnya datang dari Juan, beberapa bulan sebelum mereka saling terpisah. Untuk pertama kalinya, Fabian mendengar pemuda berotot itu mengeluh soal cinta. Dan lagi, yang dikeluhkan pun adalah seseorang yang sama sekali tak terduga.
Zahira Cassanova. Dari namanya saja, sudah terbayang betapa ayu perempuan itu. Dan memang benar, Zahira adalah gadis yang cantik. Memang bukan tipikal gadis populer yang direbutkan banyak laki-laki di kampus, tapi justru di situ lah letak keistimewaannya.
Zahira adalah gadis berkerudung yang senantiasa menjaga pandangan, menjaga dirinya dari gangguan makhluk-makhluk liar bernama laki-laki dengan tidak banyak melakukan interaksi. Bukan tipikal yang mabuk agama, tapi Fabian tahu gadis itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang taat pada Tuhannya.
Mendengar seorang Juananda Saputra yang berengsek abis jatuh cinta pada seorang Zahira Cassanova rasanya mustahil, namun Fabian tetap menerima kabar itu tanpa sedikit pun niat untuk menghakimi. Sebab katanya, cinta tidak pernah memilih kepada siapa dia akan jatuh.
Lantas, sudahkah pemuda berotot itu berhasil mendapatkan hati Zahira, ataukah masih berusaha mencari celah untuk masuk ke dalamnya?
“Ayo kita kabur, Bi.”
Senyum yang Fabian kulum perlahan pudar ketika suara Baskara mengudara. Dari sekian banyak bagian, mengapa harus bagian itu yang muncul pertama kali di dalam kepalanya?
Fabian tidak membenci Baskara, sungguh. Apa yang terjadi di antara mereka bukanlah kesalahan mereka berdua. Fabian sadar, mereka hanyalah korban dari keegoisan para orang dewasa. Akan tetapi, kenapa sampai sekarang pun, hanya hal-hal sedih yang datang kepadanya setiap kali nama Baskara muncul? Padahal, jauh daripada teman-temannya yang lain, dia lebih banyak berbagi tawa dengan pemuda itu. Apakah semua tawa dan kenangan itu lantas menjadi tidak berarti hanya karena mereka terluka terlalu banyak selama ini?
“Bas, you okay? Gue harap, lo nggak lagi menyalahkan diri sendiri.” Gumam Fabian. Ia sudah berencana untuk tidak menangis, tapi saat kenangan tentang Baskara muncul, entah kenapa dia malah merasakan dadanya begitu sesak hingga tanpa sadar meloloskan air mata.
Di titik ini, Fabian akhirnya sadar, bahwa dia benar-benar menyayangi bocah tengik itu. Dari sekian banyak hal yang dia kejar, dari sekian banyak orang yang ingin dia temui lagi setelah semua hal yang terjadi, nyatanya Baskara adalah bagian paling penting yang tidak bisa dia hindari. Malahan, justru pemuda itu lah poros dari dunia yang sekarang dia pijaki.
Kehilangan ibunya adalah bencana besar yang membuat Fabian nyaris gila, namun kehilangan teman-teman yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri adalah badai lain yang dia bahkan tidak tahu bagaimana cara melewatinya.
Bersambung
Cahaya matahari menelusup masuk melalui celah gorden yang terbuka, merambatkan kehangatan kepada Fabian yang masih tergolek di atas pembaringan, membuat lelaki itu akhirnya menggeliat pelan seraya mengerjapkan matanya pelan untuk menyesuaikan dengan cahaya di sekitar.
Usai mendapatkan kesadarannya secara penuh, Fabian turun dari ranjang. Kaki telanjangnya lalu diseret menuju kamar mandi. Di sana, dia duduk di atas closet, merenung sebentar sebelum meraih sikat gigi dan odol untuk membersihkan giginya sebagai rutinitas di pagi hari.
Seraya menggerakkan sikat gigi dengan gerakan memutar, memastikan setiap celah di giginya tersapu oleh bulu-bulu lembut sikat gigi, Fabian mulai menyusun rencana di dalam kepala.
Ini soal pencariannya terhadap teman-teman Pain Killer. Ia sedang mempertimbangkan harus ke mana dulu dia mencari keberadaan mereka. Haruskah ia pergi ke Neosantara, atau malah pergi ke Mega?
