Satu-satunya orang asing yang Queen percaya setelah sekian lama hanyalah Gerald, dan dia tidak berniat untuk menambahkan orang lain ke dalam daftar sebab kisah kelam dari hidupnya di masa lalu telah membawanya terlahir kembali menjadi sosok yang baru. Namun, saat ia bersedia untuk ikut bersama dengan Fabian demi menyelamatkan nyawa seekor kucing yang dia temukan di pinggir jalan, Queen mulai merasa tidak ada salahnya untuk mulai membuka peluang.
Lelaki itu adalah teman Gerald. Begitu yang terus Queen ulang-ulang di kepalanya selama dalam perjalanan menuju tempat yang dia sendiri tidak ketahui di mana tepatnya. Si kucing kecil yang terluka masih tergolek lemah di atas pangkuannya, sementara lelaki dengan bulu mata super lentik itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya terus melayangkan pandangan ke depan, pada jalanan subuh yang masih lengang.
Mungkin sekitar 45 menit berkendara—well, Queen tidak benar-benar menghitungnya—mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah satu lantai yang sederhana. Rumah bercat biru muda dengan taman bunga kecil di depannya itu membuat Queen teringat pada kediamannya sendiri yang kondisinya tidak jauh berbeda.
“Ayo,”
Queen menolehkan kepala ke kanan, di mana Fabian sudah melepaskan seatbelt yang membalut tubuh atletisnya dan bergerak membuka pintu mobil dengan tenang. Tak butuh waktu lama, lelaki itu tahu-tahu sudah berpindah ke sisi pintu di sebelahnya. Ia hanya berdiri, tidak terlihat seperti hendak membukakan pintu atau hal-hal semacamnya yang biasa terdapat di dalam adegan film-film romantis.
Maka dengan penuh kesadaran diri, Queen membuka pintu untuk dirinya sendiri. Kakinya yang terbalut sneaker warna biru muda menapak di atas rerumputan yang basah. Entah kapan hujan sempat turun sebab ia terlalu asyik mengarungi dunia malam di Mega. Yang jelas, ketika jejak-jejak air itu merembes hingga menembus serat-serat sepatunya, Queen sedikit meringis karena dinginnya cukup terasa.
Pelan-pelan, Queen mengayunkan langkah, menyusul Fabian yang sudah lebih dulu berlalu mendekati pintu rumah yang berwarna hitam legam. Tiga buah ketukan dilabuhkan oleh lelaki itu, lalu muncullah sosok wanita paruh baya yang masih mengenakan mukena. Wanita itu tampak terkejut melihat kedatangan Fabian. Secepat kilat, tatapannya beredar dan tangannya menggerayang tubuh Fabian, mencari-cari sesuatu yang Queen sendiri tidak tahu apa.
“Aden kenapa? Ada yang luka?” barulah ketika langkah Queen semakin dekat, pertanyaan itu terlontar dari bibir si wanita.
“Saya nggak apa-apa, Mbok,” Fabian terlihat mencoba menenangkan wanita yang dia panggil Mbok itu dengan meraih kedua tangannya. Saat sebuah senyum terbit di wajah lelaki itu, Queen berani bersumpah bahwa itu adalah senyum paling indah yang pernah dia lihat seumur hidupnya.
“Beneran nggak apa-apa? Yakin? Aden bau alkohol. Jangan-jangan, Aden habis jatuh lagi, ya? Ayo, ngaku. Mana yang luka?” si Mbok itu masih saja berusaha mencari luka yang padahal memang tidak ada. Mau sampai matahari muncul dan bersinar terik di atas kepala sekalipun, apa yang ia cari tidak akan ketemu.
“Anu,” entah mendapat kekuatan dari mana, Queen buka suara. Ia melanjutkan sisa langkah yang semula sempat terhenti karena salah fokus pada senyum manis Fabian.
Suara yang dibuat oleh Queen itu sontak membuat si Mbok dan Fabian menoleh ke arahnya secara serempak. Tatapan Queen sempat bertemu dengan si Mbok selama beberapa detik, sebelum akhirnya wanita itu menurunkan pandangan dan seketika bereaksi heboh kala matanya menemukan eksistensi si bocah bulu yang terluka.
