Semakin banyak yang Fabian dengar tentang Queen, semakin tidak bisa lepas pandangannya dari perempuan itu. Bahkan, ketika kini Mega sudah dalam keadaan sepi dan hanya tinggal ada dirinya, Gerald serta Queen di sini, Fabian masih tetap saja mengarahkan pandangan hanya pada perempuan yang kini sibuk mengelap meja bar dengan sedikit menggerutu itu.
Dalam beberapa kesempatan, Fabian menemukan Queen mirip dengan Sabiru. Apa lagi kalau bukan dari caranya berbicara yang ngegas dan seakan tidak takut apa pun? Saat bertemu Sabiru untuk pertama kalinya dulu, Fabian selalu bertanya-tanya mengapa ada orang yang begitu ingin terlihat tangguh, padahal jelas sekali terlihat bahwa ia sebenarnya rapuh? Sekarang, ketika dia bertemu dengan Queen dan telah mendengar kisah sedih yang perempuan itu alami di masa lalu, ia mengerti bahwa orang-orang seperti itu hanya sedang berusaha mempertahankan diri mereka dari hal-hal buruk yang bisa saja kembali terulang, bukan untuk terlihat jagoan.
Dari apa yang Gerald sampaikan, Queen adalah seorang piatu yang hanya tinggal berdua dengan ayahnya sejak usia 11 tahun. Dan malam ketika Gerald menemukan perempuan itu dalam keadaan basah kuyup serta babak belur, rupanya perempuan itu sedang berusaha kabur dari preman yang hendak membawanya ke sebuah rumah bordil di pinggiran kota. Ayahnya yang sialan ternyata telah menjual Queen demi melunasi hutang, sebagian uangnya juga dia gunakan untuk bermain judi dan mabuk-mabukan. Damn, apakah manusia jenis itu masih layak untuk disebut sebagai seorang ayah?
“Sampai sekarang, gue masih nggak tahu siapa nama asli Queen, dan gue juga nggak mau nanya-nanya ke dia karena takut bakal nimbulin lagi trauma dia. Buat bisa tahu kejadian apa yang sebenernya nimpa dia malam itu aja, gue harus nunggu sampai hampir sebulan dan dia baru berani cerita.” Setelah hening sekian lama, Gerald kembali bersuara. Gelas wine miliknya sudah kosong, lantas ia menuangkan yang baru dari dalam botol. Itu adalah wine yang tadi diantarkan oleh Queen ke ruang VVIP, di mana Fabian sama sekali tidak menyentuhnya dan malah membawanya turun ke meja bar setelah dia datang menyusul.
Helaan napas pelan menjadi sambutan pertama yang Fabian berikan. Lalu setelah menjadikan Queen satu-satunya pusat perhatian sejak tadi, ia akhirnya menoleh ke arah Gerald. “You did great, Gerald Octariast.” Pujinya. Tulus, karena dia yakin nasib Queen malam itu bisa berakhir buruk jika bukan Gerald yang dia temui. “Lo udah nyelametin nyawa orang.” Imbuhnya.
Alih-alih merasa tersanjung, Gerald malah tertawa sumbang. “Mendadak banting setir dari villain jadi superhero ya gue,” lalu ia menghabiskan wine miliknya dalam sekali tenggak.
“Dari dulu juga lo udah jadi superhero, Ger. At least buat gue sama anak-anak Pain Killer.” Senyum yang tersungging setelah kalimat itu selesai adalah tulus, jadi Fabian harap itu bisa sampai kepada Gerald dengan sebagaimana mestinya.
“Tapi gue tetap nggak bisa jagain kalian biar tetap bisa kumpul?” mendadak, Gerald menjadi sendu.
Kali ini giliran Fabian yang terkekeh pelan, “Itu masalah lain. Nggak ada satu pun dari kita yang expect kalau akhirnya bakal kayak gini.” Satu tarikan napas yang terasa begitu berat Fabian ambil, lalu ia melanjutkan dengan pandangan yang kembali tertuju pada Queen. “Kita emang nggak tahu di mana mereka sekarang, tapi gue yakin mereka bakal pulang. Mereka bakal nemuin jalan buat pulang, Ger. Ke lo, ke gue, ke kita.” Padahal dia juga sedang membutuhkan keyakinan, tetapi masih sempat-sempatnya Fabian mengatakan itu kepada Gerald. Yah, setidaknya, dengan berkata begitu, secara tidak langsung dia sedang menumpuk optimisme bahwa Pain Killer yang telah dia jadikan rumah akan kembali utuh, kembali penuh.
