Nowhere To Be Found

Menemui Jeffrey berada di list terakhir dalam daftar hal-hal yang ingin Fabian lakukan setelah kembali ke Jakarta. Namun sore ini, dengan keengganan yang penuh, dia menyeret langkahnya ke kantor lelaki itu.

Semua ini Fabian lakukan demi bisa menemukan keberadaan Baskara. Karena kalau ada satu-satunya orang yang tahu ke mana anak itu pergi, orang itu seharusnya adalah Jeffrey.

Fabian tidak bodoh. Dia tahu Jeffrey telah menempatkan seseorang untuk mengawasinya selama di Kanada. Seseorang yang selalu tertangkap oleh radarnya padahal orang itu sudah lihai sekali bersembunyi. Bukan, bukan orang itu yang bodoh. Hanya Fabian saja yang terlampau peka karena kadung banyak tersakiti.

Untuk dirinya yang hanya sekadar anak haram saja, Jeffrey mau membayar orang demi bisa mengawasi kehidupannya, apalagi untuk Baskara yang dia sayang-sayang? Harusnya Jeffrey melakukan yang lebih banyak dari itu, kan?

“Saya mau ketemu sama Jeffrey.” Ucapnya, tanpa embel-embel pak sebagaimana mestinya dia ucapkan sebagai sebuah bentuk sopan santun. Jangankan memanggil pak untuk memanggilnya om seperti sebelumnya saja Fabian sudah enggan.

Seorang resepsionis yang berdiri di belakang meja itu merespons dengan kalimat template, “Apakah sudah membuat janji?” dan Fabian segera membalas dengan gelengan kepala.

Sudah bisa ditebak, ujung-ujungnya dia tidak diizinkan untuk bertemu dengan Jeffrey seperti yang dia inginkan.

Namun, Fabian tidak menyerah. Dia tidak lantas pergi begitu saja, tidak ingin perjalanan jauhnya ke sini berakhir sia-sia. Dia bahkan harus menahan muak untuk bisa sampai di sini, dan kalau bukan demi Baskara, dia tidak akan sudi.

Kepada resepsionis bername tag Lisa itu Fabian meminta izin untuk menunggu di sofa yang memang tersedia di area dekat resepsionis. Segala bujuk rayu dan kemampuan berbicaranya yang lihai (yang sudah lama tidak dia gunakan) dikeluarkan, berujung pada diperbolehkannya ia duduk di sana selagi menunggu Jeffrey selesai dengan pekerjaannya.

Selagi menunggu, Fabian mengedarkan pandangan ke sekitar, mengamati dengan saksama setiap sudut gedung perkantoran di mana Jeffrey mengais pundi-pundi rupiah untuk menghidupi keluarganya. Melihat sibuknya lalu-lalang karyawan dan beberapa tamu yang tampak hilir mudik ke meja resepsionis membuat Fabian mengerti bahwa bisnis yang dikelola Jeffrey masih berjalan dengan baik, bahkan setelah semua yang terjadi.

Agaknya, peristiwa kelam dari masa lalu itu memang hanya mengguncang dirinya dan Baskara, sementara Jeffrey yang merupakan sumber utama dari semua masalah itu malah tampak tidak terpengaruh sama sekali dan tetap bisa menjalani kehidupannya seperti biasa.

Marah. Kesal. Sedih. Perasaan itu timbul lagi di benaknya, campur aduk tidak keruan. Selalu begitu, memang. Selalu harus para anak yang menanggung pilu atas duka yang dihasilkan oleh orang tua mereka. Seperti memang sudah menjadi aturan tak tertulis—menyebalkan.

“Fabian?”

Suara berat yang familier itu membuat Fabian menoleh. Di seberangnya, Jeffrey berdiri di sisi meja resepsionis. Lelaki yang penampilannya masih sama seperti kali terakhir mereka bertemu itu tampak terkejut mendapati kedatangannya, namun Fabian tidak punya waktu untuk menunggu sampai keterkejutan itu reda.

Fabian bangkit, dengan langkah yang pasti dia berjalan mendekati Jeffrey. Sorot matanya datar, tidak menampakkan sama sekali betapa ia sebenarnya muak pada sosok laki-laki di hadapannya itu.

“Bisa kita bicara sebentar?”

...🍂🍂🍂🍂🍂...

Satu cup es Americano sudah hampir Fabian tandaskan, namun dia masih enggan untuk buka suara. Sejak hampir 15 menit yang lalu, dia hanya terdiam memandangi Jeffrey, menguliti penampilan lelaki itu dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya. Sungguh, tidak ada yang berubah dari laki-laki itu. Sikap pengecut dan tidak tahu diri juga masih tergambar jelas dari sorot matanya, membuat Fabian semakin merasa muak.

“Apa kabar?” menjadi kalimat pertama yang keluar dari bibir Jeffrey setelah keheningan yang panjang, mengundang senyum miring terbit di wajah Fabian ketika ia perlahan menurunkan cup es Americano miliknya dan mulai menegakkan punggung serta menatap Jeffrey lebih intens.