Dari yang awalnya wanita itu heboh menanyai keadaan Fabian, kini ia berlarian menghampiri Queen. Tangan keriputnya merebut si kucing tanpa permisi, membawa bocah bulu itu ke dalam dekapan hangat selagi satu tangan yang lain memeriksa luka di bagian kaki.
“Habis ketabrak, ya?” tanya wanita itu, entah kepada siapa sebab tatapannya masih tertuju pada kaki si kucing yang terluka.
“Kayaknya sih gitu,” Queen bersuara pelan. Ia melirik sekilas ke arah Fabian yang tampak tidak bereaksi apa-apa atas pertanyaan tersebut. “Saya nemuin dia di pinggir jalan, kondisinya udah kayak gitu.” Imbuhnya.
Si Mbok tidak bicara apa-apa lagi. Wanita itu langsung bergegas masuk ke dalam rumah membawa serta si kucing setelah mengisyaratkan kepada dirinya dan Fabian untuk turut mengikutinya masuk.
“Ayo,” ajak Fabian lagi. Kali ini, lelaki itu memilih berjalan di belakang, memastikan Queen lebih dulu menjejakkan kaki di lantai rumah.
Queen tidak suka disentuh, namun saat telapak tangan Fabian mendorong pelan punggungnya, anehnya ia sama sekali tidak merasa keberatan. Seperti tubuhnya telah tahu bahwa sentuhan itu tidak bermaksud buruk. Bahwa lelaki di belakangnya itu hanya ingin memastikan ia memperhatikan langkah dengan baik.
...🍂🍂🍂🍂🍂...
Bekerja semalaman di Mega seharusnya cukup untuk membuat Queen terkantuk-kantuk. Apalagi, sekarang jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, di mana biasanya ia masih bergelung di bawah selimut dan baru akan menyembulkan kepala ketika matahari sudah bersinar amat tinggi di tengah hari.
Tapi terkhusus hari ini, rasa kantuk itu seakan tidak pernah eksis. Queen sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Sebab kini, dia begitu sibuk mengembangkan senyum tatkala menyaksikan si bocah bulu yang dia temukan subuh tadi sudah mendapatkan perawatan yang lebih proper di sebuah pet care.
Untuk sampai di pet care ini, ia dan Fabian harus berkeliling selama kurang lebih satu setengah jam. Wajar jika kelegaan itu terasa berkali-kali lipat lebih besar sekarang.
“Selanjutnya gimana?” Fabian yang baru selesai mengurus pembayaran melayangkan pertanyaan itu dengan tatapan yang tertuju pada si kucing di dalam kandang. “Lo mau bawa dia pulang?”
Queen tidak langsung menjawab. Itu bukan pertanyaan sederhana yang bisa langsung dia jawab dengan ‘iya’ atau ‘tidak’. Lebih daripada orang-orang lain di muka bumi ini, Queen merasa dirinya sudah terlalu kepayahan untuk sekadar mengurus diri sendiri. Jadi kalau harus mendedikasikan waktunya yang tidak seberapa banyak untuk mengurus bocah bulu kecil tak berdosa itu, Queen khawatir dia tidak akan sanggup.
Akhirnya, karena kepercayaan diri bahwa dia bisa mengambil tanggung jawab atas kucing itu tidak kunjung muncul juga, Queen mengembuskan napas panjang seraya menggelengkan kepala. “Saya takut nggak bisa ngurusinnya.” Terangnya, apa adanya.
Queen kira, Fabian akan mencibirnya karena sebelum ini dia sudah sok sekali ingin membawa kucing itu ke rumah untuk dia rawat sendiri. Namun siapa sangka, lelaki itu justru menganggukkan kepala lalu menawarkan diri untuk mengadopsi si kucing menggantikan dirinya.
“Gue tinggal sendirian, lumayan jadi ada teman kalau dia gue bawa pulang.”