Tak terasa, busa dari odol sudah memenuhi mulutnya, membuatnya menghentikan adegan menyikat gigi dan segera membasuh mulutnya menggunakan air dari keran wastafel. Setelah itu, dia melepaskan pakaiannya satu persatu, membiarkan mereka jatuh teronggok di atas lantai kamar mandi yang masih kering lalu berjalan menuju bath ub yang belum terisi.
Keran dinyalakan. Ia tidak menunggu sampai bath ub penuh, langsung saja masuk ke dalamnya dan membiarkan kucuran air dari keran menyentuh punggungnya yang telanjang.
Kurang lebih 25 menit Fabian menghabiskan waktu untuk berendam di sana, membiarkan air dingin mengompres seluruh bagian tubuhnya hingga membuat kesadarannya terkumpul semakin banyak. Setelah puas, dia berjalan menuju shower, membilas tubuhnya juga dengan air dingin.
Kemudian, setelah dirasa bersih, dia bergerak meraih handuk yang tergantung, mengelap setiap inci bagian tubuhnya lalu membalutkan benda lembut berwarna putih itu untuk menutupi bagian bawah tubuhnya saja.
Dengan bertelanjang dada, Fabian kembali ke dalam kamar. Tidak langsung berpakaian, dia malah mendudukkan dirinya di tepian ranjang, dalam sekejap fokus pada layar ponsel yang kini menampilkan foto ia dan tiga temannya.
Sejak memutuskan pergi, ia memutuskan untuk menggunakan foto tersebut sebagai wallpaper di ponselnya, hitung-hitung sebagai pengingat bahwa dia pernah memiliki teman-teman yang berharga, sekaligus sebagai obat ketika rindu datang mendera.
Sampai tubuhnya kering sempurna, Fabian masih tidak beranjak dari posisinya. Bukan hanya menatapi wallpaper di layar ponsel, kini dia juga menjelajah ke dalam akun sosial media yang baru dibuatnya. Dia buka satu persatu, mulai dari Instagram, Twitter sampai TikTok pun dia buka, hanya untuk menemukan kehampaan sebab akun milik teman-temannya yang dia cari sudah tidak ada di sana. Seakan mereka sedang berkomplot untuk menghilang dari jangkauan dirinya.
Itu adalah kesalahannya, jadi Fabian tidak akan melayangkan protes. Dia yang lebih dulu memutus kontak. Mengganti nomor telepon dan menghapus semua akun media sosial yang dia miliki. Ia terlalu fokus untuk menyembuhkan diri, sampai lupa untuk peduli bahwa teman-temannya juga sedang terluka, sama seperti dirinya.
Sadar pencariannya tidak akan berjalan mudah, Fabian meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas. Ia lalu berjalan menuju lemari, memungut satu kaus polos pas badan berwarna navy dan celana jeans sobek-sobek warna serupa. Segera ia kenakan setelan itu, lantas mematut dirinya di depan cermin—hanya untuk menyadari bahwa sejauh apa pun dia pergi, tidak ada yang berubah dari dirinya.
Setelah menyisir helaian rambut menggunakan jemari panjangnya, Fabian bergegas menyambar ponsel dan dompet. Ia lalu berlarian keluar dari dalam kamar, menuruni tangga menuju dapur, di mana Mbok Darmi tampak sedang sibuk berkutat dengan berbagai peralatan masak.
“Mbok Darmi masak apa?” tanyanya, seraya menarik kursi lalu duduk di atasnya. Dia juga menyambar teko beling berisi air putih, menuangkan air ke dalam gelas yang sudah tersedia di atas meja makan lalu menenggaknya dengan rakus.
Mbok Darmi membalikkan badan, tersenyum tipis pada sosok Fabian yang kini menatap menanti jawaban. “Nasi goreng seafood plus telor ceplok setangah matang.” Ucap wanita itu riang. “Sebentar lagi matang, tunggu ya, Den.”
Fabian mengangguk patuh. Dia betulan menunggu sampai Mbok Darmi selesai menyiapkan semuanya. Dengan tenang, dengan sabar, sampai tiba-tiba dia seakan melihat sosok ibunya menggantikan eksistensi Mbok Darmi di belakang kompor.
Senyum yang tercetak di wajah tampan Fabian seketika pudar, sesak perlahan kembali datang kala bayangan sosok Raya mulai bergerak lebih banyak. Menatapnya, berbicara, bahkan melabuhkan usapan di punggung tangannya.