...🍂🍂🍂🍂🍂...
Enam batang rokok berhasil Fabian habiskan dalam sekali duduk. Itu adalah rekor, karena biasanya dia hanya mampu menghabiskan paling banyak 2 batang saja. Rokok keenam yang sedang dia hisap itu sudah hampir habis, dan rencananya dia akan segera pulang setelahnya.
Namun, belum juga rokok itu selesai dia hisap, sebuah suara gaduh yang berasal dari bagian depan bangunan Mega menarik perhatiannya. Fabian segera mematikan rokoknya, lalu menyembul keluar dari tempatnya bersembunyi—bagian samping bangunan Mega.
Dari jarak beberapa meter, di tengah gelapnya langit subuh, Fabian menemukan seseorang dengan hoodie kebesaran sedang berjongkok di dekat jalan dengan posisi membelakangi dirinya dan entah sedang melakukan apa.
Fabian menunggu dalam diam. Sampai kemudian sosok itu berdiri lalu berbalik, dan Fabian menjadi tahu bahwa itu adalah Queen. Perempuan itu sudah kembali mengubah tampilannya menjadi seperti sore tadi saat berangkat ke Mega. Tapi, bukan itu yang menarik perhatian Fabian, melainkan adanya sosok lain yang berada di dalam gendongan Queen. Sosok kecil mungil berbulu nan lucu—seekor kucing.
“Hei!” Fabian berteriak, tiba-tiba saja, dan dia tidak tahu mengapa. Padahal kalau dia tetap bungkam, Queen mungkin tidak akan menyadari keberadaannya yang kini berada di tengah kegelapan.
Teriakannya itu otomatis sampai ke telinga Queen, di mana perempuan itu langsung melayangkan pandangan ke tempat di mana Fabian berdiri.
Sudah kepalang basah, Fabian pun berderap keluar dari kegelapan, berjalan mendekati Queen yang masih tidak bergerak dari posisi berdirinya. “What are you doing? Kucingnya kenapa?” tanyanya seraya memperhatikan kondisi kucing di dalam gendongan Queen.
“Kakinya luka, kayaknya habis ketabrak.” Jawab Queen seraya menunjukkan bagian kaki belakang si kucing yang berlumuran darah.
Fabian meringis melihat luka terbuka yang diderita si kucing, tidak tega melihat makhluk kecil itu terkulai tak berdaya. Saking tidak berdayanya, kucing yang usianya mungkin baru beberapa minggu itu bahkan tidak mengeong sama sekali. Hanya dari gerakan perutnya yang kembang kempis saja Fabian tahu kalau ia masih hidup.
“Mau dibawa ke mana? Lo tahu lokasi pet care terdekat yang kemungkinan masih buka?” tanya Fabian.
Queen menggeleng. “Saya nggak tinggal di sekitar sini, jadi nggak tahu. Mungkin mau saya bawa pulang aja biar saya rawat di rumah.” Terangnya.
“Lo udah biasa rawat kucing?”
“Belum. Ini yang pertama.”
Fabian terdiam sebentar, tampak berpikir. Di saat seperti ini, hanya satu nama yang terlintas di kepalanya, yaitu Mbok Darmi. Kalau tidak salah ingat, dulu wanita itu juga sempat memelihara seekor kucing. Barangkali Mbok Darmi bisa membantu merawat kucing ini untuk sementara waktu sampai dia bisa membawanya ke pet shop ketika hari sudah terang nanti.
“Gue punya kenalan yang mungkin bisa bantu rawat dia sementara. Gimana kalau kita ke sana?” tawarnya.
Tidak adanya respons dari Queen setelah beberapa saat akhirnya membuat Fabian menyadari sesuatu. Mereka tidak seakrab itu sampai ia bisa mengajak Queen pergi berdua. Dan lagi, ia melupakan fakta bahwa Queen adalah korban perdagangan anak yang—bagaimana bisa dia berpikir perempuan itu akan mau dia ajak pergi secara sukarela?
“Kalau nggak, biar gue aja yang bawa. Kasihan kalau didiemin begitu. Lo juga kayaknya nggak tahu harus ngapain, kan?” kata Fabian lagi pada akhirnya. Dia sudah mengulurkan tangan, siap menerima tubuh ringkih sang kucing untuk dioper ke arahnya.
Akan tetapi, Queen malah menggeleng, lalu berkata, “Saya ikut. Ayo kita antar dia ke sana.”
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Zenun
awal yang baik
2023-08-05
1