Satu komentar pun tidak Queen lontarkan. Karena kalian tahu apa? Ia justru kembali salah fokus pada bulu mata lentik milik Fabian yang tampak seperti melambai menggoda kala lelaki itu mengerjapkan mata pelan. Sorot mata teduh yang terpancar kala ia menatap si kucing yang kini kondisinya sudah lebih baik juga menjadi daya tarik tersendiri bagi Queen, membuatnya betah berlama-lama mencuri pandang pada laki-laki asing yang baru dia temui sebanyak dua kali itu.
“Habis ini temenin gue ke pet shop, gue mau beli kandang, makanan, vitamin dan lain-lain.” Kala Fabian tahu-tahu menoleh, Queen tidak siap. Gelagapan ia menarik pandangan, secepat yang dibisa mengalihkannya ke sembarang arah.
“Boleh.” Cicitnya.
Sebenarnya, Fabian masih bisa mendengar apa yang Queen katakan. Namun entah kenapa, sisi jahil di dalam dirinya tiba-tiba saja muncul hingga membuatnya mengeluarkan sebuah “Ha?!” cukup keras yang serta-merta membuat Queen dan beberapa orang yang berada di sekitar mereka menoleh.
“Lo bilang apa tadi? Gue nggak dengar.” Ucapnya masih dengan suara cukup keras.
Menjadi pusat perhatian adalah sesuatu yang paling tidak Queen senangi. Maka untuk membuat orang-orang itu berhenti menatap ke arah mereka, Queen berjalan mendekat. Barangkali, Fabian terpaksa menggunakan nada tinggi karena jarak mereka yang cukup jauh.
“Boleh. Saya temani anda ke pet shop untuk belanja kebutuhan si bocah bulu.” Tidak seperti Fabian, ia berbicara dengan suara pelan nyaris seperti berbisik. “Tapi jangan terlalu lama, ya? Soalnya saya juga perlu tidur sebelum pergi berangkat kerja jam 6 nanti.”
“Nggak usah kerja.” Titah Fabian tiba-tiba, membuat Queen melotot tak percaya. “Nanti gue yang minta izin ke Gerald. Sekarang udah jam 10 lewat, nyari pet shop juga bisa makan waktu banyak, belum lagi belanjanya. Kita juga harus jalan pulang ke rumah lo, belum lo harus mandi, makan dan lain-lain. Paling banter lo cuma bisa tidur selama 2 atau 3 jam. Nope, really bad.”
Itu adalah kali pertama Fabian berbicara panjang lebar kepada Queen di pertemuan mereka yang kedua. Tidak tahu kenapa, kalimat itu hanya meluncur dengan bebas melalui bibirnya.
“Saya nggak mau,”
“Harus mau.” Fabian dengan kehendaknya yang mutlak.
“Kok maksa?” Queen setengah jengkel. Dia tidak suka dipaksa, tidak suka diatur-atur.
“Pilihannya cuma dua,” nah, tiba-tiba saja, Queen disodori dua pilihan. “Pertama, lo nurut apa kata gue dan istirahat dengan baik di rumah. Atau yang kedua, lo tetap nekat berangkat kerja dengan syarat lo harus nemenin gue semalaman di Mega. Gimana? Mau pilih yang mana?”
Speechless! Queen dibuat terdiam seribu bahasa dengan pilihan kedua yang tidak masuk akal. Dah, oh, menemani semalaman itu konteksnya bagaimana? Apakah dia harus menjadi bartender pribadi untuk lelaki itu atau apa?
Belum juga sempat Queen memutuskan pilihannya, Fabian tahu-tahu menjabat tangannya, mengesahkan sebuah kesepakatan sepihak yang jelas-jelas dipaksakan.
“Deal, lo libur hari ini. Wait, gue telepon Gerald sekarang.” Lalu seperti tidak memiliki dosa, lelaki itu berlalu dari hadapannya, berjalan cepat menuju pintu keluar seraya mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.
“Gue pikir, bos Gerald udah yang paling aneh. Ternyata masih ada yang jauh lebih aneh.”
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Arianeee
belom aja ketemy temen2 bian. mereja lebih aneh
2023-09-09
1
Zenun
mau nemenin Fabian semalaman atuh
2023-08-06
0
Zenun
nganu mbok
2023-08-06
0