Ia tahu ini semua hanya halusinasi, tapi dia sama sekali tidak berniat untuk menepisnya. Kalaupun harus didiagnosis gila, dia juga tidak akan keberatan. Karena hanya dengan begini saja, dia bisa sedikit mengobati kerinduan akan kehadiran ibunya.
Selesai sarapan, Fabian pamit kepada Mbok Darmi untuk keluar sebentar. Ia berjalan menuju garasi, menilik mobilnya yang sudah lama tidak dipakai namun sama sekali tidak terlihat berdebu.
Kunci mobil yang semula disimpankan oleh Mbok Darmi kini sudah ada di tangannya, ia pun segera menggunakannya untuk membuka pintu mobil.
Ternyata, bukan hanya bagian luarnya saja yang tetap bersih, bagian dalam juga tidak luput dari ketelatenan Mbok Darmi. Aroma mawar menguar memenuhi seluruh isi mobil, berasal dari pengharum mobil yang tergantung dekat kaca spion depan.
Fabian mendudukkan dirinya di kursi kemudi, mulai menyalakan mesin dan menunggu sampai kondisi mesin mobil cukup panas untuk bisa dia ajak berkelana.
Dari dalam rumah, Mbok Darmi berlari kecil menghampiri gerbang, begitu pengertian menggeser gerbang besi itu agar mobil Fabian bisa keluar.
Fabian tersenyum. Kalau tidak ada Mbok Darmi, dia mungkin tidak memiliki cukup banyak kekuatan untuk kembali ke sini, memulai kembali pencariannya terhadap teman-teman yang sudah seperti rumah baginya.
Dirasa cukup, Fabian pun mulai menginjak pedal gas. Mobil melaju pelan-pelan, lalu berhenti tepat sebelum keluar dari gerbang. Ia menurunkan kaca mobil, menyapa Mbok Darmi yang masih setia berada di sisi pintu gerbang yang terbuka lebar.
“Makasih, cantik.” Ucapnya.
Mbok Darmi membalasnya dengan senyum dan kekehan ringan. Lalu Fabian melanjutkan perjalanannya, menerobos jalanan yang tampak gersang di bawah terpaan sinar matahari yang terik.
Mobil itu melaju, menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk akhirnya sampai di sebuah toko bunga yang seumur hidup baru pertama kali dia tandangi.
“Selamat pagi, ingin pesan bunga apa?” seorang florist yang masih nampak cukup muda buka suara. Dari penampilannya, mungkin baru berusia 19 atau 20-an tahun.
Fabian mengedarkan pandangannya sebentar untuk memeriksa begitu banyak jenis bunga yang ada di sana. Aroma dari masing-masing mereka saling bertubrukan, menimbulkan perpaduan wangi campur aduk yang anehnya tidak memusingkan sama sekali.
Lalu, pilihan Fabian jatuh pada bunga Lily berwarna putih yang terletak di tengah-tengah bebungaan lain dengan warna yang lebih cerah dan membara. Sama seperti Raya, si Lily yang manis itu seakan tidak perlu memamerkan banyak hal untuk bisa ditemukan.
“Tolong satu buket bunga Lily.” Ucapnya seraya menunjuk bunga Lily pilihannya.
Sang florist mengangguk, langas mencomot beberapa batang untuk nanti disusun ke dalam buket. “Untuk isi memonya?” tanya si florist lagi.
“Nggak usah pakai memo, saya mau kasih bunga itu untuk mendiang mama saya.” Ia mengatakan itu dengan senyum yang merekah, seakan pergi mengunjungi seseorang yang telah mati bukanlah sesuatu yang sedih.
Si florist tak bertanya lagi, hanya menganggukkan kepala dan segera membuatkan buket bunga yang Fabian pesan.
Tak lama, buket bunga itu telah jadi, diserahkan kepadanya dengan senyum si florist yang merekah secantik bunga-bunga yang ada di ruangan itu.
Fabian mengucapkan terima kasih, membayar untuk buket bunga cantik itu dan tak lupa memberikan tip untuk si florist. Kemudian, ia bergegas pergi. Tidak boleh terlalu lama dalam perjalanan. Selain karena semakin lama terik matahari akan semakin menjadi, ia juga sudah tidak sabar untuk bertemu ibunya lagi.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!