“Kenapa repot-repot bertanya? Bukannya anda yang paling tahu gimana keadaan saya selama di Kanada? Orang yang anda bayar untuk membuntuti saya itu seharusnya kasih laporan yang detail ke anda, kan?” sarkasnya. Dari perubahan ekspresi yang terlihat di wajah Jeffrey, bisa disimpulkan bahwa laki-laki itu betulan menganggap remeh dirinya.

Padahal, hidup dalam bayang-bayang ketidaknyamanan selama lebih dari 20 tahun telah membuat Fabian harus memiliki sikap yang waspada. Jeffrey agaknya tidak mengerti, bahwa orang-orang seperti dirinya dan Raya terbiasa untuk peka terhadap hal-hal janggal di sekitar, kalau mau tetap bertahan hidup sampai akhir.

“Well, saya ke sini juga bukan untuk ngasih lihat kalau saya masih hidup,” ada jeda sebentar karena dia perlu menyedot lagi es Americano untuk mengisi daya di tubuhnya. “Saya Cuma mau tahu keberadaan Baskara, saya mau ketemu sama dia.”

“Saya udah coba cari ke Mega, tapi Gerald bilang dia cuma tahu kalau Baskara pindah ke luar kota. Ke mana? Dia pindah ke mana, tolong kasih tahu saya.”

Bukan satu nama kota yang kemudian Fabian dapatkan, melainkan gelengan kepala yang disertai helaan napas panjang.

“Jangan bohong. Anda bisa bayar orang untuk membuntuti saya sampai ke Kanada, nggak mungkin kalau anda nggak tahu di mana keberadaan Baskara yang cuma pindah ke luar kota.”

“Baskara pergi tanpa pamit. Dia cuma meninggalkan surat untuk ibunya, bilang kalau dia akan tinggal di kota lain untuk sementara waktu. Selebihnya, saya juga nggak tahu apa-apa.” Jeffrey menjawabnya dengan begitu frustasi. Sebab dirinya juga kepusingan sendiri mencari keberadaan Baskara. Beberapa kota sudah dia sambangi, tapi tidak semudah itu untuk menemukan seseorang yang sedang melarikan diri. Orang-orang yang dia tugaskan untuk mencari Baskara ke setiap penjuru kota yang sedang dia datangi pun selalu kembali dengan tangan kosong, tanpa sedikit pun petunjuk atau informasi.

Pernah suatu kali, Jeffrey bahkan sampai nekat terbang ke Surabaya, hari itu juga setelah dia mendapatkan alamat rumah Maya, satu-satunya anggota keluarga yang Sabiru miliki. Namun, sesampainya di sana, dia tidak mendapatkan apa-apa. Sabiru dan Baskara tidak ada di sana. Baik Maya maupun suaminya bahkan tidak tahu kalau Sabiru telah meninggalkan Jakarta.

Keduanya menghilang, tanpa jejak. Seakan dengan begitu saja, mereka ingin mempertegas bahwa mereka enggan ditemukan.

“Saya juga mau tahu di mana anak saya berada, Fabian. Kamu bukan satu-satunya orang yang kehilangan.” Lalu Jeffrey mengembuskan napas begitu panjang. Boleh saja siapa pun berpikir bahwa dia adalah bajingan, tapi dipandang seperti itu oleh darah dagingnya sendiri tetap saja membuat hatinya teriris.

Iya, kan? Baskara menganggap ia bajingan, kan? Itu sebabnya Baskara pergi tanpa meninggalkan petunjuk sama sekali agar dia bisa menemukan keberadaannya.

“Kamu bukan satu-satunya, Bi.” Jeffrey mengulangi kalimatnya, dengan suara yang lebih lirih.

Sementara bagi Fabian, reaksi seperti itu sama sekali tidak akan menyentuh hatinya. Dia tidak peduli apakah Jeffrey bersedih atas kepergian Baskara. Tidak peduli meski lelaki itu bilang bahwa ia menderita sendirian, Fabian tidak peduli. Apa pun tentang Jeffrey, dia tidak berminat untuk tahu.

Tujuannya menemui Jeffrey adalah untuk mencari tahu soal Baskara, dan berhubung tidak dapat juga, maka tidak ada alasan lagi untuknya berlama-lama berada di hadapan muka lelaki itu.

Tanpa sepatah pun kata pamit, atau kalimat basa-basi lainnya, Fabian bangkit lalu berjalan meninggalkan area cafe. Cup es Americano yang masih sisa sedikit dia tinggalkan di sana, menemani Jeffrey dalam hening yang merajalela sampai ke mana-mana.

Sampai Fabian menghilang di balik pintu cafe sekalipun, keheningan itu masih tetap ada. Jeffrey tidak berusaha mengusirnya. Keheningan itu ia biarkan berkembang semaunya, menerobos batas-batas yang ada, siap untuk menenggelamkan ia kapan saja.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!